Stauffenberg, Opsir "Judas" Kepercayaan Hitler
Bangsawan flamboyan di lingkaran militer Jerman Nazi. Tak rela negerinya dibawa Hitler ke jurang kehancuran.
DI tengah semilir angin di halaman Bendlerblock (Markas AD Jerman Nazi), dini hari, 21 Juli 1944, hatinya hancur. Pikirannya terbang jauh membayangkan nasib istri dan tiga anaknya. Pun begitu, Oberst (kolonel) Claus Graf von Stauffenberg masih bisa mengendalikan diri dengan menjaga sikap sebagai perwira meski ia bakal menjelang maut.
Dari tempatnya ditahan dekat halaman, setidaknya dua kali Stauffenberg mendengar letusan-letusan senapan regu tembak yang menyasar dua koleganya. Stauffenberg di “kloter” ketiga tak lama kemudian menyusul ke tempat muasal letusan senjata itu bersama koleganya yang lain dan ajudannya, Letnan Werner von Haeften.
Jarum jam yang nangkring di salah satu tembok bangunan Bendlerblock menunjuk pukul 1 ketika para prajurit yang menahannya menyeret dan meninggalkannya dalam satu barisan dengan koleganya tanpa dibelenggu apapun. Tak lama kemudian, komandan regu tembak mulai memberi aba-aba.
Alih-alih gentar dan kecut, ia menatap tajam para personil regu tembak yang bersiap menekan picu senapan. Seketika terdengar perintah terakhir komandan regu tembak: “feuer!” (tembak!).
Baca juga: Mengejar Gembong Nazi Terakhir
Stauffenberg masih tegap berdiri. Ajudan Von Haeften rupanya sebagai bakti terakhirnya pasang badan menghalangi peluru agar tak menembus Stauffenberg.
Komandan regu tembak pun memerintahkan anak buahnya mengokang lagi senapan mereka. Kini, tiada lagi yang bisa melindungi Stauffenberg dari terjangan peluru. Tetapi sepersekian detik sebelum komandan regu tembak memberi perintah tembak, Stauffenberg sempat meneriakkan kata-kata terakhirnya: “Es lebe das heilige Deutschland!” (“jayalah Jerman yang suci!”)
Eksekusi Stauffenberg jadi langkah pamungkas diktator Jerman-Nazi Adolf Hitler terhadap kelompok “Plot 20 Juli”. Sehari sebelumnya, Plot 20 Juli berupaya membunuhnya. Upaya itu menggenapi beragam upaya percobaan pembunuhan Der Führer dengan motif menyelamatkan Jerman dari kehancuran total.
Keluarga Bangsawan
Stauffenberg merupakan jenderal kelahiran Jettingen, 15 November 1907. Claus Philipp Maria Justinian, demikian nama lahir Stauffenberg, datang dari keluarga aristokrat. Ayahnya, Alfred Klemens Philipp Justinian, seorang oberhofmarschall atau petinggi badan kehakiman di Kerajaan Württemberg. Ia “sekampung” dengan Generalfeldmarschall Erwin Rommel yang kelak jadi atasannya di Afrika Utara. Sementara ibunya, Caroline Schenk Gräfin von Üxküll-Gyllenband.
Sebagaimana diungkapkan R. Leigh dan M. Baigent dalam Secret Germany: Claus von Stauffenberg and the Mystical Crusade Against Hitler, garis darah birunya merupakan turunan dari ibunya yang berasal dari keluarga bangsawan Katolik Stauffenberg di Swabia, di mana keturunan lelaki menyandang titel Schenk Graf, sementara perempuannya bergelar Schenk Gräfin. Maka kolonel berhak menyantumkan gelar Schenk Graf von Stauffenberg, menggantikan nama famili ayahnya, Justinian.
Sebagaimana kedua kakaknya, Stauffenberg memupuk jiwa petualangannya sejak ikut Neupfadfinder atau organisasi kepanduan. Saat berusia 19 tahun, Stauffenberg meneruskan jejak para leluhurnya meniti karier di kemiliteran. Dia masuk di Resimen Kavaleri Berkuda ke-17 Bamberger Reiter.
Baca juga: Erwin Rommel Si Rubah Gurun
Seiring bergantinya zaman dari kavaleri berkuda ke kavaleri kendaraan tempur kala Hitler menguasai Jerman, Stauffenberg meleburkan diri ke Divisi Panzer Ringan ke-1. Mengenai sosok Hitler, Stauffenberg sebagai perwira muda pernah mengomentarinya saat Hitler maju dalam pemilihan presiden Jerman tahun 1932.
“Gagasan dan prinsipnya begitu erat dengan volkgemeinschaft (azas kerakyatan), prinsip kepentingan umum berada di atas kepentingan pribadi, prinsip perang terhadap korupsi di kota-kota besar, pemikirannya tentang ras dan keinginannya membawa Jerman ke era baru adalah yang baik buat masa depan bangsa,” ujarnya, dikutip Jürgen Schmädeke dan Peter Steinbach dalam Resistance to National Socialism.
Kekagumannya pada Hitler goyah kala sang diktator menggeber kebijakan-kebijakan rasis yang berujung pada sejumlah insiden kekerasan, salah satunya Kristallnacht atau “Malam Kaca Pecah”, di mana pada 9-10 November 1938 rumah-rumah dan pertokoan milik warga Yahudi dihancurkan. Pun dengan sejumlah kebijakan bengis Hitler terhadap warga Yahudi, turut-sertanya resimennya dalam invasi ke Polandia, dan perlakuan terhadap para tawanan kala pasukannya ikut dalam invasi ke Prancis.
Seperti halnya Rommel, di satu sisi ia tak bisa membenarkan kekerasan-kekerasan berlebihan terhadap musuh yang tak berdaya, di sisi lain, sebagai perwira ia terikat pada Führereid atau sumpah terhadap Hitler yang dilakoni semua perwira militer Jerman sejak 1934.
Membunuh Hitler
Beberapa keluarga Stauffenberg merupakan politisi simpatisan kelompok-kelompok anti-Hitler. Baik sang paman Nikolaus Graf von Üxküll-Gyllenbad (Paman Nux) maupun kedua kakaknya, Claus dan Berthold, beberapa kali meyakinkan Stauffenberg agar mau bergabung. Namun Stauffenberg menolak dengan dalih ia terikat sumpahnya sebagai perwira.
Awal 1943, Oberstleutnant (letnan kolonel) Stauffenberg dikirim ke Tunisia, di mana pasukannya, Divisi Panzer ke-10, diperintahkan memperkuat pasukan Afrika Korps-nya Rommel yang bertarung melawan Sekutu yang mendarat di wilayah Prancis Vichy. Pada siang 7 April 1943, konvoi kendaraan Stauffenberg diserang pesawat-pesawat tempur P-40 “Kittyhawk” Sekutu dekat Mezzouna, Tunisia. Akibatnya Stauffenberg luka parah dan harus diterbangkan untuk dirawat di rumahsakit di Munich.
Stauffenberg koma selama hampir tiga bulan. Ketika siuman, dia harus pasrah pada kenyataan bahwa ia harus kehilangan mata kiri, lengan kanan, dan tiga jari di tangan kirinya.
Baca juga: Laskar Muslim Hitler di Afrika Utara
Di masa pemulihan di rumahsakit dan di kediamannya itulah Stauffenberg membulatkan tekad untuk terlibat konspirasi membunuh Hitler. Utamanya setelah ia dijenguk beberapa kerabat, utamanya Paman Nux.
“Nux, seperti keluarganya yang lain, mulanya juga mendukung Hitler. Namun matanya terbuka sejak Hitler melakukan kejahatan perang. Untuk menyelamatkan nama baik Jerman, dia meyakini Hitler harus dienyahkan. Maka sejak ia menjenguk Claus (von Stauffenberg), ia tak hanya datang sebagai paman tapi juga mewakili komplotan konspirasi itu,” tulis Danny Orbach dalam The Plots Against Hitler.
Komplotan itu dipimpin Generalmajor Henning von Tresckow. Ia juga yang kemudian menempatkan Stauffenberg untuk kembali bertugas di Bendlerblock sebagai salah satu perwira staf Ersatzheer atau pasukan cadangan AD Jerman dengan panglimanya Generaloberts (jenderal-kolonel) Friedrich Fromm. Di sinilah Stauffenberg berperan merancang kudeta terhadap pemerintahan Nazi dan membunuh Hitler.
Dibantu salah satu perwira senior di Markas AD yang juga anggota komplotan, Jenderal Friedrich Olbricht, Stauffenberg dan Von Tresckow merevisi rancangan Unternehmen Walküre (Operasi Valkyrie), operasi yang memberi kewenangan terhadap Pasukan Cadangan Teritorial AD untuk menertibkan keamanan negara dalam keadaan darurat, salah satunya jika Hitler tiada.
Dalam revisi itu ditambahkan bahwa pasukan itu juga berwenang menahan para pejabat pemerintahan sipil Nazi yang berpotensi melakukan kudeta inkonstitusional seandainya Hitler wafat. Rancangannya lantas dibawa Stauffenberg dan Olbricht kepada Hitler untuk diteken. Hitler membubuhkan tandatangannya tanpa curiga karena kekagumannya pada pengorbanan Stauffenberg.
Nahas, tak lama kemudian Von Tresckow dikirim ke front timur. Setelah perdebatan sengit dengan kaum politisi, kaum militer memenangkan bujukan untuk mempercayakan pimpinan konspirasi ke pundak Stauffenberg. Namun jika nanti Stauffenberg sukses menjalankan misinya, pimpinan negara bakal dikembalikan ke kaum sipil untuk menegosiasikan perdamaian dengan Sekutu, mengingat sejak 6 Juni (D-Day) mereka sudah mendarat di Prancis.
“Pembunuhan harus dilakukan. Bahkan jika upayanya gagal, kita tetap harus ambil tindakan di Berlin. Dengan begitu kita bisa tunjukkan pada dunia bahwa rezim Hitler dan bangsa Jerman tidaklah seiya sekata dan tidak semua orang Jerman mendukung rezimnya,” cetus Tresckow sebelum menyerahkan pimpinan plot kepada Stauffenberg, dikutip Joseph Howard Tyson dalam The Surreal Reich.
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Siang, 20 Juli 1944, Stauffenberg mewakili Jenderal Fromm datang ke rapat petinggi militer dan Hitler di markasnya, Wolffschanze. Sebelum rapat dimulai, Stauffenberg meminta izin menggunakan kamar mandi di ruang kerja Kepala Oberkommando der Wehrmacht (Komando Tinggi Tentara Jerman) Generalfeldmarschall Wilhelm Keitel.
Dibantu ajudannya Von Haeften, Stauffenberg berusaha untuk mengaktifkan pensil detonator untuk bom dalam koper yang dibawanya. Ia selesai tepat waktu sebelum perwira lain memerintahkannya turut bergabung ke ruang rapat bersama Hitler.
Baca juga: Rekayasa Hoax Mengelabui Hitler
Jam dinding menunjukkan waktu 12.30 siang saat rapat dimulai. Sedikit demi sedikit Stauffenberg mencoba memposisikan diri sedekat mungkin dengan Hitler. Dengan tanpa disadari perwira lain, Stauffenberg meletakkan koper berisi bom itu di kolong meja dekat Hitler. Dengan alasan menerima telepon, Stauffenberg izin undur diri dari ruang rapat agar bisa melarikan diri secara diam-diam.
Boom! Sebuah ledakan mengempaskan tubuh-tubuh perwira Jerman dan Hitler seketika kala waktu menunjukkan pukul 12.42. Stauffenberg yang tengah dalam pelariannya menggunakan mobil mengaku melihat kepulan asap dari kejauhan, pertanda bomnya meledak. Dengan pesawat Heinkel He 111, ia lalu terbang ke Berlin untuk memberitahukan komplotannya bahwa ia telah membunuh Hitler.
Operasi Valkyrie lantas dikerahkan. Pasukan cadangan diterjunkan untuk mengamankan kantor-kantor dan pejabat Nazi serta SS (Schutzstaffel). Tidak hanya di sejumlah distrik militer di dalam negeri, Jenderal Carl-Heinrich von Stülpnagel, panglima pasukan Jerman di Prancis, melakoni hal serupa. Pun di Wina, Austria dan Praha, Ceko.
Baca juga: Riwayat Blitzkrieg, Serbuan Kilat ala Nazi
Namun angin yang berpihak ke kelompok konspirator berbalik 180 derajat kala senja menjelang. Hitler ternyata masih hidup walau mengalami luka ringan. Sang diktator mengontak Menteri Propaganda Joseph Goebbels di Berlin. Goebbels pun menyambungkan telepon Hitler itu kepada Mayor Otto Ernst Remer, komandan unit elit pasukan cadangan Wachbataillon Großdeutschland yang mengepung kementeriannya.
Entah apa yang dikatakan pada Remer via sambungan telepon itu. Selepas itu, ia memerintahkan semua pejabat partai Nazi dan SS dibebaskan. Ia segera berbalik untuk memburu kaki-tangan Stauffenberg di Kompleks AD Bendlerblock. Jenderal Fromm, atasan Stauffenberg, akhirnya melumpuhkan komplotan itu, termasuk Stauffenberg, Olbricht, serta jenderal veteran Ludwig Beck.
Mereka kemudian diseret untuk dihadapkan ke regu tembak di halaman Bendlerblock. Tanpa menunggu perintah lanjutan dari Hitler, Fromm segera memerintahkan anak buahnya mengubur Stauffenberg dkk. dengan upacara militer di Alter Sankt Matthäus-Kirchhof. Tetapi keesokan harinya jasad Stauffenberg digali kembali oleh SS. Seragam serta medalinya dilucuti. Jenazahnya lantas dikremasi.
Baca juga: Akhir Hidup Si Pemeran Hitler
Tambahkan komentar
Belum ada komentar