PUKUL enam pagi Kamis, 28 September 1939. Kapten Tadeusz Dorant, komandan Batalyon ke-3, Resimen Legiun Infantri ke-2 Polandia, tengah menyiapkan sekira 200 pasukannya yang bertahan di Benteng I Zakroczym untuk menyerahkan diri. Ia tunduk pada perintah atasannya, Brigjen Wiktor Thommée, panglima Tentara Modlin yang berbasis di Kompleks Perbentengan Modlin, 50 kilometer di utara Warsawa, Polandia.
Kala itu gencatan senjata sudah dicapai. Sehari sebelumnya, pertahanan Polandia di Modlin dikepung Armeekorps (Korps AD ke-2 Jerman) II pimpinan Generalobertst (kolonel jenderal) Adolf Strauss. Pasukan Strauss jadi bagian dari pasukan 4. Armee, Heeresgruppe Nord (AD ke-4, Grup AD Utara) yang dipimpinan Generaloberst Fedord von Bock.
Gugus tempur itulah yang menyerang Polandia dari Prusia Timur dan Pomerania Barat sejak pembukaan Perang Dunia II, 1 September 1939. Dari pusat Benteng Modlin, Brigjen Thommée mengibarkan bendera putih untuk mengindikasikan keinginannya menegosiasikan penyerahan. Pasukannya diinstruksikan untuk menghentikan tembak-menembak, termasuk di Benteng I, kantong pertahanan Modlin di ujung barat yang dikomando Kapten Dorant.
“Selama fase negosiasi, pasukan SS (Schutzstaffel, paramiliter Nazi) Resimen ‘Deutschland’, bagian dari Divisi Panser ‘Kempf’, memutuskan melanggar gencatan senjata dengan menyerang pasukan Polandia dekat Desa Zakroczym. Pasukan SS yang menyerang pada pukul 6.30 itu dengan mudah berpenetrasi karena pasukan Dorant sudah tak lagi bersenjata. Kapten Dorant tewas setelah dihanguskan pelontar api dengan kondisi mengangkat tangan,” tulis Robert Forczyk dalam White Case: The Invasion of Poland 1939.
Baca juga: Pembantaian Nazi di Kedros
Sisa pasukan Dorant yang berusaha meraih senjata melakoni perlawanan seadanya. Serangan dadakan itu menewaskan 50 prajurit Polandia dan 15 prajurit SS. Nahasnya, 60 prajurit Polandia yang masih hidup lalu dikumpulkan untuk kemudian dieksekusi.
Di hari yang sama dengan agresor yang sama, tragedi berlanjut di desa sekitar Benteng I Zakroczym. Penyerangan, penjarahan, hingga pembakaran rumah-rumah dilakoni Pasukan SS dan sejumlah anggota polisi militer AD Jerman.
Setiap pasukan Polandia yang ditemui dan mengangkat tangan dilenyapkan pula oleh tembakan. Sekitar 100 jiwa warga sipil melayang oleh siksaan atau ledakan granat yang dilemparkan tentara Jerman saat sedang bersembunyi di ruang bawah tanah. Total, 600 jiwa prajurit dan sipil yang tercatat jadi korban pembantaian pertama terhadap tawanan perang sepanjang invasi Jerman ke Polandia.
Dendam dari Mława
Catatan pilu yang terjadi di Zakroczym tak lepas dari dendam kesumat para kombatan Divisi Panser “Kempf” –yang merupakan gabungan AD Jerman dan SS– pimpinan Generaloberst Werner Kempf. Mereka memendamnya sejak terjun ke pertempuran di Mława, salah satu kota di Provinsi Warsawa, 1-3 September 1939.
Pada pembukaan pertempuran, siang bolong 1 September 1939, Jerman mengerahkan dua korps AD yang terdiri dari satu divisi lapis baja (Panzer-Division “Kempf”) dan empat divisi infantri dengan pucuk komandonya dipegang Panglima Tentara AD ke-3 Jenderal Artileri Georg von Küchler. Pihak Polandia yang bertahan hanya mengandalkan dua divisi infantri dan dua brigade kavaleri berkuda Tentara Modlin pimpinan Jenderal Emil Krukowicz-Przedrymirski.
Baca juga: Blitzkrieg, Serbuan Kilat ala Nazi
Meski dimenangkan Jerman, pertempuran sengit tiga hari itu memakan korban Jerman lebih banyak ketimbang Polandia. Jerman kehilangan 1.800 serdadunya, sedangkan Polandia 1.200. Yang lebih menumbuhkan dendam, Divisi Panser “Kempf” sebagai ujung tombak Blitzkrieg kehilangan 72 tank akibat heroiknya awak meriam anti-tank Armata kaliber 37 milimeter.
Sementara Jenderal Krukowicz-Przedrymiski tertawan, sisa-sisa Tentara Modlin mundur 100 kilometer ke selatan menuju Benteng Modlin. Tampuk kepemimpinan dialihkan ke Jenderal Thommée yang sebelumnya mengomandani Grup Operasi “Piotrków”, bagian dari AD Łódź.
“Tetapi pada dini hari 28 September, seorang opsir dari ibukota tiba (di Modlin), untuk mengabarkan bahwa Warsawa sudah menyerah. Dengan pertimbangan masak, Jenderal Thommée memutuskan sudah waktunya mengakhiri perlawanan. Dia memberi perintah menghentikan tembak-menembak dan mengirim utusan untuk memulai negosiasi penyerahan diri,” ungkap Roger Moorhouse dalam First to Fight: The Polish War 1939.
Baca juga: Horor Warsawa dari Mata Lensa Pewarta
Thommée menganggap pasukannya yang tersisa akan sia-sia jika memberi perlawanan lanjutan setelah meladeni Jerman dalam Pertempuran Modlin (13-29 September 1939). Dari sekira 35 ribu serdadu, 20 ribu di antaranya yang tersebar di berbagai kantong pertahanan mengalami kekurangan suplai makanan dan amunisi. Belum lagi sekitar empat ribu lainnya yang terluka, sangat minim penanganan karena kekurangan obat-obatan.
Namun, proses kapitulasi tak berjalan lancar akibat jalur komunikasi banyak yang sudah rusak. Akibatnya, meski dari Benteng Modlin sudah mengibarkan bendera putih, banyak unit militer Jerman yang tersebar kala mengepung Modlin mendapati kabarnya. Termasuk di markas Jenderal Strauss.
Baca juga: Aliansi Amerika-Jerman di Pertempuran Kastil Itter
Maka terjadilah Pembantaian Zakroczym yang menewaskan sekira 600 jiwa, serdadu maupun sipil Polandia. Pihak Jerman menyatakan peristiwa itu sekadar kesalahpahaman akibat sulitnya komunikasi dua pihak.
“Seorang dokter militer (Polandia) bersaksi bahwa pembantaian itu dilakukan tanpa pandang bulu: ‘Di sebelah pemakaman Yahudi, lebih dari selusin serdadu (Polandia) ditembak meski sudah menyerah. Hal yang sama terjadi di Gałachy. Beberapa prajurit dibakar hidup-hidup. Saat melewati rubanah, di mana para lansia dan anak-anak bersembunyi, tentara Jerman melemparkan granat’,” lanjut Moorhouse.
Setelah dibombardir meriam-meriam Howitzer 30,5 cm dan Mörser 21 cm, pada pagi 29 September kubu Polandia di Modlin secara resmi menyerah. Peresmiannya dilakoni Jenderal Thommée dengan bersua langsung dengan Jenderal Strauss di Kota Jabłonna. Thommée bersedia menyerahkan Kompleks Perbentengan Modlin dengan syarat 35 ribu anak buahnya disuplai makanan dan obat-obatan, serta mereka harus diperlakukan laiknya tawanan perang. Syarat itu disetujui Straus.
Thommée juga menguraikan tentang peristiwa di Zakroczym yang merupakan pembantaian terhadap tawanan perang pertama yang tercatat dalam Perang Dunia II. Pihak Jerman menyatakan peristiwa itu hanya kesalahpahaman belaka, mengingat mereka sudah mengibarkan bendera putih. Juga tentang peristiwa pembantaian puluhan warga sipil 10 hari sebelum kapitulasi di Modlin.
Baca juga: Pertempuran Texel, Palagan Terakhir di Eropa
AD Jerman kemudian mengadakan penyelidikan mendalam soal tragedi 19 September itu kala Pertempuran Modlin masih berlangsung.
“Peristiwa itu (pembantaian warga sipil) juga tercatat jadi yang pertama oleh unit SS selama kampanye Polandia. Pelakunya seorang prajurit SS bernama Ernst (anggota Resimen Artileri SS yang diperbantukan di Divisi Panzer ‘Kempf’) dan seorang polisi militer AD yang menggiring 50 Yahudi ke sebuah sinagog dan dieksekusi,” singkap George H. Stein dalam The Waffen SS: Hitler’s Elite Guard at War, 1939-1945.
Thommée kemudian kembali ke Benteng Modlin untuk mengabarkan ke seluruh anak buahnya perihal peresmian kapitulasinya.
“Dalam beberapa jam saja dunia sudah berubah. Seorang manusia yang bebas menjadi seorang budak. Saya tak lagi bisa melakukan apapun, pertempuran sudah usai. Tiada hal yang membuat saya bahagia, semuanya membawa duka dan rasa malu. Tapi apakah itu bukan keadaan yang lebih baik ketimbang mati di balik tembok-tembok (benteng) ini?” ujar Thommée, dikutip Moorhouse.
Menurut Stein, kedua pelaku pembantaian kemudian ditahan dan diajukan ke pengadilan militer. Si prajurit SS divonis hukuman tiga tahun penjara, sementara si polisi militer yang tak disebutkan namanya, diganjar sembilan tahun bui.
“Namun opsir jaksa penuntut umum bersikeras terhadap tuntutan mereka sebelumnya, yakni hukuman mati dan membawa banding itu sampai ke Berlin. Di Berlin, seorang hakim militer senior justru memberi putusan vonis yang jauh lebih ringan bagi perwira SS menjadi satu tahun penjara dan sang opsir polisi militer menjadi tiga tahun penjara. Anehnya tak lama kemudian keduanya diberikan amnesti, hingga tak sehari pun dari mereka menjalani hukumannya,” tandas Stein.
Baca juga: Di Balik D-Day, Gebrakan Menentukan di Normandia