Keffiyeh Simbol Pertama Perjuangan dan Solidaritas Palestina
Keffiyeh hitam-putih bermotif jaring ikan menjadi simbol, identitas, dan solidaritas perjuangan Palestina jauh sebelum simbolisasi semangka.
DARI supermodel Bella Hadid di New York hingga Zaskia Adya Mecca bersama mayoritas peserta aksi menuntut penghentian serangan Israel dan mendukung Palestina di Monas, Jakarta, semua kompak mengenakan keffiyeh atau kufiyah. Keffiyeh-nya khas Palestina berwarna hitam-putih dengan motif jaring ikan.
Keffiyeh sendiri mulanya merupakan penutup kepala hingga leher tradisional yang sudah lazim dikenakan masyarakat Arab, Kurdi, dan Turki di Asia Barat hingga Afrika Utara sejak peradaban kuno. Bahannya katun atau kadang sutera.
Kata “Keffiyeh” berasal dari nama kota Kufa di Irak. Sejarah panjangnya bisa ditelusuri dari Peradaban Mesopotamia. Namun keffiyeh mulai punya makna politis, utamanya simbol perjuangan Palestina, setelah pendudukan militer Inggris atas beberapa wilayah Arab pasca-Perang Dunia I, utamanya di Palestina dan Yordania.
“Sampai ada perbedaan antara warna keffiyeh merah-putih orang-orang Yordania dan hitam-putih yang dikenakan orang-orang Palestina, di mana pembedaan warna itu merupakan warisan eksistensi militer Inggris,” tulis Luisa Gandolfo dalam Palestinians in Jordan: The Politics Identity.
Simbol Palestina Merdeka dan Berdaulat
Pemimpin Palestine Liberation Organization (PLO/Organisasi Pembebasan Palestina) Yasser Arafat mempopulerkan keffiyeh sebagai simbol perjuangan sejak 1965. Namun, ia bukan pelopornya. Sebab, keffiyeh sudah ramai untuk dipropagandakan dengan tujuan Palestina merdeka semenjak Pemberontakan Arab 1936-1939.
Pemberontakan Arab 1936-1939 atau kadang disebut Thawrat Filastin al-Kubra (Pemberontakan Besar Palestina) dimotori Mufti Besar Yerusalem cum petinggi Komisi Tinggi Nasional Arab, Amin al-Husseini. Pemicunya, keresahan masyarakat Arab di Palestina, baik Muslim maupun Kristiani, karena pemerintah Inggris membuka pintu lebar bagi imigrasi kaum Yahudi sejak 1920. Pembukaan itu berujung pada aksi-aksi kekerasan masyarakat Arab dan Yahudi.
“Gerakannya beriringan dengan puncak imigrasi Yahudi, sekira 60 ribu jiwa tahun 1935 yang membuat populasi Yahudi berkembang pesat hingga 320 ribu di bawah perlindungan pemerintah Inggris,” ungkap Mark Sanagan dalam artikelnya, “Teacher, Preacher, Soldier, Martyr: Rethinking Izz al-Din al-Qassam” dalam jurnal Die Welt des Islams: International Journal for the Study of Modern Islam, Vol. 53.
Baca juga: Che Guevara dan Perlawanan di Gaza
Di masa pemberontakan itulah para pejuang yang menuntut kemerdekaan bangsa Arab Palestina dari Inggris menjadikan keffiyeh sebagai simbol perjuangan dan cita-cita kemerdekaan. Penutup kepala tradisional itu sebelumnya di Palestina hanya dipakai kaum petani Arab badui di pedesaan.
Para pejuang dalam pemberontakan itu, tulis Ted Swedenburg dalam “Popualar Memory and the Palestinian National Past” yang termaktub dalam buku Golden Ages, Dark Ages: Imagining the Past in Anthropology and History, mayoritas juga berasal dari kalangan petani. Oleh karenanya saat menyusup ke perkotaan, mereka sangat mudah dikenali dan ditangkap tentara Inggris.
“Maka pada Agustus 1938 di saat puncak pemberontakan, pemimpin pemberontak memerintahkan semua warga kota untuk menanggalkan tarbush (topi khas Turki) dan beralih ikut mengenakan kufiya (keffiyeh, red.). Perintah itu dikeluarkan bukan sekadar untuk membantu para pemberontak bisa berbaur saat mereka masuk wilayah perkotaan tapi juga meluaskan pengaruh perjuangan sosial,” ungkap Swedenburg.
Kebiasaan ini, lanjut Swedenburg, diteruskan kalangan fedayeen (milisi) Palestina, termasuk Arafat sebagai pemimpin PLO, pada pertengahan 1960-an sebagai simbol perjuangan nasional dan imej akan persatuan. Keffiyeh perlahan menjadi memori kolektif akan perjuangan bagi semua masyarakat Palestina di pedesaan maupun perkotaan, dan yang berasal dari kalangan Muslim maupun Kristiani.
“Yasser Arafat selalu tampil mengenakan keffiyeh bergaya unik dengan mengaturnya berbentuk segitiga di bagian dahinya untuk mencerminkan bentuk wilayah Palestina dalam peta,” singkap Faegheh Shirazi dalam Islamicate Textiles: Fashion, Fabric, and Ritual.
Baca juga: Sukarno dan Palestina
Lantaran sudah menjadi simbol perjuangan, keffiyeh yang sebelumnya bersifat maskulin karena biasa dipakai kaum lelaki, mulai turut dikenakan kaum perempuan. Beberapa di antara tokoh perempuan Palestina yang ikut merintis pemakaiannya adalah Dalal Mughrabi dan Leila Khaled.
“Dalal Mughrabi (1959-1978) adalah salah satu perempuan pertama yang mengadopsi keffiyeh sebagai simbol perjuangan Palestina. Dalal yang tewas selama aksi militer PLO di Israel, dikenang dan dihormati sebagai pejuang perempuan sejati di kalangan masyarakat Palestina. Saat (perempuan) mengenakan keffiyeh seperti hijab, beberapa lainnya mengenakannya di leher seperti syal,” tambahnya.
Tetapi karena perbedaan dasar politik yang sangat kentara dengan kalangan Fatah, Hamas dan milisinya sejak 1980-an tak mengikuti tren keffiyeh hitam-putih itu. Hamas lebih mengidentifikasi diri mereka dengan ikat kepala hijau atau keffiyeh merah-putih, sebagaimana yang tampak dikenakan Abu Ubaidah, juru bicara Hamas yang kerap muncul pascakonflik dengan Israel belakangan ini.
“(Hamas) menganggap kain (keffiyeh) itu sebagai simbol sekuler, simbol nasionalis yang didukung Fatah. Mereka lebih sering terlihat mengenakan ikat kepala hijau yang lebih bernuansa relijius dan dianggap mewakili citra Islam,” sambung Gandolfo.
Terlepas dari perbedaan Fatah dan Hamas, masyarakat di seluruh dunia yang menggelar aksi solidaritas terhadap Palestina lebih sering terlihat mengenakan keffiyeh hitam-putih. Sebagaimana yang dikenakan Bella Hadid. Dari dimensi sosio-ekonomi, imbuh Gandolfo, keffiyeh hitam-putih lebih melambangkan kaum jelata. Menjadikannya sebagai simbol yang lebih dekat dengan Arafat sebagai petani dan pejuang, yang ibarat mengenakan mahkota Yerusalem –tanah suci bagi semua masyarakat Palestina, dari kalangan Muslim maupun Kristiani.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar