Masuk Daftar
My Getplus

Palagan Terakhir di Eropa

Kisah terlupakan di balik pertempuran di sebuah pulau di Belanda. Insiden sengit yang baru berakhir dua pekan setelah VE Day pada 8 Mei 75 tahun lampau.

Oleh: Randy Wirayudha | 09 Mei 2020
Pemakaman ratusan eks-Legiun Georgia yang memberontak terhadap Jerman Nazi di Kompleks Memorial Pulau Texel (Foto: Repro "Discover the Dutch Wadden Islands"/texel.net)

PERAYAAN “VE Day” (Victory Europe) atau Hari Kemenangan Perang Dunia II di Eropa ke-75 terasa begitu berbeda pada Jumat (8/5/2020). Tak ada parade maupun festival mengenang heroisme Sekutu mengenyahkan Nazi di Eropa. Jalan-jalan kota London, Inggris yang biasanya disesaki lautan manusia, kini sunyi mengingat negeri Ratu Elizabeth II itu masih bergelut dengan pandemi virus corona.

Perayaan VE Day tetap bergulir sesuai protap-nya. Pada pukul 08.40 pagi waktu Inggris, papan-papan iklan di Piccadilly Circus memajang poster-poster VE Day. Pesawat-pesawat tempur RAF (AU Inggris) tetap beratraksi di langit kota Edinburgh hingga Cardiff City. Setelah meletakkan karangan bunga di Westminster Hall pada pukul 11 pagi, Ketua Parlemen Sir Lindsay Hole tetap membacakan kembali pidato Perdana Menteri Winston Churchill 75 tahun lampau.

Rangkaian prosesi perayaan itu bakal ditutup pidato Ratu Elizabeth II di Istana Windsor pada pukul 9 malam sebagaimana yang dilakukan ayahnya, Raja George VI, di tempat dan waktu yang sama via radio.

Advertising
Advertising

Baca juga: Kisah Plakat Pelantikan Raja Inggris George VI

PM Boris Johnson mengungkapan rasa syukur dan terimakasihnya lewat surat.

“Pada perayaan kali ini, kita menghadapi perjuangan baru melawan virus corona yang menuntut spirit dan ketahanan nasional yang sama seperti yang Anda (para veteran PD II) alami 75 tahun lalu. Kita tidak bisa memberi penghormatan dengan parade dan selebrasi di jalan-jalan seperti sebelumnya. Namun izinkanlah kami sebagai kompatriot Anda yang bangga, menjadi orang pertama yang berterimakasih dari hati yang paling dalam. Anda semua akan selalu dikenang,” ungkap Johnson, dikutip Daily Mail, Jumat (8/5/2020).

Pesawat-pesawat tempur RAF beratraksi di atas kota London dalam perayaan ke-75 VE Day (Foto: raf.mod.uk)

VE Day 8 Mei 1945 menandai berakhirnya PD II di Eropa (9 Mei untuk Uni Soviet/Rusia dan negara-negara Eropa Timur). Momen itu ditandai dengan dihentikannya aksi tembak-menembak baik oleh pihak Sekutu maupun Jerman Nazi, menyusul ditandatanganinya penyerahan tanpa syarat pada pukul 02.42 siang CET (Waktu Eropa Tengah) di sebuah gedung sekolah yang dijadikan markas SHAEF (Pasukan Ekspedisi Sekutu di Reims), Prancis.

Dalam dokumen penyerahan yang ditandatangani Generaloberst (Jenderal-Kolonel) Alfred Jodl (kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Jerman), Jenderal Walter Bedell Smith (kepala Staf Pasukan Ekspedisi Sekutu), Jenderal Ivan Susloparov (wakil Markas Komando Tinggi Soviet), dan Mayjen François Sevez (Prancis) itu dinyatakan semua unit bersenjata Jerman wajib menghentikan tembak-menembak dan memancang bendera putih mulai 8 Mei pukul 11.01 malam CET.

Namun, implementasinya di lapangan berbeda. Di Jerman sendiri di mana Sekutu dan Soviet sudah menjepit Jerman-Nazi, pertempuran masih terjadi. Yang tak banyak diketahui publik saat itu, sebuah palagan masih terjadi hingga 20 Mei di Texel, salah satu pulau di Kepulauan Wadden, utara Belanda.

Pembantaian Serdadu Jerman

Yang dimaksud adalah Pertempuran Texel atau Pemberontakan Georgische Legion (Legiun Georgia), 5 April hingga 20 Mei. Diungkapkan Steven J. Zaloga dalam The Atlantic Wall: Belgium, The Netherlands, Denmark and Norway, volume 2, mulanya Pulau Texel dijadikan Jerman sebagai salah satu bagian dari kantong pertahanan “Tembok Atlantik”.

Sejak September 1943, pulau itu ditempati 800 personil Jerman beretnis Georgia dalam unit Batalyon ke-882 “Königin Tamara” (Ratu Tamar). Batalyon dengan perwira tertinggi etnis Georgia, Letnan Shalva Loladze, itu dibentuk di Kruszyna, Polandia pada Juni 1943. Personilnya direkrut dari eks Tentara Merah beretnis Georgia yang jadi tawanan perang sebagai imbas kesuksesan Jerman di awal Operasi Barbarossa atau invasi ke Uni Soviet.

“Mereka pasukan dari Republik Sosialis Soviet Georgia yang ditawan di front timur. Kemudian diberi pilihan, antara tetap jadi tawanan perang untuk kemudian disiksa dan dibiarkan mati kelaparan atau ikut ‘membebaskan diri’ dari cengkeraman Uni Soviet dengan membelot angkat senjata untuk Jerman,” sebut Zaloga.

Baca juga: Bencana di Danau Ladoga

Pembentukan Legiun Georgia pada 1943 (Foto: Repro "Gebirgsjäger im Kaukasus: Die Operation Edelweiß, 1942/43"

Mereka pilih menyelamatkan diri dengan berganti seragam. Selain 800 personil beretnis Georgia, batalyon yang dipimpin Mayor Klaus Breitner itu juga diperkuat 400 prajurit asal Jerman. Sempat diikutkan dalam upaya Jerman membasmi perlawanan Partisan Yugoslavia, batalyon lantas ditarik ke front barat dan ditempatkan di Pulau Texel pada Januari 1945. Mereka turut menemani ratusan kru artileri pantai di dua baterai pada masing-masing pesisir utara dan selatan Pulau Texel.

“Ini yang jadi titik persoalannya, di mana sebenarnya banyak dari mereka menolak ditarik dari front timur karena tujuan mereka dibentuk dan dijanjikan Jerman adalah untuk melawan pasukan Soviet dan memerdekakan Georgia,” tulis Alexander Mikaberidze dalam Historical Dictionary of Georgia.

“Alhasil, moril unit itu anjlok dan kemauan untuk berperang di bawah rezim Nazi hilang seketika. Ditambah dengan jalannya perang di mana mulai awal 1945 Jerman sudah jadi pihak yang defensif, pasukan Legiun Georgia di Pulau Texel memutuskan untuk memberontak,” lanjutnya.

Baca juga: Laskar Muslim Hitler di Afrika Utara

Rencana pemberontakan lahir dari kepala Letnan Loladze, opsir tertinggi beretnis Georgia. Ia merancang gerakannya pada malam 5 April lantaran pada 6 April  mereka mendapat bocoran informasi bakal “dimutasi” lagi ke front barat untuk menghadang Sekutu yang sudah masuk ke Prancis. Bocoran info itu mereka dapatkan dari sejumlah anggota resistance (gerakan bawah tanah) Belanda yang bersembunyi di pemukiman dan peternakan penduduk lokal di pulau itu.

“Pada malam 5 April-6 April (dini hari), para pasukan Georgia dipimpin Letnan Loladze berontak dengan membunuhi sekira 400 prajurit asli Jerman. Kebanyakan mereka disembelih dengan belati dan bayonet saat sedang terlelap, atau ditembak begitu saja di antara prajurit Jerman yang sedang berjaga,” sambung Mikaberidze lagi.

Mayor Klaus Breitner sebagai danyon ke-882 "Königin Tamara" (Foto: Repro "Night of the Bayonets"/comtourist.com)

Dibantu sejumlah anggota resistance Belanda, termasuk submarkas batalyon di Den Burg, kota terbesar di Pulau Texel, mereka berhasil menguasai hampir segenap pulau itu pada pagi 6 April.

Namun beberapa dari prajurit Jerman bisa melarikan diri dari barak-barak mereka dan mengungsi ke baterai artileri pantai di sisi utara maupun selatan Pulau Texel. Sembari mengirim berita adanya pemberontakan ke daratan utama Belanda yang masih dikuasai Jerman, moncong-moncong artileri pantai di dua sisi itu saling menyalak sebagai perlawanan balik terhadap pemberontakan itu.

Baca juga: Riwayat Blitzkrieg, Serbuan Kilat ala Nazi

Dan yon Mayor Breitner, yang bermarkas di daratan utama Belanda, terkejut ketika menerima telegram dari Pulau Texel. “Kami tak pernah mencium apapun tentang sabotase atau rencana pemberontakan. Kami bahkan tak pernah berpikiran sampai ke situ, mengingat prajurit Georgia itu mengenakan seragam Jerman,” kata Breitner, dikutip Dick van Reeuwijk dalam Sondermeldung Texel: The Georgian Rebellion on Texel.

Laporan itu sampai ke kuping Der Führer Adolf Hitler di Berlin. Jawaban dari Hitler lugas: “Likuidasi semua pasukan (etnis) Georgia sesegera mungkin!” Titah itu direalisasikan Breitner dengan mengirim pasukan berkekuatan dua ribu prajurit dari Resimen Infantri Laut ke-163 yang berbasis di Steenwijk, Belanda.

Pasukan Georgia dengan pimpinan tertinggi dari etnisnya, Letnan Shalva Loladze (Foto: comtourist.com)

Setelah mencapai pesisir, pasukan yang dipimpin Kapten Carl Hollweg itu melancarkan serangan balasan. Berangsur-angsur segenap wilayah pulau berhasil direbut kembali, kecuali di mercusuar yang jadi basis pertahanan terakhir pasukan pemberontak Georgia.

Baru pada 22 April mercusuar itu bisa direbut. Ratusan pemberontak Georgia yang tertawan dipaksa menggali kuburnya sendiri. Sebelum dieksekusi, mereka diperintahkan melucuti seragamnya lantaran para pasukan Jerman enggan menembak mati pasukan yang seragamnya serupa dengan mereka.

Meski begitu, jalannya Palagan Texel sebagai pertempuran terakhir di tanah Eropa belum tuntas. Beberapa eks Batalyon ke-882 berhasil melarikan diri sebelum mercusuar itu direbut. Mereka kebanyakan bersembunyi di rumah-rumah atau peternakan yang biasanya milik keluarga anggota resistance.

Kolase eks-Batalyon 882 yang bergerilya dibantu kaum resistance Belanda (Foto: nationaalarchief.nl/niod.nl)

Tembak-menembak berskala kecil juga tak berhenti. Gerilya para pemberontak itu terus bergulir selama dua pekan kendati tersiar kabar bahwa Jerman telah menyerah pada Sekutu pada 8 Mei 1945. Breitner enggan berhenti berburu dengan motif balas dendam atas penyembelihan 400 prajuritnya. Mereka yang ketahuan menyembunyikan para pelarian, nasibnya sudah terang-benderang, rumah atau peternakan mereka dibakar, sementara penghuninya menemui maut lewat moncong senjata.

Baca juga: Erwin Rommel Si Rubah Gurun

Intelijen Inggris sudah tahu terjadinya pemberontakan oleh eks-Legiun Georgia ini pada 6 April karena mencegat siaran pesan Jerman yang dienkripsi mesin kode Enigma dengan mesin pemecah kode Ultra. Marsekal Bernard Law Montgomery, jenderal jago tank Inggris yang mengusir jenderal flamboyan Erwin Rommel di Afrika Utara, baru mengetahui info itu pada 24 April. Kala itu, Montgomery merupakan panglima tertinggi Inggris di wilayah Rhine, utara Jerman yang berdekatan dengan Belanda.

“Pada 27 April ketika pemberontakan itu mulai dihancurkan dan Jerman merebut kembali pulaunya serta melakukan pembersihan para anggota resistance, Montgomery akhirnya bertindak. Ia memerintahkan Korps II Kanada pimpinan Letjen Guy Simmonds untuk merebut seluruh Kepulauan Wadden,” ungkap Eric Lee dalam Night of the Bayonets: The Texel Uprising and Hitler’s Revenge, April-May 1945.

Mercusuar Cockdorp di utara Pulau Texel sebagai pertahanan terakhir pemberontak Georgia (kiri) dan sisa-sisa eks Batalyon ke-882 yang diselamatkan kedatangan Sekutu (Foto: nationaalarchief.nl)

Tetapi bukan hal gampang merebut kepulauan itu, termasuk Texel, pulau terbesar di kepulauan itu. Perlawanan Jerman masih sengit. Permintaan tambahan bantuan satu brigade komando elit Inggris Simonds ditolak Montgomery. Pasalnya, pasukan itu masih dibutuhkan Montgomery untuk menyisir sisa pasukan musuh di utara Jerman hingga penyerahan diri pasukan Jerman di Rhine, Denmark, dan Belanda pada 4 Mei atau empat hari sebelum kapitulasi Jerman di Reims.

Baru pada 20 Mei 1945 sisa-sisa pemberontak yang masih bernyawa dan bersembunyi terselamatkan dengan kedatangan pasukan Resimen Intai Artileri ke-1 Kanada. Breitner terpaksa menghentikan operasi-operasi pembersihan, mengingat dirinya juga turut dievakuasi untuk dipulangkan ke negerinya yang telah kalah perang.

“Batalyon saya sejak saat itu dianggap tidak ada lagi. Sisa-sisa pasukan saya kumpulkan untuk menghancurkan berkas-berkas dan dokumen. Kami juga membakar benderal batalyon ‘Königin Tamara’ sebagai pelampiasan terhadap pemberontakan orang-orang Georgia itu,” tandas Breitner.

Baca juga: Kawanan Serigala Jerman Nazi Berburu Mangsa

TAG

perangdunia ii perang-dunia jerman nazi belanda perang dunia

ARTIKEL TERKAIT

Riwayat NEC Nijmegen yang Menembus Imej Semenjana Memburu Kapal Hantu Keponakan Hitler Melawan Jerman Desa Bayu Lebih Seram dari Desa Penari Menyingkap yang Tabu Tempo Dulu Komandan Belanda Tewas di Korea Memori Manis Johan Neeskens Gerilyawan RI Disergap Sewaktu Mandi Bangsawan Banjar Kibuli Belanda Pakai Telegram Palsu Kisah Musisi Belanda Menyamar Jadi Laki-laki Ketika Melawan Nazi