MENTARI belum lama mengintip dari ufuk timur pada 15 Mei 1940 ketika pesawat telefon di kamar kerja Winston Churchill tak berhenti berdering hingga sang perdana menteri Inggris itu akhirnya angkat gagang telefon. Dari seberang, terdengar suara penelepon bergetar hebat dan ketakutan. Panik.
Lawan bicara Churchill itu tak lain adalah PM Prancis Paul Reynaud. Suasana hatinya masih begitu kacau ketika menginformasikan Churchill bahwa mereka, Sekutu, yang pada Perang Dunia I menundukkan Jerman, kini telah keok.
Blitzkrieg alias perang kilat yang dilancarkan Jerman Nazi sejak 10 Mei 1940 telah meluluhlantakkan kekuatan gabungan Prancis, Inggris, dan Belgia. Manuver dengan kecepatan tinggi itu bikin Maginot Lini –garis pertahanan perbatasan Belgia hingga selatan Prancis dengan Jerman sepanjang 500 kilometer– ambruk meski di atas kertas Sekutu punya lebih banyak serdadu dan panser/tank ketimbang Jerman.
Untuk menenangkan hati koleganya, Churchill terbang ke Paris menemui Reynaud sekaligus Menhan Prancis Edouard Daladier dan Panglima militer Prancis Jenderal Maurice Gustave Gamelin pada 16 Mei. Saat dijabarkan peta pertahanan, Churchill terperangah lantaran Prancis tak punya satu unit pun pasukan cadangan untuk menambal kebocoran-kebocoran garis pertahanan Sekutu, baik di front Belgia maupun Prancis.
Meski jumlah serdadu dan kendaraan tempur (ranpur) lapis baja Sekutu lebih besar, kekuatannya disebar sepanjang Maginot Lini. Sementara, Jerman memfokuskan pasukan lapis bajanya sebagai ujung tombak hanya ke beberapa titik pertahanan terlemah Sekutu. Salah satunya, di Hutan Ardennes.
Barisan korps panser Jenderal Heinz Guderian menerobos hutan Ardennes yang sebelumnya dianggap Sekutu takkan bisa dilewati pasukan musuh, lalu berpenetrasi ke kota Sedan. Pertahanan Sekutu pun kocar-kacir. Setelah tertembus, banyak kubu pertahanan Sekutu yang terkepung dan hancur.
Baca juga: Halt Order dari Hitler Mencegah Sekutu Musnah di Dunkirk
Guderian pula yang mengejar ratusan ribu pasukan Inggris (British Expeditionary Force) hingga ke Dunkirk di pesisir Prancis. Namun jago tank Jerman itu hanya bisa geleng-geleng kepala ketika Kanselir Jerman-Nazi Adolf Hitler menyerukan penghentian serbuan.
Begitulah inti konsep Blitzkrieg (serangan kilat) yang gemilang. Konsep itu sudah digulirkan kala Jerman menginvasi Polandia, 1 September 1939. Namun Blitzkrieg pada 10 Mei yang berbuah penaklukkan Eropa Barat (Belanda menyerah 14 Mei, Belgia 28 Mei, dan Prancis 25 Juni) yang begitu cepat membuat pasukan baja Jerman kian naik pamor.
Siapa Otak di Balik Blitzkrieg?
Sebagai konsep operasi militer, Blitzkrieg bersifat lugas dan tak berbelit-belit. Inti Blitzkrieg adalah serangan terkonsentrasi menggunakan ranpur sebagai penggebrak, infantri gerak cepat untuk mencegah musuh mengorganisir ulang pertahanan, dan dukungan kekuatan udara.
“Strategi Blitzkrieg adalah strategi terbaik sampai detik ini untuk mengalahkan pertahanan musuh. Hanya saja butuh peralatan perang dan teknologi yang mumpuni untuk membuatnya bekerja maksimal. Juga air support (dukungan udara). No air support, no Blitzkrieg,” tutur pemerhati militer Jerman-Nazi Alif Rafik Khan kepada Historia.
Dalam beberapa sumber, konsep dan manuver serupa tapi tak sama dengan Blitzkrieg sudah dilahirkan para juru taktik sejumlah negara Eropa yang “berkelahi” di Perang Dunia I. Di kubu Jerman, misalnya, terdapat teori perang Vernichtungsschlacht, yakni manuver pasukan dalam jumlah besar dan terkonsentrasi untuk mengepung posisi musuh untuk memberi pukulan menentukan dalam suatu babak peperangan.
Baca juga: Konflik Keluarga dalam Perang Dunia I
Strategi itu, diungkapkan Bryan Perrett dalam A History of Blitzkrieg, merupakan buah pikiran jenderal Prussia yang sohor dari abad ke-19, Carl von Clausewitz. Pada Perang Dunia I, teori perang itu lantas dimodifikasi seiring dengan perkembangan teknologi persenjataan masing-masing negara.
“Manuver itu berkembang secara terpisah, secara independen masing-masing mengembangkan konsepnya. Kalau Jerman asal-usulnya dari Bewegungskrieg (taktik manuver) yang dirancang (Marsekal Alfred) Von Schlieffen,” lanjut Alif yang juga penulis buku 1000+Fakta Nazi Jerman itu.
Di Prancis, manuver menggunakan tank-tank yang terkonsentrasi juga sudah digunakan sejak 1918 oleh Kolonel Charles de Gaulle yang kelak jadi panglima tentara Prancis. Menurutnya, setelah Perang Dunia I dibutuhkan operasi-operasi yang lebih mobil dan tak hanya terpaku pada parit-parit perlindungan (perang pasif). Gagasan itu kemudian diabaikan para seniornya.
Konsep serupa juga pernah digagas Jenderal Alexei Brusilov di Rusia pada 1916. Esensi dari konsep itu yakni, unsur pendadakan dan infiltrasi dengan tank sangat vital untuk memukul mundur posisi musuh. Namun, gagasan Brusilov tak dijadikan prioritas lantaran kekuatan ranpur mekanis lapis baja Rusia masih terbatas.
Sementara, di Inggris gagasan serupa dilontarkan juru taktik John Fuller dan Liddell Hart. Menariknya, para jago tank Jerman seperti Guderian dan Marsekal Erwin Rommel “berguru” pada kedua perwira Inggris yang gagasannya itu tak didengar para pejabat teras militer Inggris.
“Memang Guderian bukan murid dari bangku sekolah dengan Hart sebagai gurunya, melainkan buku-buku yang sebelum perang (dunia II) ditulis oleh Hart. Kata Guderian dalam tahun 1950: ‘Liddell Hart adalah guruku yang pertama mengenai taktik perang tank.’ Bahkan Marsekal Erwin Rommel pun dapat disebut murid Liddell Hart,” ungkap P. K. Ojong dalam Perang Eropa, Volume 1.
“Bersama dengan Jenderal Fuller, juga seorang Inggris, Liddell Hart adalah men of vision, orang yang bisa melihat jauh ke depan. Setelah Perang Dunia I berakhir, mereka melahirkan strategi dan taktik tank baru, yaitu konsentrasi tenaga tank sebagai pendobrak pertahanan lawan. Dan ini hanya mungkin jika sengaja dibentuk divisi tank, divisi panser tersendiri,” tambahnya.
Baca juga: Tank Leopard Jerman yang Layu Sebelum Berkembang
Mirisnya, sambung Ojong, hingga 1940 pun Inggris belum punya divisi tank. Ketika ide Hart-Fuller dipelajari Guderian dan Rommel pada 1939 kala menginvasi Polandia, Prancis, dan Benelux (Belgia, Belanda, dan Luksemburg), di Inggris ide Fuller dan Hart tak pernah didengar.
Sebaliknya, ketika mulai menginvasi Prancis dan Benelux pada 10 Mei 1940, Jerman sudah punya lebih dari 10 divisi tank. Sedikit-banyak itu adalah jasa Guderian yang sejak 1922 sudah mulai meracik taktik dan metode operasi mobil. Ia merangkumnya dalam buku bertajuk Achtung Panzer! terbitan 1937.
“Jika tank-tank berhasil, maka kemenangan tinggal menunggu waktu,” tulisnya di salah satu bab buku itu.
Namun, sejatinya konsep besar Blitzkrieg Jerman, utamanya dalam invasi Eropa Barat (Westfeldzug) yang sohor, merupakan buah pikiran Marsekal Erich von Manstein, atasan Guderian.
“Von Manstein yang merancang strategi penyerbuan ke Prancis dengan memodifikasi Schlieffen-Plan (Rencana Schlieffen). Dalam Westfeldzug, Guderian sendiri sekadar jadi komandan korps (XIX Armeekorps), sementara Rommel baru mencoba jadi komandan divisi (7 Panzerdivision),” kata Alif lagi.
Schlieffen-Plan sendiri adalah cetak-biru yang dilahirkan Marsekal Alfred von Schlieffen yang intinya, mobilisasi kekuatan militer pada satu titik serangan menggunakan semua perangkat yang dimiliki, termasuk unit logistik sebagai salah satu kuncinya.
Baca juga: Ketika Mimpi Hitler Menginvasi Inggris Tak Terwujud
Manstein memodifikasinya menjadi Fall Gelb (Operation Case Yellow), tentunya dengan pembaruan kekuatan alutsista yang dimiliki Jerman saat itu. Singkatnya, rancangan Manstein berupa strategi pengalihan oleh Grup AD B ke Belanda dan jika Sekutu sudah teralihkan, giliran Grup AD A berpenetrasi ke hutan Ardennes dengan lebih dulu menyeberangi Sungai Meuse.
Serangan Blitzkrieg ala Manstein tentu berupa kombinasi antara kekuatan darat dan udara. Di darat, Grup AD A Jerman yang dikomando Jenderal Gerd von Rundstedt menerjunkan 45 divisi infantri untuk mendukung tujuh divisi panser. Sementara di udara, Luftwaffe (AU Jerman) menyokong dengan lebih dari tiga ribu pesawat, termasuk pembom medium dan pembom tukik yang efektif menghancurkan musuh di darat.
Kendati serangan kilat ke Eropa Barat itu sukses besar, tak pernah ada penyebutan resmi menggunakan kata “Blitzkrieg” dalam arsip-arsip operasi Jerman. Hitler sendiri mengaku benci istilah itu. “Saya tak pernah mau menggunakan kata Blitzkrieg, karena itu adalah istilah yang bodoh,” katanya ketus dalam pidato medio November 1941, dikutip Karl-Heinz Frieser dalam The Blitzkrieg Legend: The 1940 Campaign in the West.
Istilah Blitzkrieg justru dipopulerkan media-media Barat. Salah satunya, The New York Times edisi Agustus 1940 lewat headline bertajuk “Nazis Intensify Air Raids on Britain As 500 Planes Pound at Strongholds: Blitzkrieg On, London Press Warns”.
Baca juga: Operasi Culverin, Gagasan Churchill Menginvasi Sumatera