PRANCIS kehilangan “harta nasional”, begitu kata Presiden Prancis Emmanuel Macron dalam cuitannya di akun Twitter-nya, Selasa (13/9/2022), usai mendengar kabar duka meninggalnya sutradara nyentrik Jean-Luc Godard. Godard wafat di usia 91 tahun akibat bunuh diri dengan euthanasia atau suntikan mati –yang dilegalkan di Swiss– di kediamannya di Rolle, Swiss pada 13 September 2022.
“Beliau mencari jalan lain dalam hal bantuan hukum di Swiss untuk ‘pergi’ secara seukarela karena beliau menderita beberapa penyakit yang tak bisa disembuhkan. Beliau wafat di kediamannya dalam damai dengan didampingi istri (ketiga), Anne-Marie Miéville saat menjelang maut,” ungkap kuasa hukum mendiang Godard, Patrick Jeanneret, dikutip The Guardian, Selasa (13/9/2022).
Selain Presiden Prancis, eks-Menteri Kebudayaan (2002-2012) Prancis Jack Lang, sebagaimana dilansir CBC, Selasa (13/9/2022), juga merasa kehilangan.
“Kita berutang banyak kepadanya. Ia menyemarakkan sinema dengan puisi dan filosofi. Matanya yang tajam dan unik membuat kita bisa melihat segala sesuatu yang tak kasat mata,” kata Lang.
Baca juga: Mengenang Sineas Legendaris Bernardo Bertolucci
Sineas Inggris Edgar Wright mengungkapkan bahwa mendiang Godard jadi salah satu sosok legenda yang menginspirasi banyak sutradara hebat. Martin Scorsese dan Quentin Tarantino di antaranya.
“Mungkin tidak ada sutradara lain selain dia yang paling menginspirasi banyak orang untuk mengambil kamera dan memulai syuting,” kata Wright.
Aktor kawakan Antonio Banderas juga mengaturkan rasa dukanya. “Terima kasih Tuan Godard telah memperluas batasan-batasan yang ada dalam sinema,” kata Banderas.
Dalam jagad sinema dunia, jika bicara Nouvelle Vague atau “French New Wave” (gelombang baru), Godard punya kontribusi besar. Dia memang bukan pencetus, “godfather”, atau “Bapak French New Wave”. Namun film-film suksesnya membuat gelombang baru itu bisa mengglobal, menginspirasi, hingga ditiru dan dimodifikasi banyak sutradara kondang macam Scorsese dan Tarantino.
French New Wave, sebagaimana yang dicatat kritikus James F. Monaco dalam The New Wave: Truffaut, Godard, Chabrol, Rohmer, Rivette, merupakan satu gebrakan dalam seni perfilman yang melintas batas-batas tradisional sejak era pra-Perang Dunia II. Gerakan gelombang baru itu mencuri perhatian publik global lewat plot maupun alur cerita yang tidak lurus dan logis. Seringkali prosesnya eksperimental dengan gaya pengambilan gambar serta susunan adegan yang tidak rapi, dan sangat kental dengan ikonoklasme dalam karya-karyanya. Maka mereka yang melakoninya dicap radikal karena film-film yang dihasilkan dinilai kasar dan subversif pada zamannya meski secara estetik juga sarat dengan kosmetik sinematik.
Baca juga: Pemikiran Usmar Ismail dalam Film-filmnya
French New Wave sendiri dicetuskan novelis, kritikus cum sineas Prancis Alexandre Astruc. Ia mengabadikan gagasannya dalam “Naissance d’une nouvelle avant-garde: la caméra-stylo” (“The Birth of a New Avant-Garde”) yang dimuat majalah L’Écran edisi 30 Maret 1948.
“Akan tetapi baru 10 tahun kemudian hingga akhirnya para sineas New Wave memenuhi mimpi Astruc dan mempraktikkan teorinya. Pada 1950-an para sineas ini ditempa di klub-klub film seperti Cinémathèque Française, di mana di antara tokoh pentingnya adalah (François) Truffaut, Godard, Éric Rohmer (alias Maurice Schérer), (Claude) Chabrol, dan (Jacques) Rivette yang menulis di (jurnal film) Cahiers du Cinéma yang didirikan André Bazin. Oleh karenanya godfather-nya New Wave tak lain adalah Henri Langlois si pendiri Cinémathèque yang memberikan banyak materi tentang kritik film tapi Bapak New Wave-nya sendiri adalah Bazin,” ungkap Monaco.
Peran Godard menjadi besar karena pada 1960-an beberapa dari ratusan karyanya yang lintas genre benar-benar mengglobalkan New Wave dan mengguncang jagat sinema dunia. Sebut saja À bout de souffle (Breathless, 1960); Le petit soldat (The Little Soldier, 1960); Vivre sa vie (My Life to Live, 1962); Les Carabiniers (The Carabineers, 1963); dan Le Mépris (Contempt, 1963).
Baca juga: Francis Ford Coppola dan Trilogi The Godfather
Dari Proyek Bendungan ke Jagat Sinema
Lahir di Paris, Prancis pada 3 Desember 1930, Godard tumbuh di keluarga kaya Prancis-Swiss. Ayahnya, Paul Godard, seorang dokter dan ibunya, Odile Monod, merupakan putri dari salah satu bankir paling berpengaruh di Prancis cum pendiri BNP Paribas, Julien Monod. Di masa kecilnya, Godard dibawa keluarganya mengungsi ke Swiss demi menghindari Perang Dunia II.
“Godard menikmati masa-masa pertumbuhannya dengan banyak literasi yang kemudian mempengaruhi minatnya pada perfilman. Darah seninya diturunkan dari kakek dari garis ibunya yang seorang penyair, Paul Valéry. Godard juga sempat studi antropologi di Sorbonne (Université de Paris, red.) walau kemudian drop out dan sepanjang masa mudanya sempat bekerja serabutan. Dia menghindari wajib militer di Prancis dan Swiss dengan berkelana ke Amerika Utara dan Amerika Selatan,” tulis Douglas Morrey dalam biografi Jean-Luc Godard.
Lima tahun pasca-Perang Dunia II, Godard yang sudah menaruh minat besar pada perfilman menggabungkan diri ke beberapa klub film, di antaranya Cinémathèque Française dan Ciné-Club du Quartier Latin (CCQL). Di masa itu ia memilih untuk hidup lebih bebas dan mandiri di tengah kekisruhan rumah tangga orangtuanya yang berakhir perceraian.
Baca juga: Lahir Hanung, Negara Berkabung
Di klub-klub itu pula Godard mulai akrab dengan para cinephile yang radikal dalam gagasan pergerakan film: Truffaut, Rohmer, Chabrol, dan Rivette. Mereka semua di bawah asuhan dan bimbingan Langlois dan Bazin. Mereka menuangkan banyak pemikiran soal film di jurnal yang kritis soal film, Cahiers du Cinéma.
Dari kritikus film, Godard mulai tergoda untuk membuat film sendiri. Tak lama setelah kontraknya sebagai pekerja proyek Bendungan Grande Dixence di Plaz Fleuri, Hérémence, Swiss, selesai pada 1954, ia membuat film sendiri. Godard bisa bekerja di proyek bendungan itu lewat bantuan Jean-Pierre Laubscher yang juga bekerja di proyek yang sama. Laubscher merupakan kekasih ibunya, Odile, usai sang ibu bercerai dari Paul Godard.
“Di situ ia melihat kemungkinan membuat dokumenter tentang bendungan. Ia melakukannya dengan kamera 35 milimeter pinjaman dari temannya. Film yang diberi judul Operation béton (Operation Concrete, 1955) itu diapresiasi dan oleh perusahaan (proyek bendungan) dijadikan salah satu publisitas perusahaannya,” ungkap Richard Brody dalam Everything in Cinema: The Working Life of Jean-Luc Godard.
Setelah banyak memproduksi dokumenter, Godard masuk ke film feature pada 1960. Ia menggebrak dunia sinema dengan À bout de souffle (Breathless). Film drama kriminal yang dibintangi Jean-Paul Belmondo dan Jean Seberg itu skenarionya ditulis Godard bersama Truffaut dan Chabrol dengan dinaungi rumah produksi Les Films Impéria. Dengan biaya produksi hanya 400 ribu franc, Breathless yang mengglobal bisa mengumpulkan laba hingga 2,3 juta franc.
“Godard memperkenalkan salah satu inovasinya di (film) À bout de souffle dengan menggunakan teknik jump-cut. Teknik yang revolusioner seperti halnya seorang novelis atau penyair menggunakan (tanda baca) titik koma,” sambung Monaco.
Baca juga: Jean Seberg Melawan Arus
Gebrakan lainnya, lanjut Monaco, Godard mengenalkan proses syuting di lokasi outdoor ketimbang di studio yang lazim ditemui dalam film-film klasik. Pun dengan penggunaan kamera genggam 35 mm yang ambience-nya lebih mirip dokumenter. Godard juga punya kebiasaan di lokasi syuting menuliskan dialog-dialog baru untuk menambah alur cerita dalam outline skenario karya Truffaut, ketimbang mempersiapkannya jauh-jauh hari.
“Godard memang ingin Breathless dibuat seperti dokumenter, dengan kamera genggam tanpa (kamera) bertripod dan pencahayaan yang minimum. Hasilnya mirip newsreel, lebih praktis, dan memberikan komponen-komponen film yang lebih estetik,” lanjut Brody.
Breathless yang rilis pada 16 Maret 1960 di Paris, meledak. Filmnya menarik penonton yang luar biasa besar, tak hanya di bioskop-bioskop Prancis tapi juga sampai ke Eropa dan Amerika berkat sejumlah ulasan kritikus film yang positif akan praktik jenius dari gagasan New Wave-nya Astruc.
“Di sinilah, pada faktanya, karya otentik pertama yang ditulis dengan caméra-stylo,” catat kritikus Gérald Devries yang menulis di kolom Démocratie 60, dikutip Brody.
Baca juga: Proses Kreatif Usmar Ismail di Balik Layar
Kritikus Gilbert Salachas ikut mengapresiasi soal “gebrakan” itu dengan menulis kolom untuk majalah Radio-Cinéma-Television.
“Yang menjadikan Breathless berbeda adalah anarki yang spektakuler dalam hal tone-nya, gambar, dan bahasa. Ekstremisme macam ini merupakan presentasi yang orisinal dan nyaris seperti sebuah manifesto,” ujar Salachas.
Seiring perjalanan waktu, Godard mulai menyisipkan isu-isu politik dan geopolitik yang memanas di awal-awal Perang Dingin ke dalam film-filmnya seperti Le petit soldat dan Les Carabiniers. Bahkan, menjelang era 1970-an, Godard makin radikal dan kekiri-kirian. Nuansa Marxisme itu begitu terasa dalam karya-karya La Chinoise (The Chinese, 1967) hingga Weekend (1967).
Bersama Jean-Pierre Gorin, Godard lalu mendirikan komunitas sineas kiri Dziga Vertov Group. Ia menyuarakan politik anti-imperialismenya lewat sejumlah film, seperti Tout va bien (1972) dan Letter to Jane (1972). Komunitas itu terinspirasi dari tokoh sineas Uni Soviet, Dziga Vertov, yang banyak menghasilkan dokumenter radikal di era 1920-an.
“Baru pada 1980-an Godard kembali ke film-film fiksi tradisional dengan karyanya, Sauve qui peut (Every Man for Himself, 1980), atau film-film yang terinspirasi dari kejadian nyata seperti Passion (1982); Lettre à Freddy Buache (A Letter to Freddy Buache, 1982); Prénom Carmen (First Name: Carmen, 1983); atau Je vous salue, Marie (Hail Mary, 1985) dan King Lear (1987) yang tak kalah kontroversial hingga dikecam Gereja Katolik,” tambah Brody.
Baca juga: Pemuda Sosialis di Balik Film Legendaris
Hingga 2018, Godard konsisten menyelipkan isu-isu politik dalam karya-karyanya menjelang akhir hayatnya. Antara lain Notre musique (Our Music, 2004) dan Film Socialisme (Socialism, 2010) yang merefleksikan kekerasan pasca-era kolonialisme dalam konflik Pengepungan Sarajevo, konflik suku pribumi Amerika, hingga konflik Israel-Palestina.
Film terakhirnya, Le Livre d’image (The Image Book, 2018), menggambarkan dunia Arab di masa modern dikaitkan dengan sejarah film dan sejarah kekerasan holocaust, terorisme ISIS, hingga konflik Israel-Palestina. Lewat film ini Godard ingin mendekonstruksi narasi tentang masyarakat Arab yang digambarkan dan dipropagandakan film-film Barat.
“The Image Book adalah film esai yang menggunakan koleksi footage, foto, dan lukisan Godard sendiri secara montase. Dibuat mirip seperti Histoire(s) du Cinéma (1988) dengan menganisis sejarah sinema yang menggambarkan dunia Arab. Sarat sindiran dan perwujudan paradoks kariernya. The Image Book juga menyimpan rasa sakit, kedukaan, penyesalan dari pengalamannya yang selama ini disembunyikan, termasuk dari dirinya (Godard) sendiri,” tandas Brody dalam kolomnya di The New Yorker, 25 Januari 2019.
Baca juga: Oliver Stone, Perang Vietnam, dan Pembunuhan JFK