TANPA cuaca baik 76 tahun lampau, mungkin tatanan politik saat ini berbeda karena jalannya Perang Dunia II mungkin akan lain. Panglima Sekutu di pelagan Eropa Jenderal Dwight D. Eisenhower percaya itu jawaban Tuhan akan doanya agar invasi ke Normandia, D-Day, bisa segera terlaksana.
D-Day, 6 Juni 1944, yang merupakan operasi militer gabungan skala besar untuk menerobos Tembok Atlantik adalah jawaban atas segala tekanan yang membebani Sekutu sejak Jerman mencengkeram Eropa Barat empat tahun sebelumnya. Rencana operasinya sempat nyaris runyam karena cuaca buruk.
“Dalam perencanaan Sekutu, sebenarnya timetable-nya 5 Juni. Tetapi karena cuaca sangat buruk dan tidak memungkinkan menggerakkan konvoi dari pantai Inggris menyeberang ke Normandia, diputuskan Eisenhower pada 4 Juni untuk menunda lagi 24 jam (menjadi tanggal 6 Juni),” ungkap sejarawan Eduard Lukman dalam bincang buku live di Instagram @bukukompas, Jumat (5/6/2020) petang.
“Ini krusial karena tidak ada pilihan lain. Selain karena ratusan ribu pasukan sudah terlalu lama di laut, kapal-kapalnya juga harus mengisi bahan bakar yang tak cukup waktu 1-2 hari. Kalau ditunggu cuaca baik dengan kalkulasi para ahli meteorologinya, pasang-surut di Normandia baru kembali normal dua minggu kemudian,” sambung dosen pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia itu.
Baca juga: Riwayat Blitzkrieg, Serbuan Kilat ala Nazi
Campur tangan Tuhan hanya satu dari sekian faktor penting dalam operasi bersandi Overlord itu. Faktor-faktor lain yang turut menentukan kesukesannya itu akan dihadirkan dalam edisi revisi dan penambahan dalam buku Perang Eropa, Jilid III karya mendiang PK. Ojong pada akhir Juni 2020.
Menurut Patricius Canahar, editor Penerbit Buku Kompas yang memandu bincang live itu, buku karya PK. Ojong itu akan memuat sejumlah bab tambahan baru yang mencurahkan detail tentang latarbelakang, persiapan, hingga intrik-intrik jelang operasi pendaratan amfibi terbesar di dunia itu yang belum sempat dimuat semasa PK. Ojong masih hidup.
Tidak hanya di pihak Sekutu, penambahan juga akan membuka lebih luas kondisi Jerman menghadapi serbuan kolosal itu. Tak ketinggalan, ada penambahan bab tentang inovasi teknologi militer termutakhir era itu.
Adu Ego
Satu faktor penting lain di balik invasi itu adalah tuntutan pemimpin Uni Soviet Joseph Stalin. Pada Konferensi Tehran, 28 November-1 Desember 1943, ia mendesak dua sekutunya, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill dan Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt, untuk membuka front kedua.
“Sejak awal 1943 di Pertempuran Stalingrad di front timur, Jerman mulai terdesak terus mundur, inisiatif ada di pihak Soviet. Di barat belum ada front kedua dan itu yang dituntut Stalin di Tehran. Lalu diputuskan membuka front kedua di Prancis,” sambung Edu.
Churchill sebetulnya ingin membuka front kedua di Balkan atau Yunani, di sana pertahanan Jerman lebih lemah ketimbang Tembok Atlantik di Prancis. Pemikiran Churchill punya maksud perhitungan geopolitik ke depan, yakni agar selepas perang, Eropa Timur tak dikuasai semata oleh Soviet. Namun, ada ego Amerika yang “main” argumen dengan Inggris.
“Akhirnya Amerika mengatakan, kita harus masuk dari Prancis langsung ke jantung Jerman. Karena Amerika mengatakan, kami sudah dua kali mengalah. Pertama, ketika Operasi Obor (8-16 November 1942) di Afrika Utara. Lalu, pendaratan di Pulau Sisilia dan Italia. Jadi apapun risikonya walau Jerman lebih kuat kami ingin maju ke Atlantic Wall. Itulah yang diperdebatkan. Lalu tempat sudah pasti, Prancis. Tapi kapan waktunya? Musim semi 1944,” imbuhnya.
Setelah Churchill “mengalah”, diungkitlah Operasi Overlord yang sejatinya perencanaanya sudah dipikirkan sejak 1942. Untuk memberi pukulan pamungkas terhadap Jerman, toh Sekutu menganggap pendaratan di Eropa Barat tetap akan dilakoni. Persoalan utamanya hanyalah waktu.
“Operasi itu dimatangkan lagi pada 1943 dan yang diberi tugas merancang operasi militernya adalah Letjen Frederick E. Morgan. Pada Agustus 1943 ia merepresentasikan rancangannya itu di depan pimpinan-pimpinan tertinggi Sekutu, di mana operasi itu akan melibatkan matra darat, laut, dan udara dengan dua juta personil darat, sekitar 1.200 kapal, dan 11 ribu pesawat berbagai jenis,” tambah Edu.
Baca juga: Operasi Culverin, Gagasan Churchill Menginvasi Sumatera
Pantai Normandia jadi sasarannya dengan lima titik pendaratan. Masaing-masing diberi sandi Utah dan Omaha (Amerika), Gold dan Sword (Inggris), dan Juno (Kanada).
Selesai urusan sasaran, timbul permasalahan baru mengenai siapa yang bakal mengomandoi, minimal pada pendaratan gelombang pertama yang akan melibatkan 150 ribu personil. Pasalnya, ada dua jenderal jago perang yang sama-sama punya ego tinggi: Marsekal Medan Bernard L. Montgomery dari Inggris dan Jenderal George Patton dari Amerika.
“Itu kemudian jadi perdebatan. Dan satu yang membedakan karakter Eisenhower adalah kualitasnya sebagai manajer. Reputasi di medan tempur mungkin masih di bawah Patton, tapi dia kemudian mampu menjembatani perbedaan paham keras-kerasan antara jenderal-jenderal Inggris dan Amerika, utamanya Montgomery dan Patton. Dia harus bisa seperti diplomat, toh yang ia pimpin jenderal-jenderal yang egonya kuat,” lanjutnya.
Dengan beragam pertimbangan, Eisenhower lantas menjatuhkan pilihannya pada Montgomery untuk memimpin pasukan darat dengan komandan lapangannya Jenderal Omar Bradley dari Amerika. Sokongan kekuatan udara dipercayakan pada Marsekal Udara Trafford Leigh Mallory, juga dari Inggris, sebagaimana Laksamana Bertram Ramsay yang bertanggung jawab atas ribuan konvoi kapal pendaratan.
Baca juga: Ketika Mimpi Hitler Menginvasi Inggris Tak Terwujud
Untuk menjaga unsur surprise agar tak diketahui pihak Jerman, Sekutu lalu melancarkan beberapa operasi pengecohan. Pengecohan itu agar Jerman selalu mengira Sekutu akan mendarat di Pas-de-Calais, pantai yang lebih dekat posisinya dengan Dover, Inggris, ketimbang Normandia.
“Amerika lantas merancang Ghost Army sebagai bentuk pengecohan. Jerman sebelumnya yakin Sekutu akan mendarat di Calais yang dekat untuk mempermdah logistik dan pengawalan oleh pesawat-pesawat Sekutu. Logika ini dipertahankan oleh Sekutu yang membuat rekayasa konsentrasi pasukan di Dover di bawah komando Patton,” sambung Edu.
“Pengecohan dibuat sedemikian rupa padahal sebetulnya kekuatan-kekuatan yang diintai Jerman adalah alutsista-alutsista pesawat dan tank dari karet, kayu, dan macam-macam. Ditambah lagi dengan Operasi Bodyguard, di mana agen-agen Inggris mensuplai informasi tentang konsentrasi di Calais agar Jerman tambah percaya, mengandalkan mesin kode Enigma yang dirampas dari kapal selam Jerman.”
Firasat Hitler soal Normandia
Dalam persiapannya di Prancis, Jerman punya dua generalfeldmarschall jago taktik dan strategi yang mengawal Tembok Atlantik: Gerd von Rundstedt dan Erwin Rommel. Sayangnya keduanya tak akur. Rundstedt, lanjut Edu, dengan keyakinan Sekutu bakal mendarat di Calais menganggap, harus menghadapinya secara mobile karena Jerman kekurangan sumber daya.
“Normandia dikawal pasukan Jerman yang mutunya kurang baik dan perlengkapannya kurang. Mereka terdiri dari divisi-divisi yang sebelumnya babak belur di front timur. Ada sekitar 10 divisi tapi paling-paling hanya separuhnya yang kondisinya baik. Itu yang jadi argumentasi Rundstedt dengan Rommel. Ternyata di pihak Jerman pun tidak solid,” papar Edu.
Sementara, Rommel lebih memilih menghadapi Sekutu dengan memperkuat pertahanan pantai. Alasan Rommel lebih masuk akal karena kalau memakai ide pertahanan mobile Rundstedt, butuh pasokan logistik yang lancar dan itu hampir mustahil karena ruang udara sudah dikuasai Sekutu yang dengan mudah bisa melihat manuver dan jalur logistik Jerman.
Baca juga: Erwin Rommel Si Rubah Gurun
“Akhirnya Hitler campur tangan dan dia mengambil keputusan kompromis antara dua jago perangnya itu. Rommel diizinkan membangun pertahanan pantai dengan sumber daya seadanya dan Rundstedt tetap diizinkan pula menyimpan rencana perang mobile. Tapi sebenarnya Hitler sudah punya firasat dan dugaan tersendiri bahwa Sekutu akan mendarat di Normandia,” katanya lagi.
“Makanya Hitler juga menempatkan Divisi Panser SS di Normandia tapi hanya boleh digerakkan atas perintah Hitler, bukan Rommel atau Runstedt. Ketika divisi itu boleh digunakan, kelak sudah terlambat karena Sekutu sudah masuk terlalu dalam dari Normandia,” imbuh Edu.
Faktor terakhir yang membuat Jerman bonyok di Normandia adalah insiden ledakan bom di markas Hitler di Rastenberg, 20 Juli 1944. Imbasnya, semua jenderal Jerman dicurigai. Rommel dipaksa bunuh diri, lantas Runsdtedt dicopot dari jabatan Oberbefehlshaber West (panglima pasukan Jerman di front Barat).
“Rundstedt lagipula tak disukai gaya kepemimpinannya oleh Hitler, tapi lucunya pada September 1944 dia diangkat lagi. Tetapi semua keputusan kemudian diambil oleh Hitler. Dia tak percaya lagi pada laporan-laporan para panglimanya yang lebih realistis. Dia menciptakan bayangannya sendiri di kepalanya akan kekuatan Jerman dan sebaliknya melemah-lemahkan kekuatan Soviet dan Sekutu dan itu blunder yang membuatnya kalah sejak Agustus 1944 di Prancis Utara,” tandas Edu.
Baca juga: Empat Upaya Pembunuhan Hitler yang Gagal