Masuk Daftar
My Getplus

Bill Shankly dalam Kenangan

Sepakterjang pelatih “sosialis” yang meletakkan dasar kebesaran Liverpool.

Oleh: Randy Wirayudha | 04 Sep 2023
William "Bill" Shankly yang senantiasa jadi inspirasi kebangkitan Liverpool (liverpoolfc.com)

API “Si Merah” berkobar lagi. Liverpool FC langsung tampil “gacor” memulai musim barunya di Liga Inggris. Dari empat partai awal, tiga kemenangan disabet tim asuhan Jörgen Klopp itu. Aston Villa jadi korban terbarunya yang keok tiga gol tanpa balas pada matchday keempat di Stadion Anfield, Minggu (3/9/2023) malam.

Di musim sebelumnya (2022-2023), Liverpool nyaris tanpa gelar. Dari berbagai kompetisi, Mohamed Salah dkk. hanya mampu memetik gelar FA Community Shield.

Satu dari sekian faktor non-teknis kebangkitan The Reds ditengarai karena inspirasi legenda Bill Shankly yang melekat di jersey anyar tim musim ini. Mengutip laman resmi klub, 5 Mei 2023, jersey kandang tim menggunakan desain klasik serupa jersey skuad 1973-1974, di mana skuad 50 tahun lewat itu jadi musim terakhir Shankly menukangi Liverpool dengan tinggalan kenangan manis kemenangan Piala FA.

Advertising
Advertising

Baca juga: Kisah Klopp dan Liverpool yang Klop

Liverpool yang mengenakan desain jersey klasik 1974 kala menghancurkan Aston Villa, 3-0 (liverpoolfc.com)

Warna merah masih mendominasi jersey-nya dengan selingan warna putih di bagian kerah dan pergelangan tangan dengan desain klasik. Sementara di belakang bagian atas, tertera angka 97 yang diapit sepasang obor untuk mengenang 97 korban Tragedi Hillsborough (15 April 1989).

“Jersey kandang baru ini begitu klasik. Memberi inspirasi di balik desainnya yang terasa ikonik dan merujuk pada sejarah klub besar ini,” kata kapten tim Jordan Henderson.

Tak hanya Henderson cs. yang bangga mengenakannya. Tim putri Liverpool juga akan memakai kostum kebesaran itu jelang mengarungi Women’s Super League (WSL) musim baru yang akan bergulir per 1 Oktober 2023.

“Kami selalu bangga mengenakan jersey LFC. Kami selalu antuasias dengan desain barunya dan keterkaitan jersey-nya dengan sejarah klub ini membuatnya makin istimewa. Kami sudah tidak sabar mengenakannya di musim baru,” timpal wakil kapten tim putri Liverpool, Taylor Hinds.

Baca juga: Anthem Liverpool, Lagu Teater Musikal yang Mengglobal

Messiah Peletak Fondasi

Arsenal boleh saja punya Arsène Wenger. Pun Manchester United punya Sir Alex Ferguson. Namun sebelum dua nama itu muncul dan memberi pengaruh besar dalam sepakbola Inggris, William “Bill” Shankly lebih dulu hadir dan warisannya lestari seiring kebesaran Liverpool dan juga sepakbola Inggris secara umum.

Shankly legenda “seangkatan” Sir Alexander Matthew Busby alias Matt Busby-nya Manchester United kala mewarnai persepakbolaan Inggris era 1960-an. Jurnalis senior Tony Evans dalam kolom “Bill Shankly Remains the Personification of Liverpool 60 Years after He Arrived on Merseyside” yang dimuat The Independent, 29 November 2019 mengungkapkan, Liverpool takkan sebesar sekarang tanpa kehadiran Shankly.

“Shankly menciptakan ‘gagasan’ Liverpool, mentransformasi klub seiring momen bersejarah kotanya dengan menekankan pentingnya ‘the Kop’ dan membuat para pendukungnya merasa seperti partisipan yang aktif terlibat,” tulis Evans.

Baca juga: Habis Konflik Terbitlah Respek Figur Arsenal dan Manchester United

Sebagaimana Matt Busby, Shankly juga kelahiran Skotlandia. Ia lahir di desa kecil Glenbuck, Ayrshire pada 2 September 1913. Ia anak kesembilan dari 10 bersaudara di keluarga pasutri Barbara Gray Blyth dan John Shankly.

Dalam otobiografi bertajuk Shankly yang dituliskannya bersama John Roberts, Shankly mengenal sepakbola dari kakak-kakaknya yang lima di antaranya kemudian terjun ke sepakbola profesional di Skotlandia dan Inggris. Alec bermain untuk Ayr United, Jimmy berkarier di Sheffield United hingga Southend United, John membela Portsmouth dan kemudian Luton Town, serta Bob berkarier bersama Alloa Athletic dan Falkirk.

Bill Shankly kala membela Preston North End (kiri) dan Timnas Skotlandia (pnefc.net/shanklyhotel.com)

Bill muda mengikuti jejak kakak-kakaknya sembari ikut menopang ekonomi keluarga dengan bekerja di tambang batubara hingga mengharuskannya putus sekolah di usia 15 tahun. Shankly memulainya bersama tim amatir di desanya, Glenbuck Cherrypickers. Di tim itu ayahnya menjadi salah satu anggota komite klub, dan kemudian Cronberry Eglinton di Liga Distrik Cumnock.

“Bakat sepakbola yang melimpah di masa itu membuat banyak pemandu bakat rutin mengunjungi Glenbuck dan Shankly terpantau sebagai salah satu pemain muda potensial. Ia lalu direkrut Carlisle United pada 1932 dan menembus tim utama. Dalam waktu singkat ia mengukir reputasi sebagai pesepakbola yang punya gairah besar sampai kemudian hanya setahun bersama Carlisle, ia dibajak Preston North End dengan mahar 500 poundsterling,” ungkap David Hartrick dalam 50 Teams That Mattered.

Baca juga: Sepp Herberger dan Bayang-bayang Nazi

Sebagai gelandang kanan, Shankly berperan besar mengantarkan Preston promosi dari kompetisi kasta ketiga Liga Inggris, Central League ke First Division, sekaligus lima kali membela Timnas Skotlandia. Namun kemudian usia keemasan Shankly terusik Perang Dunia II, yang membuat Shankly masuk militer di RAF atau Angkatan Udara (AU) Inggris pada 1939.

“Kami kehilangan enam tahun karier (sepakbola) kami karena perang. Bill sangat dirugikan karena usianya sudah sangat dewasa dan kehilangan tahun-tahun terbaiknya,” kenang Tom Finney, rekan setim Shankly di Preston, dikutip John Oram dalam Reluctant Redfellows: The Rivalry between Liverpool and Manchester United.

Karier sepakbola Bill Shankly yang terusik Perang Dunia II mengharuskannya mengabdi di RAF (playupliverpool.com)

Tak ditugaskan ke garis depan, Kopral Shankly sekadar jadi serdadu rendahan di Pangkalan RAF Bishopbriggs. Itu memungkinkannya tetap merumput jadi pemain “cabutan” tim RAF, Norwich City, Arsenal, Luton Town, hingga Cardiff City di beberapa laga eksebisi dan turnamen terbuka Summer Cup.

Meski kehilangan masa keemasan karier profesionalnya, Shankly tetap bisa memetik hikmah di masa perang. Selain bersua Agnes “Nessie” Wren-Fisher, gadis yang bertugas di WAAF (unit wanita RAF) dan kemudian dinikahinya, Shankly belajar tentang solidaritas hingga kedisiplinan yang jadi modal menyongsong masa depan sebagai pelatih selepas gantung sepatu.

“Selama ini saya menyiapkan diri untuk hari di mana saya akan menjadi pelatih. Saya juga sudah mengerti bagaimana caranya jadi pemimpin. Saya punya kepercayaan diri terhadap kemampuan saya. Sering saya tidak bisa tidur memikirkan masa depan itu,” kenang Shankly di otobiografinya.

Baca juga: Serba-serbi Derbi Si Merah dan Setan Merah

Selepas perang, Shankly yang sudah berusia 33 tahun kesulitan bersaing di skuad utama Preston. Ia akhirnya memilih pensiun pada Maret 1949 seiring menerima pinangan Carlisle United sebagai pelatih.

“Kebetulan pada Februari (1949) Carlisle United mencari pelatih baru. Di saat yang sama hari-hari terakhir Shankly (sebagai pemain) sudah tampak jelas. Ia memainkan laga terakhirnya pada 19 Maret 1949 melawan Sunderland di Deepdale. Itu laga ke-297 yang ia mainkan untuk Preston. Sepanjang kariernya, ia mencetak 13 gol, termasuk delapan penalti. Setelah itu ia membawa kostum nomor empatnya kepada pelatih dan lantas pergi,” tulis Stephen F. Kelly dalam Bill Shankly: It’s Much More Important than That.

Bill Shankly (kedua dari kiri) saat direkrut Liverpool pada 1959 (lfchistory.net)

Sebelum hadir ke Liverpool, Shankly lebih dulu wara-wiri di tiga klub. Selain Carlisle (1949-1951), Shankly menimba pengalaman membesut Grimsby Town (1951-1954), Workington FA (1954-1955), dan Huddersfield Town (1956-1959). Shankly akhirnya menginjakkan kaki di Anfield medio Desember 1959. Harapannya, bisa jadi messiah bagi Liverpool yang berkubang di Second Division selama lima tahun terakhir.

“Gagasan saya adalah membangun Liverpool menjadi benteng tak terkalahkan. Seperti Napoleon yang punya gagasan menaklukkan dunia. Gagasan saya adalah membangun dan meningkatkan level Liverpool sampai semua tim takluk dan menyerah,” ujar Shankly pede.

Baca juga: Lima Gebrakan Revolusioner Wenger

Shankly memulainya dengan mendesak klub merenovasi dan memodernisasi kamp latihan Melwood. Ia lantas merancang “cetak biru” sistem latihan jangka panjang bersama para staf pelatihnya: Bob Paisley, Joe Fagan, dan Reuben Bennett. Paisley, menurut Shankly, adalah sosok penting yang punya pengaruh dalam motivasi, mengingat Shankly juga punya pendekatan psikis untuk membangun spirit skuadnya.

“Segalanya dilakukan secara sistematis lewat rutinitas latihan, hingga rotasi pemain, di antaranya latihan-latihan angkat beban, skipping, sebelum beranjak ke spesifik (teknik) sepakbola. Seperti di klub-klub sebelumnya, Shankly juga menerapkan latihan permainan ‘five-a-side’ sebagai jantung dari sistemnya yang ia yakin berpengaruh dalam laga-laga kompetitif,” sambung Kelly.

Staf kepelatihan Liverpool, ki-ka: Robert 'Bob' Paisley, Reuben Bennett, Bill Shankly, dan Joseph Francis 'Joe' Fagan (Twitter @LFCHistoryShow)

Shankly beruntung punya “sekutu” Eric Sawyer, salah satu petinggi klub yang mendukungnya ketika mendesak dewan klub melakukan pembelian pemain yang tak murah. Beberapa di antara pemain anyar yang bagi Shankly akan berperan penting adalah gelandang Ron Yeats, serta penyerang Ian St. John dan Roger Hunt.

Hasilnya tak mengecewakan. Shankly mengantarkan Liverpool promosi ke kasta tertinggi sepakbola Inggris seiring Liverpool juara Second Division musim 1961-1962. Tiga tahun kemudian, Shankly membawakan gelar FA Cup pertama sepanjang sejarah klub.

Baca juga: Senandung Pelipur Lara dan Pemantik Asa Liverpool

Di tahun yang sama pula Shankly menginisasi jersey kebesaran baru, yakni kostum all-red alias kaus, celana, dan, kaus kaki merah. Sebelumnya, kostum Liverpool berupa kaus merah dan celana putih. Shankly mempeloporinya saat Liverpool bersua RSC Anderlecht di musim perdana Liverpool tampil di European Championship (kini Liga Champions).

“Pengenalan kostum all-red itu membawa efek psikis yang besar. Kami tampil di Anfield untuk pertamakali seperti kobaran api. Pertandingan kami melawan Anderlecht jadi malam yang bersejarah. Kostum itu membuat para pemain seperti sekumpulan raksasa dan kami pun bermain seperti raksasa,” sambung Shankly.

Kostum "all-red" yang mulai dikenakan Liverpool pada European Cup 1964-1965 (liverpoolfc.com)

Warisan lain Shankly adalah kedekatannya dengan suporter, utamanya pendukung setia di tribun berdiri “The Kop”. Ia sudah mempraktikkannya sejak menukangi Carlisle, di mana Shankly acap berkomunikasi langsung dengan pendukung sebelum dan setelah pertandingan. Ia juga tak sungkan menjawab banyak surat dari para suporternya.

“Liverpool bukan sekadar klub tapi merupakan sebuah institusi. Dan tujuan saya mendekatkan klub dan tim kepada publik adalah supaya suporter bisa diterima jadi bagian institusi itu. Saya pun menyambut bagi siapapun yang ingin menyebar abu bagi para pendukung. Mereka mendukung tim saat mereka masih hidup dan akan terus mendukung walau sudah tiada. Inilah cerita Liverpool yang sesungguhnya. Inilah alasan Liverpool begitu hebat. Tidak ada kemunafikan, hanya kejujuran yang tulus,” ungkap Shankly dikutip John Keith dalam The Essential Shankly: Revealing the Kop Legend Who Launched a Thousand Quips.

Baca juga: Wenger dan Lima Pelatih Terawet Sejagat

Sampai pensiun sebagai pelatih pada 1974, Shankly setidaknya menyesaki lemari gelar klub dengan tiga titel Liga Inggris (1963-1964, 1965-1966, 1972-1973),  dua trofi FA Cup (1964-1965, 1973-1974), tiga trofi FA Charity Shield (1964-1966), dan sekali juara UEFA Cup (1972-1973). Warisan-warisannya tetap bertahan lintas masa, tak peduli siapa penerusnya di tepi lapangan.

Seperti para mendiang pendukung Liverpool, abu Shankly pun disebar di Anfield dekat Tribun The Kop. Shankly wafat di usia 86 tahun pada 29 September 1961 dini hari akibat serangan jantung. Tidak hanya klub dan segenap warga kota yang berduka tapi juga Partai Buruh Inggris. Pasalnya, Shankly satu di antara pelatih yang memegang teguh filosofi sosialisme dalam kerangka sepakbola kolektif.

“Sosialisme yang saya yakini adalah semua orang saling bekerjasama, semua orang mendapatkan bagian dari hasilnya. Begitulah cara saya melihat sepakbola, cara saya melihat kehidupan,” tukas Shankly dalam otobiografinya.

FA Cup 1974 yang jadi gelar terakhir persembahan Bill Shankly (liverpoolfc.com)

TAG

liverpool liga inggris pelatih legenda sepakbola

ARTIKEL TERKAIT

Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian II – Habis) Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian I) Pengungsi Basque yang Memetik Bintang di Negeri Tirai Besi Riwayat NEC Nijmegen yang Menembus Imej Semenjana Geliat Tim Naga di Panggung Sepakbola Mula Bahrain Mengenal Sepakbola Enam Momen Pemain jadi Kiper Dadakan Memori Manis Johan Neeskens Kenapa Australia Menyebutnya Soccer ketimbang Football? Kakak dan Adik Beda Timnas di Sepakbola Dunia