Masuk Daftar
My Getplus

Pemikiran Usmar Ismail dalam Film-filmnya

Berkaca dari peringatan 100 tahun Usmar Ismail yang pemikirannya masih jadi inspirasi para sineas muda Indonesia.

Oleh: Randy Wirayudha | 25 Mar 2021
Usmar Ismail, "Bapak Perfilman Indonesia" yang tahun ini diperingati 100 tahun kelahirannya (perpusnas.go.id/Sinematek Indonesia)

HISTORIOGRAFI perfilman Indonesia tak bisa dilepaskan dari nama Usmar Ismail. “Bapak Perfilman Indonesia” itu pemikirannya dalam berkarya masih jadi inspirasi bahkan bagi para sineas muda 100 tahun setelah kelahirannya (20 Maret 1921).

Pesatnya perkembangan perfilman Indonesia sejak 1950, tahun ditetapkannya Hari Film Nasional yang bertolak dari hari pertama syuting film Darah dan Doa (The Long March) karya Usmar pada 30 Maret 1950, tak bisa dilepaskan dari kiprah Usmar. Tema film, misalnya, lebih variatif dari masa ke masa.

Menurut pemerhati industri perfilman Indonesia JB Kristanto, Usmar dengan film-filmnya setelah Darah dan Doa jadi pembeda dari generasi pembuat film sebelumnya. Garis pemisahnya ia hadirkan lewat film-film yang temanya lebih logis dan tak lagi bertema dongeng.

Advertising
Advertising

“Film-film pertama kita di era 1930-an sangat dipengaruhi novel populer, teater-teater rakyat, lenong atau pewayangan. Baik dari cerita maupun karakterisasinya mirip sekali dengan dongeng atau wayang. Itu sangat saya rasakan kala menulis resensi film, sampai saya bisa menonton film-film Usmar,” katanya dalam diskusi daring dalam rangka memperingati Hari Film Nasional 30 Maret 2021 bertajuk “Usmar Ismail dan Pandangannya tentang Industri Film Indonesia” di kanal Youtube Rumata Artspace, 20 Maret 2021.

Baca juga: Darah dan Doa, Film Nasional Pertama

Perkembangan juga terlihat dari sisi wahana tempat bertemunya karya film dengan penontonnya –mulai dari bioskop hingga platform daring. Seiring kemajuan zaman, ia terus berkembang hingga kini alat tayang jauh lebih variatif dari masa lalu. Setali tiga uang dengannya yakni ekosistem di sekitar industri perfilman. Dimulai dari berdirinya Perfini sebagai perusahaan film indepeden, kini dunia perfilman Indonesia dibanjiri film-film yang dilahirkan komunitas-komunitas. Semua itu berhulu dari sosok Usmar.

Sayangnya, lanjut Kristanto, belum ada literatur maupun arsip wawancara langsung dengan Usmar terkait latar belakang pemikirannya untuk membuat karya yang berbeda itu. Dengan demikian Kristanto sekadar bisa memperkirakannya bahwa hal tersebut terbentuk melalui lingkungan pergaulan Usmar yang juga punya latar belakang militer berpangkat mayor di masa revolusi kemerdekaan.

“Usmar dalam sejarah film Indonesia, menurut saya, fungsi dia itu memberi disrupsi, memberi batas pada produksi film sebelumnya. Pergaulan dia beda dari produser maupun sutradara sebelumnya yang biasanya di lingkungan perkumpulan sandiwara. Usmar tidak. Usmar bergaul dengan pelaku seni sastra, musik, maupun rupa. Hanya saja kita enggak pernah tahu mengapa jalan pikirannya bisa berbeda dari (pembuat film) sebelumnya,” imbuh wartawan senior harian Kompas itu.

Penulis J.B. Kristanto. (Tangkapan Layar Youtube Rumata Artspace).

Selain Darah dan Doa, Kristanto mengambil contoh film Usmar Lewat Djam Malam (1954). Baginya itu merupakan film terbaik Indonesia sepanjang masa. Kendati sekadar film melodrama biasa, Kristanto menyoroti keistimewaan film itu terletak pada pemikiran dalam skenario maupun penyampaiannya kepada penonton.

“Dari film Lewat Djam Malam, kita melihat sikap seseorang, filosofi, pemikiran. Dia juga mengalami apa yang difilmkan, dia tahu benar situasinya. Masalah-masalah yang meliputi kejiwaan maupun ekonomi saat itu yang dialami tentara sampai sekarang juga masih kita lihat rantai akibatnya. Apa ada sutradara maupun produser yang mengulik soal ini pada masa itu? Tidak terpikir sama sekali. Maka itu saya pakai istilah disrupsi untuk ketokohan Usmar dalam estetika film Indonesia,” lanjut penulis buku Katalog Film Indonesia dan Nonton Film Indonesia tersebut.

Lewat Djam Malam, yang direstorasi pada 2012, juga amat berkesan bagi sineas muda Edwin Nazir. Saat ditayangkan lagi di bioskop, ia teringat reaksi sahabatnya yang praktisi sosiologi dan psikologi.

“Saya mengajak teman saya yang baru pulang ke Indonesia. Dia doktor sosiologi dan juga dosen psikologi. Setelah nonton, dia cerita kalau dia enggak bisa tidur semalaman. Film itu begitu melekat di kepalanya setelah membayangkan kondisi psikologis mantan-mantan tentara di era itu. Itu menggambarkan begitu kuatnya cerita yang diangkat,” tutur Edwin.

Baca juga: Lewat Djam Malam, Film Nasional Rasa "Asing"

Dari karya-karyanya yang jadi pembeda itu, Kristanto menambahkan, secara tidak sadar Usmar sudah lebih visioner atau mendahului para sineas mancanegara. Utamanya soal teori “Auteur” alias teori penyampaian gagasan pribadi sutradara. Itu disematkan Usmar pada film Lewat Djam Malam, misalnya. Gagasan ceritanya tentang sikap dasar perwira militer yang merasa berperang dan paling berjasa dalam meraih kedaulatan negara.

“Teori Auteur itu baru dirumuskan akhir 1950-an oleh André Bazin. Usmar sudah melakukan itu, bahwa film adalah (gagasan) sutradara. Itu yang saya katakan, ada disrupsi soal gagasan dia memperlakukan film sebagai pernyataan sikap dan pikiran dia. Dia tidak meneruskan cara bercerita dongeng yang ada pada film-film sebelumnya. Usmar melabrak itu semua, membuat cerita yang jelas sebab-akibatnya, tak hanya dalam film serius seperti Lewat Djam Malam tapi juga hiburan seperti Tiga Dara (1956). Dia memperlakukan cara berpikir yang sama,” sambung Kristanto.

Kristanto melanjutkan, di film Darah dan Doa Usmar tak hanya menelurkan gagasan. Dia juga “menitipkan” alter egonya pada karakter humanis Kapten Sudarto (diperankan Del Juzar) untuk menumpahkan keresahannya semasa bertugas di kemiliteran. Karakter itu bertolak belakang dengan karakter koleganya, Kapten Adam, yang bersifat “robotik” dengan kedisiplinan kaku ala militer profesional.

“Itu (karakter Sudarto) alter ego Usmar saja. Usmar itu humanis. Kalau enggak, dia akan jadi tentara terus. Dia enggak betah dan enggak tahan dengan kulturnya. Karena itu tokoh humanis itu, menurut saya, alter ego Usmar pribadi. Itu suara Usmar lewat tokoh itu,” tambahnya.

Usmar dalam Industri Film

Senada dengan Kristanto, sineas Mira Lesmana menyatakan bahwa Usmar lebih visioner dalam penerapan teori Auter yang lantas turut memicu La Nouvelle Vague atau gelombang baru film-film Prancis. Di sisi lain, Mira juga menggarisbawahi bahwa visi Usmar terkait perfilman tak sekadar teknis atau proses produksi, melainkan juga sudah merambah untuk memikirkan industri perfilman ke depannya.

“Menarik bahwa Usmar seolah mendahului kelompok New Wave dalam berpikiran tentang Autership, bahwa film adalah karya seorang sutradara. Di saat yang sama dia juga berpikiran lebih jauh lagi secara advance bahwa kalau film Indonesia mau berkesinambungan dan bisa tetap hidup, harus berada di bawah naungan perusahaan. Jadi dia punya dua pemikiran: satu, tentang bagaimana menciptakan karya yang personal dan datang dari kegelisahan; kedua, berpikir lebih jauh lagi tentang industri perfilman. Maka pas jika dia disebut ‘Bapak Perfilman Indonesia’ karena berpikir secara keseluruhan dengan berbagai kesulitannya saat itu,” ujar Mira.

Sineas Mira Lesmanawati. (Tangkapan Layar Youtube Rumata Artspace).

Mira tak segan mengakui bahwa salah satu inspirasinya mendirikan rumah produksi  pada akhir 1990-an tak lepas dari pengaruh Usmar. Jauh sebelum dirinya, Usmar sudah punya pemikiran bahwa adanya perusahaan film independen merupakan sebuah keharusan.

“Saya merefleksi dulu memberanikan diri membuka perusahaan, inspirasinya adalah Usmar Ismail. Bagaimana dia men-set Perfini, misalnya, dan dia mengajak teman-temannya. Karena kalau enggak salah waktu itu hanya ada dua pilihan, antara mau ikut Perfini atau PFN (Perusahaan Film Negara). Dengan Perfini dia punya sikap tidak mau di bawah negara, harus independen. Dengan begitu dia bisa menyampaikan pesan-pesan dalam filmnya tanpa didikte oleh kebutuhan negara,” sambutng pendiri rumah produksi Miles Productions itu.

Baca juga: Fragmen DI/TII dalam Film Darah dan Doa

Menimpali Mira, Edwin mengatakan Usmar adalah “paket lengkap”. Usmar tak hanya seorang sutradara dan produser, namun juga seorang pembuka pintu berkembangnya industri perfilman yang tumbuh seiring bermunculannya rumah-rumah produksi independen setelah Perfini.

“Karena yang dia bangun bukan hanya memikirkan produksi filmnya tapi juga industri perfilman. Konsep industri kreatif dengan (menggandeng) pariwisata juga sudah dilakukan Usmar. Saya ingat di film Asrama Dara (1958) di awal credit title ada (keterangan) bekerjasama dengan semacam dewan turisme dan (maskapai) Garuda Indonesia. Menurut saya itu hal yang luar biasa. Maka kalau melihat yang dilakukan Usmar, kita bisa mengambil banyak pelajaran agar kita bisa berkontribusi memajukan industri kita di masa sekarang,” katanya.

Hal terakhir yang bisa diambil inspirasinya dari Usmar adalah kegigihannya mempertahankan karya personal dalam melawan arus permintaan pasar dengan tema-tema film komersial dan film-film impor yang berangsur meninggi. Itu antara lain dibuktikan saat Usmar melobi dengan alot pihak distributor agar film Krisis (1953) bisa diputar di bioskop-bioskop besar.

Usmar Ismail (pojok kanan) di sebuah lokasi syuting. (perpusnas go.id/Sinematek Indonesia).

Mengutip Apa dan Siapa Orang Film Indonesia: 1926-1978, Usmar melobi pihak distributor dan pemilik-pemilik bioskop dengan memberi jaminan kesediaannya membuat film-film “arus utama”. Jaminan itu sebagai langkah komprominya demi film Krisis bisa diputar di bioskop komersial.

Jauh setelah itu, kesulitan mendistribusikan film-film yang lebih personal ke bioskop-bioskop komersial masih tetap eksis. Mira juga merasakannya ketika hendak meloloskan Kuldesak (1998) dan Petualangan Sherina (2000). Situasinya mirip ketika itu, industri film nasional sedang “mati suri” dan dibanjiri film-film impor. Bersama Riri Riza, Nan T. Achnas, dan Rizal Mantovani, Mira mengambil semangat kegigihan Usmar ketika hendak meloloskan kedua film tersebut. Berkat kegigihan itu, tak dinyana kedua film tersebut jadi titik kebangkitan industri film nasional dari satu dekade “mati suri”-nya.

“Belakangan ini saya mereflek kembali betapa beratnya ketika kita mau membuat sebuah visi (film personal) tapi kemudian dipertemukan dengan pasar. Misalnya (pengalaman) pergelutan Usmar dengan hal distribusi dengan bioskop tentang film Krisis yang dia ingin diputar di bioskop-bioskop elit. Ia mengalami kesulitan walau akhirnya bisa diputar di Metropole dan nyatanya (sukses) diputar berhari-hari dengan padat penonton. Saya merefleksikan Kuldesak dan Petualangan Sherina, betapa sulitnya rimba distribusi ini harus dilobi,” tandasnya.

Baca juga: Kisah Tragis Akhir Hidup Usmar Ismail

TAG

filmindonesia sejarah-film usmar ismail usmar-ismail sutradara

ARTIKEL TERKAIT

Sri Asih, Adisatria Pertama Indonesia dalam Komik dan Film Ratna Asmara Jadi Nama Penghargaan FFI Adieu, Jean-Luc Godard! Angkringan Punya Cerita Proses Kreatif Usmar Ismail di Balik Layar Oliver Stone, Perang Vietnam, dan Pembunuhan JFK Jejak Sutradara Kotot Sukardi Francis Ford Coppola dan Trilogi The Godfather Spike Lee Joints, dari Malcolm X hingga Viagra Sosok Sukarno dan Pak Dirman dalam Kadet 1947