SETELAH lebih dari 80 hari tentara Israel melakukan genosida di Palestina (Gaza dan Tepi Barat) yang memakan korban lebih dari 21 ribu jiwa, narasi self-defense Israel kian diragukan. Tak hanya oleh negara-negara sahabatnya tapi juga diragukan sejumlah aktivis dan tokoh di Israel sendiri.
Sebelumnya pun, Israel sudah “kalah” dalam hal perang informasi. Propaganda Israel kalah telak oleh serbuan warganet Indonesia, Malaysia, dan Turki. Itu belum termasuk “serangan” dari penyajian fakta lewat foto maupun video via media sosial oleh para wartawan Palestina yang masih bertahan di Gaza, seperti Belal Khaled, Motaz Azaiza, Hind Khoudary, Bisan Owda, Noor Harazeen, Youmna el-Sayed, Hamdan el-Dahdouh, dan kepala biro Al-Jazeera di Gaza yang segenap keluarganya sudah jadi korban, Wael el-Dahdouh.
Dalam beberapa kesempatan di sidang Dewan Keamanan dan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Israel memang masih didukung beberapa negara sekutunya seperti Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol, Papua Nugini, dan terutama Amerika Serikat yang mem-veto sejumlah resolusi gencatan senjata. Akan tetapi belakangan Spanyol “membelot” akan mengakui kedaulatan Palestina dan Prancis mulai memberi tekanan pada Israel untuk gencatan senjata, terlepas dari Presiden Emmanuel Macron tetap mencap gerakan perlawanan Hamas yang menentang pendudukan ilegal Israel sebagai terorisme.
“Kita tidak boleh membiarkan gagasan memerangi terorisme secara efektif dengan cara meratakan Gaza atau menyerang populasi sipil tanpa pandang bulu. Israel harus menghentikan ini karena ini tidak laik, karena semua nyawa sama harganya dan kita harus mempertahankannya. Kami menyerukan kesepakatan gencatan senjata demi kemanusiaan,” ujar Macron kepada France 5, dikutip The Guardian, 20 Desember 2023.
Baca juga: Mimpi Raja Faisal Memerdekakan Palestina
Beberapa waktu sebelumnya, kediaman Perdana Menteri (PM) Israel Benyamin Netanyahu juga digeruduk ribuan orang yang memprotes kebijakan pemerintahan sayap kanannya. Itu terjadi setelah bocornya informasi bahwa sejumlah warga Israel yang disandera Hamas justru dibunuh oleh pasukan Israel.
Bencana kemanusiaan yang terus terjadi di Gaza dan Tepi Barat juga bikin “gerah” Paus Fransiskus. Mengutip Vatican News, 17 Desember 2023, tokoh tertinggi Katolik itu menyatakan tindakan Israellah yang justru merupakan tindakan terorisme. Tak sedikit warga Palestina beragama Kristiani turut jadi korban tindakan Israel.
“Warga sipil tak bersenjata jadi target pemboman dan penembakan. Padahal serangan yang terjadi di gereja katolik (di Gaza) tidak ada teroris, hanya ada keluarga, anak-anak, orang-orang yang terluka dan disabilitas, serta biarawati. Ya, inilah perang. Inilah terorisme,” cetus Paus Fransiskus.
Baca juga: Alkisah Gereja Tertua di Gaza yang Dihancurkan Israel
Terbaru, eks-politikus senior sayap kanan Partai Likud, Ehud Olmert, juga ikut mengecam kebijakan Netanyahu. Olmert –merupakan perdana menteri Israel periode 2006-2009– meragukan ambisi Netanyahu untuk menghabisi Hamas dan serangan dipaksakan untuk meluluhlantakkan Gaza sekadar perang untuk kepentingan pribadi Netanyahu.
“Gaza menuju kehancuran, ribuan warganya membayar dengan nyawanya, tetapi tujuan menghancurkan Hamas takkan tercapai. Hamas terus memberi perlawanan meski sudah lemah dan berdarah-darah tapi mereka akan terus eksis di Gaza. Dalam atmosfer karakter arogan dari pemerintahan ini dan pemimpinnya, harus ada yang sadar bahwa tindakan ini sudah jelas tidak lagi diperlukan,” ungkap Olmert dalam tulisannya, “Israel’s Choice: Cease-fire Now or Dead Hostages Later” di kolom media Israel, Haaretz, 22 Desember 2023.
“Negara Israel sekarang dihadapkan pada dua opsi antara gencatan senjata sebagai bagian dari kesepakatan memulangkan para sandera dan gencatan senjata tanpa kesepakatan memulangkan sandera, di mana hal itu merupakan kekalahan telak, mengingat dukungan publik internasional sudah berbalik dari negara Israel yang punya hak untuk eksis tanpa ancaman teror menjadi organisasi pembunuh,” tulisnya.
Einstein Samakan Terorisme Israel dengan Nazi
Dalam setiap tindakan terhadap warga sipil Palestina –tak peduli orang Muslim Palestina, Kristiani, atau Yahudi– yang tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan, kaum zionis Israel senantiasa berpegang pada narasi “Tanah yang Dijanjikan”. Tanah Israel berhak mereka duduki, terlepas mereka pendatang dari Eropa.
Itu pula yang mendasari banyak milisi teroris Zionis merongrong warga Arab Palestina di awal deklarasi pendirian negara Israel pada 1948. Akibatnya, hampir satu juta warga asli Palestina terusir, sementara ribuan lainnya disiksa, dirudapaksa, dan dibantai dalam Peristiwa Nakba di tahun yang sama.
Narasi “Tanah yang Dijanjikan” itu sebetulnya pernah ditentang oleh gelombang narasi baru yang dimunculkan sejarawan Israel pada 1980-an. Di antaranya Benny Morris yang mengkritisi pembantaian dan sejumlah kasus rudapaksa terhadap warga sipil Palestina pada Peristiwa Nakba 1948, atau Avi Shlaim yang mengkritisi kebijakan PM Benjamin Netanyahu yang cenderung anti-perdamaian, dan Ilan Pappé yang mengkritisi kebijakan pembersihan etnis dan klaim “Tanah yang Dijanjikan”.
“Ada satu elemen zionisme yang banyak dilupakan para sejarawan, bahwa zionisme ingin mensekularisasi kehidupan Yahudi. Jika begitu, Anda tidak bisa menggunakan Alkitab sebagai justifikasi pendudukan Palestina. Sungguh perpaduan yang aneh dan saya menyebutnya: ‘gerakan orang-orang yang tak percaya pada Tuhan tapi percaya bahwa Tuhan menjanjikan mereka tanah Palestina’,” ungkap Pappé dalam buku yang ditulisnya bersama Noam Chomsky, On Palestine.
Baca juga: Kala Penduduk Gaza Terusir, Peristiwa Nakba Terulang Lagi?
Namun sebelum kegegeran gelombang narasi oleh para sejarawan baru itu, ilmuwan kondang Albert Einstein sudah acap mengkritik dan mengutuk tindakan-tindakan kaum sayap kanan zionis pendiri Israel. Selain dikenal sebagai fisikawan dan matematikawan, Einstein aktif menyatakan pandangan politiknya sejak 1920-an, utamanya zionis sosialis alias zionis kiri yang berseberangan dengan zionis kanan Menachem Begin dengan Partai Herutnya, partai yang pada 1988 bertransformasi menjadi Partai Likud.
Sesuai dengan narasi “Tanah yang Dijanjikan”, kaum zionis kanan menuntut berdirinya negara zionis yang khusus untuk orang Yahudi. Sementara, Einstein yang sempat melawat ke Palestina pada 1923, lebih mendukung gerakan zionis untuk membangun sebuah negara bersama yang bisa ditinggali imigran Yahudi dari Eropa dengan kalangan Arab secara rukun.
“Saya tidak mendapati kesan bahwa masalah Arab menjadi ancaman bagi perkembangan proyek Palestina (dalam Deklarasi Balfour 1917, red). Justru saya meyakini di antara kelas pekerja, utamanya Yahudi dan Arab bisa saling bekerjasama,” cetus Einstein pada 1927 dikutip John Stachel dalam Einstein from ‘B’ to ‘Z’.
Baca juga: Theodor Herzl, Orang di Balik Negeri Zionis
Einstein sejatinya mendukung berdirinya negara Yahudi sebagai kelanjutan dari Mandatory Palestine yang dipegang Inggris. Tetapi yang dimaksudkannya adalah negara tanpa pembatasan setiap sendi kehidupan imigran Yahudi dan kalangan Arab, serta tanpa tentara bersenjata yang bisa memunculkan potensi kekerasan.
“Lebih baik saya melihat perjanjian yang wajar dengan kaum Arab demi bisa hidup bersama dalam kedamaian ketimbang menciptakan sebuah negara Yahudi semata. Kesadaran saya tentang esensi Yudaisme menolak gagasan tentang negara Yahudi dengan pembatasan, pasukan, dan kekuasaan sementara. Saya khawatir rusaknya Yudaisme dari dalam karena perkembangan nasionalisme sempit di antara kita,” tutur Einstein pada 1938, dikutip David E. Rowe dan Robert Schulmann dalam Einstein on Politics: His Private Thoughts and Public Stand on Nationalism, Zionism, War, Peace, and the Bomb.
Namun, yang dikhawatirkan Einstein pun terjadi. Perang Arab-Israel dan Peristiwa Nakba menyusul berdirinya negara zionis Israel pada 1948 menjadi bukti. Rangkaian peristiwa sejarah tersebut meninggalkan cerita pahit sejumlah pembantaian terhadap warga Arab Palestina.
Baca juga: Nasib Tragis Desa Palestina yang Dibantai Zionis
Pembantaian Deir Yassin pada 9 April 1948, salah satunya. Penjagalan itu terjadi terhadap 600 warga desa Deir Yassin yang terletak lima kilometer sebelah barat Yerusalem. Saat itu Deir Yassin dikepung sekira 120 teroris paramiliter sayap kanan Irgun, Lehi, dan Haganah yang kelak menjadi cikal-bakal IDF.
“Sejumlah penduduknya tewas dalam baku tembak, beberapa di antaranya yang berusaha melarikan diri atau menyerah malah dibantai milisi Yahudi. Sejumlah tahanan Arab Palestina pun dieksekusi. Terdapat juga kasus mutilasi dan rudapaksa selain penyiksaan dan penjarahan,” ungkap Benny Morris dalam The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 1947-1949.
Hingga kini pun jumlah korbannya masih jadi kontroversi, antara 107-254 tewas menurut berbagai versi, sementara sekira 50 lainnya luka-luka. Bersama beberapa tokoh dan ilmuwan lain, Einstein mengutuk tragedi itu dan menyamakan paramiliter sayap kanan Israel itu laiknya kaum Nazi Jerman dan Fasis Italia yang mempersekusi hingga menjagal jutaan orang Yahudi dalam holocaust.
Baca juga: Duka Desa Tantura di Palestina
Einstein bersama 26 tokoh lain seperti Isidore Abramowitz, Rabi Jessurun Cardozo, dan Irma Wolfe, menulis surat terbuka yang dikirimkan kepada redaksi suratkabar The New York Times untuk dipublikasi pada 2 Desember 1948. Suratnya berisi kecaman keras terhadap Partai Herut dan paramiliternya atas pembantaian itu sebagai kejadian mengejutkan dunia yang dilakukan sekelompok teroris bersenjata.
“(Herut) partai yang metode, filosofil dan pendekatan sosial politiknya sama saja dengan Nazi dan kaum fasis…contoh mengejutkannya adalah tindakan mereka di desa Arab, Deir Yassin yang tak terlibat perang tapi ingin dijadikan sebagai basis mereka. Pada 9 April kelompok teroris menyerang desa yang damai dan bukan target militer itu. Tahanannya diarak di jalan-jalan Yerusalem. Komunitas Yahudi mengecamnya dan Agensi Yahudi sampai harus minta maaf kepada Raja Abdullah dari Yordania,” tulis Einstein dalam surat itu, dikutip Isidore Abramowitz dalam New Palestine Party: Visit of Menachem Begin and Aims of Political Movement Discussed.
“Akan tetapi para teroris itu sama sekali tidak malu atas tindakan mereka dan malah bangga dengan mengundang semua koresponden asing untuk melihat kehancuran di Deir Yassin. Seperti halnya partai-partai fasis, mereka menghancurkan semua yang merintangi mereka…oleh karena itu yang bertanda tangan di bawah ini berusaha menyajikan fakta penting mengenai Begin dan partainya, serta mendesak semua pihak untuk tidak mendukung manifestasi fasisme terbaru ini,” tutup Einstein dalam suratnya.
Terlepas dari kemudian ia menjadi salah satu dewan pakar Universitas Ibrani Yerusalem, Einstein menolak terlibat dalam pemerintahan sayap kanan di Israel. ia juga menolak tawaran untuk menjabat presiden kedua selepas wafatnya Presiden Israel pertama Chaim Weizmann pada 1952.
“Saya sangat tersentuh dengan tawaran dari negara Israel sekaligus dengan sedih hati dan malu saya tidak bisa menerimanya,” ungkap Einstein via suratnya kepada duta besar Israel untuk Amerika, dikutip Ronald Clark dalam Einstein: The Life and Times.
Baca juga: Kurikulum Merdeka di Palestina