Masuk Daftar
My Getplus

Chevalier Menggugat Égalité

Dramatisasi kisah komposer musik klasik keturunan Afrika pertama. Menggugat “égalité” dengan musiknya menyongsong revolusi yang membara.

Oleh: Randy Wirayudha | 26 Jun 2023
Kisah Joseph Bologne, komposer berkulit hitam yang termarjinalkan dikisahkan dalam film "Chevalier" (searchlightpictures.com)

DARI kejauhan, Joseph Bologne (diperankan Kelvin Harison Jr.) mengayunkan langkahnya dengan percaya diri di sebuah lorong Opéra de Paris. Malam pada akhir abad ke-18 itu, komposer Wolfgang Amadeus Mozart (Joseph Prowen) baru saja merampungkan salah satu simfoninya di atas panggung dan disambut tepuk tangan meriah para penontonnya.

Agar konsernya interaktif, Mozart mempersilakan penonton yang ingin request simfoni maupun concerto. Bologne yang makin mendekat ke panggung bersuara lebih keras meminta Mozart memainkan Concerto No. 5. Bahka, Bologne juga menawarkan diri untuk berduet dengan Mozart.

“Boleh saya bermain dengan Anda, monsieur?” tanya Bologne bernada menantang.

Advertising
Advertising

Baca juga: Balada Freddie Mercury dalam Bohemian Rhapsody

Mozart menerima permintaan Bologne. Tetapi membiarkan Bologne ikut berduet memainkan biola kemudian jadi keputusan keliru bagi Mozart. Justru Bologne yang “mencuri panggung” Mozart lantaran aksinya mengundang decak kagum yang lebih meriah.

Begitulah sutradara Stephen Williams membuka film biopik bertajuk Chevalier. Film drama ini mengangkat riwayat hidup Joseph Bologne, komposer musik dan opera klasik keturunan Afrika pertama dunia yang bertitel “chevalier” alias ksatria.

Chevalier de Saint-Georges (kiri) pamer skill di hadapan Wolfgang Amadeus Mozart (searchlightpictures.com)

Dari scene semua mata di aula besar Opéra de Paris memandang dengan takjub, alur cerita beringsut mundur ke masa kecil Bologne, ketika ia dibawa sang ayah dari tanah koloni Guadeloupe ke Prancis untuk disekolahkah ke Academie La Boëssière. Semua mata murid dan pengajar memandang sinis kepadanya. Tak ayal Bologne jadi sasaran perundungan verbal maupun fisik.

Eksitensi murid berkulit warna, baik orang Afrika maupun mulatto (blasteran Afrika-Eropa) bukan hal umum di masa itu. Bologne kecil merupakan anak haram hasil hubungan terlarang Georges Bologne de Saint-Georges, seorang pemukim Eropa sekaligus tuan tanah di koloni Guadeloupe, dengan perempuan dari kalangan budak Afrika bernama Nanon (Ronke Adékoluejo). Sejak kecil Bologne dipisahkan dari ibunya dan dijadikan orang bebas oleh ayahnya kala dibawa pulang ke Prancis.

Baca juga: Harriet "Musa" Pembebas Budak

Meski tumbuh di lingkungan yang diskriminatif, Bologne sanggup jadi murid yang menonjol, baik dalam musik maupun anggar. Ia juga menjalin persahabatan dengan Philippe d’Orléans (Alex Fitzalan), sepupu Raja Louis XVI yang kelak dikenal dengan nama Philippe Égalité. Menjelang kelulusannya di masa remaja, ia bahkan mampu mengalahkan jawara anggar asal Rouen, Alexandre Picard. Kemenangan gemilang itu mengantarkannya dianugerahi titel ksatria oleh Ratu Prancis Marie Antoinette (Lucy Boynton) –di mana Bologne mengimbuhi gelar ayahnya menjadi Chevalier de Saint-Georges.

Ketenaran Bologne membuatnya bak “Casanova-nya Paris”, hidup bergelimang harta dan wanita. Namun ia punya satu ambisi yang belum juga terpenuhi, yakni menjadi direktur Opéra de Paris. Sayangnya ambisi itu menimbulkan bercabang-cabang masalah dengan intrik-intrik romansa, antara Bologne, sang ratu, dan penyanyi opera yang ia taksir, Marie-Josephine (Samara Weaving).

Selain musik, Joseph Bologne juga jawara bermain anggar dan duel pedang (searchlightpictures.com)

Situasinya kian runyam lantaran hubungan terlarang itu dipergoki suami Marie-Josephine, Jenderal Marc-René, Marquis de Montalembert (Marton Csokas) yang merupakan panglima garda kerajaan. Selain kisah cintanya ambyar, ambisinya bersaing dengan komposer Christoph Gluck (Henry Lloyd-Hughes) untuk jadi direktur Opéra de Paris pun gagal menembus tembok diskriminasi.

Nanon yang akhirnya dibebaskan dari status budak sepeninggal Georges Bologne, berupaya meredam kemarahan Bologne. Ia membantu putranya menyalurkan bakat musiknya mengobarkan bibit-bibit Revolusi Prancis yang digalang sahabatnya, Philippe Égalité, demi Prancis dinaungi liberté (kebebasan), fraternité (persaudaraan), dan terutama égalité (kesetaraan).

Tentu bukan hal mudah bagi Bologne untuk berperan dalam upaya revolusi. Pasalnya ia sendiri terus mendapat intimidasi, baik dari Marc Rene maupun Marie Antoinette yang merasa dikhianati Bologne. Bagaimana sang Chevalier mendobrak semua tekanan dan ancaman itu dengan musiknya? Saksikan Chevalier yang sudah naik layar sejak 21 April 2023 dan masih bisa ditonton lewat platform daring Hulu dan Disney+ Hotstar.

Baca juga: Seberg Melawan Arus

Bologne bersama kekasihnya, Marie Josephine (tengah); dan sahabatnya Philippe Égalité (searchlightpictures.com)

Kemegahan Opera Klasik

Meski tone filmnya didominasi muram, setidaknya dipadu wardrobe dan properti yang kaya warna. Utamanya di sejumlah adegan yang memperlihatkan kehidupan mewah kalangan bangsawan dan borjuis di Paris masa itu.

Yang membedakan dari film-film dramatis lain adalah rangkaian music scoring klasik yang mengiringinya. Komposer Kris Bowers begitu pas menempatkan karya-karya klasiknya yang megah, melankolis, dramatis, intens, dan tragis, selain juga menyisipi simfoni maupun concerto klasik karya Mozart dan Bologne yang membawa suasana dinamis di masing-masing adegan untuk dinikmati penonton.

Kendati begitu, sang sineas mengakui bahwa ceritanya memang banyak ia dramatisir. Gara-garanya sebagian bab kehidupan nyata dan karya-karya asli Bologne sejatinya hilang ditelan zaman. Utamanya setelah Napoleon Bonaparte berkuasa di Prancis pasca-revolusi (1789-1799) dan mengembalikan lagi kebijakan perbudakan –yang sudah dihapuskan pada 1794– pada 20 Mei 1802.

“Begitulah kehidupan Joseph Bologne yang terhapus zaman. Napoleon berkuasa pasca-revolusi di Prancis dan memerintahkan penindasan akan hidup dan karya-karya Joseph. Tak heran hanya sedikit karya musik sang chevalier yang tersisa. Ada beberapa bab kisahnya dan musiknya yang masih ada tapi sisanya saya menebak-nebak,” kata Williams kepada Screen Rant, 21 April 2023.

Baca juga: Adieu, Jean-Luc Godard!

Sutradara Stephen Williams (kanan) sedang mengarahkan aktor utama Chevalier (searchlightpictures.com)

Oleh karenanya meski banyak kisah besarnya terjadi sebelum revolusi, Williams sengaja tidak membubuhi keterangan detail waktu. Khususnya di setiap babak kehidupan Bologne.

“Presiden Amerika (Serikat) John Adams pernah memujinya sebagai salah satu sosok yang komplet dan musisi gemilang di seantero Eropa dan saya sebelumnya tak pernah tahu tentang dia. Setelah saya mencari informasi dan cerita tentang dia, jelaslah periode di mana ia hidup meski di film ini saya tidak memberi keterangan periode yang spesifik,” imbuhnya.

Akhir Tragis Riwayat “Mozart Hitam”

Joseph Bologne lahir di Baillif, Guadeloupe di Hari Natal 1745. Sebagai seorang mulatto, ia adalah putra tidak sah Georges Bologne de Saint-Georges dan Nanon. Nanon “sang gadis budak” mulanya merupakan asisten rumah tangga istri Georges, Elisabeth Mérican.

“Nanon masih 16 tahun saat melahirkan bayi berkulit cokelat, Joseph. Di malam Natal, Joseph masih dirawat ibunya yang bangga dan sangat mengasihi bayinya. Pun dengan Georges lantaran Joseph adalah putra pertamanya karena anak pertamanya dengan istri sahnya, Elisabeth-Françoise Merican merupakan anak perempuan,” tulis Gabriel Banat dalam The Chevalier de Saint-Georges: Virtuoso of the Sword and the Bow.

Lantaran Joseph dibanggakan sebagai putra pertama, ia dijadikan mulatto yang bebas meski lahir sebagai budak. Ketika berusia tujuh tahun, Joseph kecil membawa Georges ke Prancis untuk mengenyam pendidikan di sekolah asrama Jesuit Angoulême. Kemudian pada usia 13 tahun, ia belajar di akademi Texier de La Boëssière.

Baca juga: Wally Budak yang Bereaksi dan Dieksekusi

Penggambaran Joseph Bologne bersama ibu kandungnya, Nanon (searchlightpictures.com)

Namun sayangnya, kehidupan masa kecilnya selama tiga tahun di Paris hilang ditelan zaman. Padahal diyakini ketika ia masih berusia 12 tahun atau setahun sebelum masuk akademi La Boëssière, Bologne sudah belajar biola.

“Oleh karenanya masih jadi misteri untuk menjelaskan bagaimana di usia 24 tahun Joseph tiba-tiba jadi musisi biola yang tenar di antara kalangan orkestra simfoni Paris. Memang ada beberapa sosok yang memengaruhi musikalitasnya tetapi masih belum bisa dipastikan siapa yang mengajarinya bermain biola pada awal kehidupannya di Paris sekitar usia 12 tahun,” lanjut Banat.

Bab kehidupan penting Bologne lain yang tak tersaji di film adalah riwayatnya ketika berjibaku semasa Revolusi Prancis. Figur yang dikenal sebagai “Mozart Hitam” itu tak hanya menggencarkan revolusi untuk menumbangkan monarki dengan musiknya tapi juga dengan angkat senjata.

Baca juga: Pemberontakan Budak 17 Agustus, Menang atau Mati!

Lukisan Joseph Bologne karya Abbé Alexandre-Auguste Robineau (rct.uk)

Dalam masa awal revolusi, Bologne sekadar ikut barisan sukarela sipil di Garde Nationale. Tetapi setahun berselang, Bologne kian serius mendalami karier militernya di barisan Armée Révolutionnaire Française (pasukan sukarela Prancis) dengan membentuk pasukan berkekuatan 400 ribu sukarelawan untuk membendung serbuan pasukan Austria di perbatasan.

“Ia diberi pangkat kapten dan kemudian kolonel di Légion Nationale du Midi yang juga dikenal sebagai Legiun Hitam, di mana ia memegang komando 1.000 serdadu kulit hitam, salah satu di antaranya (Thomas) Alexander Dumas, ayah novelis (Les Trois Mousquitaires/Three Musketeers, Alexander Dumas),” ungkap Sandrine Bergès dalam Liberty in Their Names.

Namun karena keterlibatan Bologne di masa lalu, ia ditangkap dan dipenjara 11 bulan. Legion yang ia komandoi juga dibubarkan. Rezim teror di Prancis tak menghendaki siapapun punya keterkaitan dengan kalangan monarki, termasuk Bologne yang pernah dekat dengan Marie Antoinette, serta Philippe Egalite dan Jenderal Charles François Dumouriez yang dituduh ingin menumbangkan Republik Prancis.

Baca juga: Napoléon Sang Pahlawan Revolusi Prancis?

Beberapa karya Joseph Bologne yang tersisa usai diberangus Napoleon (gallica.bnf.fr/Wikipedia)

Bologne pun tak pernah lagi bisa kembali berkarier di militer. Petisinya untuk minta dikembalikan pasca-dibebaskan selalu bertepuk sebelah tangan.

“Saya berusaha terus-menerus menunjukkan kesetiaan saya pada revolusi. Sejak permulaan perang, saya mengabdi dengan antusiasme besar tapi persekusi yang saya alami tak jua menghilang. Saya tidak punya maksud lain selain untuk bisa kembali ke posisi saya. Akan tetapi pengajuan saya kepada (anggota komite, Jean-François) Rewbell selalu ditolak,” sesal Bologne dalam sebuah suratnya, dikutip Banat.

Banyak pula catatan tentang bab kehidupan pasca-militernya yang hilang. Hanya bisa dipastikan, ia hidup dalam kemiskinan bersama veteran yang juga kolega lamanya, Kapten Nicolas Duhamel, di Rue Boucherat, Paris.

“Menjelang akhir hidup saya, saya hanya bisa mendedikasikan diri dengan biola saya,” ungkap Bologne, dikutip Banat.

Hanya diketahui di pengujung hayatnya, Bologne menderita penyakit pencernaan di organ ususnya. Bologne akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada 9 Juni 1799 di usia 53 tahun dalam keadaan miskin dan kesepian.

Nama Bologne sempat hilang selama dua abad gegara Napoleon yang bertindak sebagai Konsul Utama Republik Prancis mengembalikan sistem perbudakan. Banyak catatan hidup maupun karya-karya Bologne yang tersebar di beberapa lembaga arsip pun lenyap karena dianggap karya budak inferior.

Deskripsi Film:

Judul: Chevalier | Sutradara: Stephen Williams | Produser: Ed Guiney, Andrew Lowe, Stefani Robinson, Dianne McGunigle | Pemain: Kelvin Harris Jr., Samara Weaving, Marton Csokas, Lucy Boynton, Joseph Prowen, Ronke Adékoluejo, Minnie Driver, Alex Fitzalan | Produksi: Element Pictures, TSG Entertainment | Distributor: Searchlight Pictures | Genre: Drama Biopik | Durasi: 104 menit | Rilis: 21 April 2023.

TAG

revolusi perancis napoleon komponis film sejarah prancis prancis musisi

ARTIKEL TERKAIT

Uprising Memotret Kemelut Budak yang Menolak Tunduk Hasrat Nurnaningsih Menembus Hollywood Alkisah Eksotisme dan Prahara Sarawak lewat Rajah Sabra, Superhero Israel Sarat Kontroversi Daeng Mangalle dan Konspirasi Melawan Raja Thailand Pangeran Makassar Membela Raja Louis-Prancis Akhir Tragis Sahabat Marie Antoinette Marie Antoinette, Let Them Eat Cake, dan Revolusi Prancis Marie Antoinette, Ratu Prancis yang Mati Tragis Alain Delon Ikut Perang di Vietnam