SUDAH sejak 29 Desember 2023 Afrika Selatan mengajukan kasus terhadap Israel ke International Court of Justice (ICJ) di Den Haag, Belanda. Hari ini, Kamis (11/1/2024) waktu setempat (Jumat, 12 Januari WIB), hari pertama dari dua hari sesi dengar pendapatnya dimulai.
Afrika Selatan “menyeret” Israel ke mahkamah internasional itu dengan dukungan dari puluhan negara. Malaysia jadi negara pertama yang secara resmi memberikan dukungan, disusul Türkiye, Bolivia, Venezuela, Maladewa, Pakistan, Venezuela, Kolombia, Brasil, serta segenap negara anggota OIC atau Organisasi Kerjasama Islam.
Sementara, Indonesia yang selama ini juga mendukung Palestina tidak ikut secara resmi mendukung pengkasusan Israel itu. Mengutip Kumparan, Kamis (11/1/2024), Kementerian Luar Negeri RI (kemlu) mengungkapkan bahwa pemerintah Indonesia tetap memberi dukungan secara moril dan politis tapi tidak dengan ikut menggugat atau mendukung secara hukum. Alasannya, karena Indonesia bukan “Negara Pihak” atau anggota PBB yang terikat perjanjian CPPCG atau Konvensi Genosida 1948 yang menjadi dasar pegangan ICJ. Kendati demikan, Menlu RI Retno Marsudi tetap dijadwalkan ikut hadir di muka sidang mahkamah internasional itu di sesi pendapat lisan pada 19 Februari 2024.
Baca juga: Bom Fosfor Putih yang Digunakan Israel di Gaza
Dalam kasus “Afrika Selatan vs. Israel” itu, pihak Afrika Selatan diwakili tim hukum John Dugard, Adila Hassim, Tembeka Ngcukaitobi, dan Vaughan Lowe, di bawah pimpinan Menteri Kehakiman Afrika Selatan Ronald Lamola. Sedangkan lawannya dari Israel diwakili advokat “cabutan” dari Inggris, Malcolm Shaw.
Kedua pihak sama-sama menunjuk dua hakim, Aharon Barak dan Dikgang Moseneke sebagai hakim ad hoc-nya. Sementara majelis hakimnya terdiri dari 15 hakim masing-masing dari Amerika Serikat, Rusia, China, Prancis, Australia, Brasil, Jerman, India, Jamaika, Jepang, Lebanon, Maroko, Slovenia, Somalia, dan Uganda.
Afrika Selatan sendiri mengajukan kasusnya sejak akhir Desember lalu atas dasar Konvensi Genosida. Dasar pemikirannya, Israel yang berlindung di balik klaim “membela diri” telah melanggar konvensi itu dengan tindakan-tindakan militer sejak 7 Oktober 2023 yang di luar batas terhadap warga sipil Palestina, baik di Jalur Gaza maupun di Tepi Barat. Menukil kantor berita Türkiye, Anadolu Ajansı, Kamis (11/1/2024), hingga menjelang 100 hari serangan brutalnya, Israel telah membantai 23.469 jiwa dan melukai 59.604 orang lainnya di Gaza.
Kendati begitu, sejak dikasuskan, pihak Israel tetap tak terima dan mengecam tindakan Afrika Selatan. Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu bahkan menuding Afrika Selatan sebagai pihak yang munafik.
“Kemunafikan Afrika Selatan lantang terdengar sampai ke langit ketujuh. Kami memerangi kebohongan. Hari ini kita melihat dunia sudah terbalik. Israel dituduh genosida saat memerangi genosida,” cetus Netanyahu, dikutip Reuters, Kamis (11/1/2024).
Baca juga: Kala Penduduk Gaza Terusir, Peristiwa Nakba Terulang Lagi?
Tudingan Israel tak membuat Afsel berubah pendirian. Pada sesi pertama dengar pendapat hari ini, tim hukum Afrika Selatan dengan lantang mengungkapkan Israel telah melanggar Pasal 2 dalam Konvensi Genosida, di antaranya dengan tindakan hukuman kolektif, serangan udara, menciptakan kelaparan, dan pengusiran paksa.
“Skala kehancuran di Gaza, penargetan permukiman dan warga sipil, peperangan yang mengarah pada perang terhadap anak-anak, semua menjadi jelas bahwa niat genosida telah dipahami dan dipraktikkan. Hal itu dimaksudkan untuk menghancurkan kehidupan warga Palestina,” ungkap Ngcukaitobi dalam sesi itu, dilansir Associated Press, Jumat (12/1/2024).
Sementara, Lamola menyatakan bahwa kekerasan, genosida, dan kehancuran di Palestina bukan dimulai sejak 7 Oktober 2023, melainkan sudah sejak 76 tahun lampau pasca-berdirinya negara zionis Israel. Akibatnya Palestina tetap dalam pendudukan dan tak memiliki kedaulatan dalam hampir semua aspek kehidupan meski sudah mendeklarasikan kemerdekaan pada 1988.
“Dalam rangka mengulurkan tangan kepada rakyat Palestina, kami memahami bahwa kami adalah bagian dari kemanusiaan. Ucapan itu berasal dari bapak bangsa Presiden Nelson Mandela; inilah semangat di mana Afrika Selatan menyetujui Konvensi Genosida 1948. Inilah semangat di mana pendekatan kami dalam persidangan ini sebagai ‘Negara Pihak’ dalam konvensi. Ini komitmen kami kepada semua, kepada rakyat Palestina dan juga Israel,” tukas Lamola.
Seruan Mandela untuk Kedaulatan Palestina
Afrika Selatan sejak rezim apartheid atau pra-Mandela sudah mendukung lahirnya negara zionis Israel pada 1948. Sebagai negara kesembilan yang mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Israel, Afrika Selatan pun menjalin hubungan diplomatik.
Kendati demikian, Israel ikut menentang apartheid di Afrika Selatan. Hal itu direspons eks-PM Afrika Selatan cum “Bapak Apartheid”, Hendrik Verwoerd. Dia mencibir kemunafikan Israel yang menerapkan pula apartheid terhadap wilayah Arab Palestina.
“Israel tidak konsisten dengan attitude apartheid-nya yang baru. Mereka mengambil wilayah dari orang Arab setelah orang-orang Arab tinggal di sana selama ribuan tahun. Israel, seperti halnya Afrika Selatan, adalah negara apartheid,” ujar Verwoerd, dikutip sejarawan Israel, Ilan Pappé dalam Israel and South Africa: The Many Faces of Apartheid.
Baca juga: Pendukung Zionis yang Mengutuki Kebrutalan Israel
Meski kemudian Afrika Selatan membela Israel pada Perang Enam Hari (5-10 Juni 1967), segalanya berubah seiring Mandela dibebaskan dari penjara pada Februari 1990 di pengujung rezim apartheid. Simpatinya terhadap Palestina diperlihatkan saat ia mengenakan keffiyeh Palestina yang dilingkarkan di lehernya saat menjadi tamu National Union of Algerian Youths di Alger, Aljazair pada 18 Mei 1990.
Kala berkunjung ke Kairo, Mesir dua hari berselang, untuk kali pertama Mandela bersua pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina PLO, Yasser Arafat. Keduanya saling mengunci pelukan hangat teriring senyum lebar.
“Saya meyakini bahwa ada banyak kesamaan antara perjuangan kami dan PLO. Kami hidup di bawah bentuk kolonialisme yang unik di Afrika Selatan, begitupun (orang Palestina) di Israel,” ungkap Mandela, dikutip Roni Mikel-Arieli dalam Remembering the Holocaust in a Racial State: Holocaust Memory in South Africa from Apartheid to Democracy (1948-1994).
Setelah terpilih sebagai presiden usai memenangi pemilu demokratis pertama di tahun 1994, Mandela mulai menyuarakan penyelesaian damai bagi konflik Palestina-Israel. Toh ia tetap mengakui eksistensi Israel dan jadi salah satu pendukung two-state solution atau solusi dua negara.
“Sebagai sebuah pergerakan perjuangan, kami mengakui legitimasi nasionalisme Palestina sebagaimana kami mengakui legitimasi zionisme sebagai nasionalisme Yahudi. Kami menegaskan hak negara Israel untuk eksis di wilayah perbatasannya tetapi berlaku hal yang sama, (kami) mendukung hak kedaulatan Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri,” tutur Mandela dikutip The New York Times edisi 12 Juni 1994.
Baca juga: Che Guevara dan Perlawanan di Gaza
Dalam kesempatan berbeda, Mandela lebih memperjelas sikapnya.
“Dukungan untuk Yasser Arafat dalam perjuangannya bukan berarti ANC meragukan hak eksistensi Israel sebagai negara. Walau bukan berarti Israel berhak mengambil wilayah yang mereka duduki dari dunia Arab, seperti Jalur Gaza, Dataran Tinggi Golan, dan Tepi Barat. Kami tidak menyetujui itu. Wilayah-wilayah ini harus dikembalikan kepada bangsa Arab (Palestina).”
Mandela kembali menegaskan dukugannya pada kebebasan, kemerdekaan, dan kedaulatan Palestina pada 4 Desember 1997 dalam rangka Hari Solidaritas Internasional. Ia menyerukan penyelesaian perkara dan ketidakadilan yang dialami masyarakat Palestina terhadap pendudukan Israel.
“Kita semua perlu melakukan tindakan lebih dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri. Kami sangat memahami bahwa bahwa kebebasan kami tidaklah lengkap tanpa kebebasan rakyat Palestina,” tegas Mandela, dikutip Jamil Effarah dalam Think Palestine: To Unlock U.S.-Israelis & Arab Conflicts.
“Konflik Palestina-Israel bukan hanya isu tentang pendudukan militer, dan Israel bukanlah negara yang lahir secara normal dan baru menduduki negeri lain pada 1967. Palestina tidak berjuang untuk sebuah ‘negara’ (karena sudah mendeklarasikan kemerdekaan pada 1988, red.) tapi untuk kebebasan dan kesetaraan, seperti halnya perjuangan kami demi kebebasan di Afrika Selatan,” tambah Mandela.
Sikap itu menjadikan sosok Mandela jadi salah satu figur internasional yang dicintai masyarakat Palestina. Pada 2016 atau tiga tahun pasca-wafatnya Mandela, persahabatan Afrika Selatan-Palestina dipererat dengan hadiah patung Mandela setinggi enam meter dari Pemerintah Kota Johannesburg kepada Otoritas Palestina. Patungnya ditempatkan di sebuah area yang dinamai “Alun-Alun Mandela” di kota Ramallah, Tepi Barat, Palestina.
Di Alun-Alun Mandela itu pula pada Rabu (10/1/2024), atau menjelang hari pertama pertama sesi dengar pendapat di sidang “Afrika Selatan vs Israel” atas kasus genosida di ICJ, Den Haag, ribuan masyarakat Palestina berkumpul. Mereka mengusung bendera Palestina, bendera Afrika Selatan, dan spanduk-spanduk bertuliskan “Ceasefire Now”, “Stop the Genocide”, dan “Thank You South Africa”.
“Hari ini kami mengucapkan terima kasih. Terima kasih kepada Afrika Selatan karena mengajukan kasus atas pendudukan (Israel) di ICJ. Kami percaya banyak negara lain ikut merasakan penderitaan kami tapi Afrika Selatan memutuskan untuk mewujudkannya di atas kertas untuk mengajukan kasusnya,” tukas Walikota Ramallah, Issa Kassis, dilansir Africa News, Rabu (10/1/2024).
Baca juga: Mimpi Raja Faisal Memerdekakan Palestina