SIAPA tak kenal Oliver Stone? Sutradara dan penulis naskah kondang ini punya koleksi 12 Piala Oscar dan 16 Golden Globe. Banyaknya karyanya yang dipengaruhi pengalaman pribadinya sebagai veteran Perang Vietnam membuat karya-karyanya lebih realistis ketimbang film-film heroik picisan yang acap dibintangi Chuck Norris atau Sylvester Stallone.
Karya legendaris Stone adalah Platoon (1986). Meski naskah awalnya banyak ditolak rumah produksi, film ini setelah mendapat rumah produksi kelas menengah, Helmdale Film Corporation dan Orion Pitures, justru meledak di pasar global. Dengan budget enam juta dolar saja, mereka meraup keuntungan hingga 138 juta dolar.
“Alasan mengapa filmnya berhasil sukses, mungkin karena awalnya anggarannya rendah, lalu tidak banyak yang mengenal kami. Kami pun tak mengharap apapun karena kami tak membuat jenis film murahan seperti Chuck Norris atau Stallone. Kami membuat film yang berdasarkan kenyataan, beradasarkan pengalaman hidup yang pernah saya alami,” ujar Stone dalam diskusi Living Live Mola TV, Sabtu (20/2/2021).
Medan perang bukan hal yang jauh dari kehidupan Stone sejak masa kecil. Stone yang lahir di New York, 15 September 1946 merupakan anak tunggal dari seorang ibu keturunan Prancis, Jacqueline Goddet, dan veteran Perang Dunia II yang kemudian menjadi pialang saham di Wall Street, Louis Stone. Ia tumbuh dengan banyak cerita perang dari ayahnya yang punya pangkat terakhir letnan kolonel.
Baca juga: Mengenang Sineas Legendaris Bernardo Bertolucci
Stone berhenti kuliah di Universita Yale pada usia 18 tahun hanya untuk ikut program orang asing mengajar bahasa Inggris di Saigon bersama Free Pacific Institute. Ketika muncul panggilan tugas negara dalam Perang Vietnam, ia mendaftarkan diri ke Angkatan Darat (AD) Amerika. Selesai mengikuti pelatihan, Stone ditempatkan di sebuah peleton di dalam Divisi Infantri ke-25 yang berbasis di perbatasan Kamboja-Vietnam pada 1967.
Setahun kemudian dan setelah dua kali terluka, Stone dipindah ke peleton intai jarak jauh Divisi Kavaleri ke-1 hingga dibebastugaskan pada November 1968. Ia pulang dengan menyandang dua penghargaan, Bronze Star dan Purple Heart.
Seperti veteran kebanyakan, Stone mengalami paranoia dan mulai asing dengan kehidupan di negerinya sendiri setelah lama bertugas di belantara Vietnam. Beruntung, GI Bill atau program adaptasi kembali veteran perang mengarahkannya untuk melanjutkan pendidikannya di New York University. Di sanalah Stone mulai mendalami perfilman di bawah bimbingan Martin Scorcese.
“Sambil belajar di NYU, sejak 1971 sampai 1979 saya menulis banyak naskah, semuanya ditolak. Termasuk naskah untuk Platoon yang saya tulis pada 1976 dan Born on the Fourth of July pada 1977. Tapi saya mencoba bertahan, hingga pada satu titik saya membuat film pendek, Last Year in Vietnam,” imbuhnya.
Baca juga: Spike Lee Joints, dari Malcolm X hingga Viagra
Film itu mengundang decak kagum Scorcese. Sejak saat itu Stone makin mantap untuk menekuni perfilman meski sering menerima penolakan.
“Martin adalah guru yang hebat. Dia menonton film pendek saya dan lantas mematikan proyektornya untuk bilang: ‘Ini adalah karya seorang pembuat film sesungguhnya.’ Itu seperti ijazah buat saya. Dia bilang film itu hebat. Kenapa? Karena ceritanya terjadi dalam kehidupan seseorang. Saya memang mengambil cerita tentang veteran yang pulang dan saya personalisasikan dengan menghubungkannya secara emosional,” tambah Stone.
Setelah lulus dan berhasil dengan film Midnight Express (1977) yang mengantarkan Piala Oscar pertamanya, Stone kembali mengajukan naskah Platoon. Dari sekian produser, hanya Dino De Laurentiis yang bersedia mengongkosinya dengan beberapa syarat. Untuk lokasi produksi yang dimulai Februari 1986, Stone memilih Filipina yang relatif punya hutan belantara tropis yang sama dengan Vietnam.
Stone banyak memilih aktor muda yang belum luas dikenal publik. Antara lain Willem Defoe, Charlie Sheen, Tom Berenger, Forest Whitaker, dan Johnny Depp. Stone pribadi muncul sebagai cameo memerankan seorang komandan batalyon di adegan pertempuran pada akhir film.
“Kami bekerjasama dengan para aktor muda untuk kami dorong dengan keras saat latihan demi bisa menciptakan lingkungan dan perasaan frustrasi. Saya ditemani seorang penasihat militer dari Marinir yang juga pernah bertugas di Vietnam. Saking kerasnya, kami tak membolehkan para aktornya tidur. Karena itulah bagian dari pengalaman di Perang Vietnam,” sambungnya.
Baca juga: Medali Kehormatan Pahlawan Perang Vietnam yang Dipertanyakan
Stone benar-benar memaksa para aktornya merasakan apa yang dia alami selama tugas di Vietnam. Menghadapi cuaca panas, hujan disertai badai tropis, serangan serangga di malam hari, hingga perselisihan yang terjadi di internal para aktor hingga kru produksi.
“Keadaannya benar-benar merasuki Anda. Apocalypse Now (1979), The Deer Hunter (1978) adalah film besar dan bagus tapi itu bukan film yang realistis. Sekadar film heroik yang tidak nyata, bukan menggambarkan suasana dan tingkat frustrasi tinggi dalam sebuah pertempuran alot. Perselisihan di Platoon sering dialami para veteran macam saya saat bertugas. Film ini ingin menangkap frustrasi dan kepahitan di dalamnya, termasuk perang saudara dalam satu peleton,” terang Stone.
JFK dalam Dua Film
John Fitzgerald Kennedy (JFK), presiden Amerika Serikat ke-35 yang dibunuh pada 22 November 1963 hingga kini masih jadi satu kisah yang mengandung konspirasi di kalangan masyarakat Amerika. Hingga 1989, Stone sebagaimana khalayak umum di negeri Paman Sam masih percaya bahwa pembunuh JFK adalah Lee Harvey Oswald sebagai pelaku tunggal.
“Tapi ketika saya membaca buku Jim Garrison (On the Trail of the Assassins) oleh seorang penerbit, saya membacanya dan terkesan karena itu seperti cerita detektif yang luar biasa. Dia (Garrison) sekadar seorang jaksa wilayah New Orleans yang membawa kasus investigasi pembunuhan JFK ke publik lewat pengadilan,” sambung Stone.
Baca juga: Dagelan Hukum The Trial of the Chicago 7
Stone akhirnya menemui Garrison untuk riset proyek filmnya. Mereka bertemu selama tiga jam di New Orleans. Stone juga memperkaya materi filmnya dari buku Crossfire: The Plot That Killed Kennedy karya jurnalis Jim Marrs. Kedua buku itu jadi literasi paling kontradiktif dibandingkan dengan laporan Warren Commission, komisi investigasi yang dibentuk Presiden Lyndon B. Johnson seminggu pasca-pembunuhan JFK (29 November 1963).
“Lalu saya berpikir tentang JFK akan jauh lebih menarik dalam bentuk film jika Anda bisa menemukan cara untuk mendramatisasinya. Pada saat yang sama, Anda bisa menceritakan misterinya. Saya memang menikmati filmnya sebagai sebuah kisah detektif,” kenangnya.
JFK pun dirilis pada 1991 sebagai film komersil bergenre thriller politik dengan Kevin Costner berperan sebagai tokoh utama Jim Garrison. Tak dinyana, film itu berimbas lebih luas: pemerintah federal menelurkan President John F. Kennedy Assassination Records Collection Act of 1992.
“JFK jadi film sukses dalam hal kegegeran nasional: salah satu film yang inovatif secara statistik dan provokatif secara politis, hingga memicu histeria di media dan pihak legislatif sampai terinspirasi mengeluarkan JFK Act pada 1992. Tak heran film (JFK) ini jadi salah satu film paling penting yang pernah dibuat,” tulis Matt Zoller Seitz dalam The Oliver Stone Experience.
Baca juga: Francis Ford Coppola dan Trilogi The Godfather
JFK Act ibarat sinyal kepanikan pemerintah Amerika, mengingat legislasi itu menyatakan bahwa setiap arsip, data, maupun salinan-salinan tentang pembunuhan JFK yang dimiliki individu diharuskan untuk diserahkan ke pemerintah dan disimpan di Gedung Arsip dan Catatan Nasional (NARA). Seiring waktu, dokumen-dokumen itu perlahan dibuka ke publik mulai 2017. Tetapi pada 2018 Presiden Donald Trump memerintahkan penundaan publish penuh ditunda hingga Oktober 2021 dengan alasan keamanan nasional.
“Sampai sekarang masih ada sekitar 15 ribu halaman dokumen yang ditahan, di mana harusnya dirilis Trump tapi dia menerima tekanan besar dari CIA dan Secret Service untuk tetap disembunyikan. Katanya demi keamanan nasional. Tapi apa bahaya bagi keamanan nasional pada 1963 saat itu? Itu karena Kennedy dibunuh oleh orang-orang yang sama di dinas intelijen dan itu masalahnya ketika Anda membiarkan badan intelijen dan militer mengambilalih pemerintahan Anda,” ujar Stone memprotes.
Fakta tersebut membuat Stone kembali tergerak menggarap film tentang konspirasi pembunuhan JFK dalam bentuk dokumenter: JFK: Destiny Betrayed. Film ini mengangkat hal-hal yang tak sempat ia gambarkan dalam versi thriller-nya pada 1991 dan rencananya akan ditayangkan secara eksklusif di Festival Film Cannes Juli 2021.
Dalam dokumenter itu, Stone ingin memperlihatkan konteks lebih besar di balik kebijakan luar negeri Amerika pra dan pasca-pembunuhan JFK. Termasuk kebijakan terkait Perang Dingin dan upaya-upaya kudeta oleh CIA di negara-negara dunia ketiga, termasuk di Kongo dan Indonesia, yang disetujui Presiden Lyndon B. Johnson (LBJ).
“Mereka (publik Amerika) tidak tahu mengenai Kongo, mengenai Indonesia. Kennedy punya hubungan yang luar biasa dengan Sukarno. Saat Kennedy terbunuh, banyak hal berubah. LBJ menyetujui kudeta yang dilakukan CIA ke Indonesia. Tahun 1965 mereka menyingkirkan Sukarno dan menaikkan Soeharto dengan banyak jatuh korban. Hal yang sama terjadi di Kongo, Laos, Vietnam, dan Kuba. Kami membawa itu semua ke dalam film (dokumenter),” terang Stone.
Baca juga: Rahasia Kennedy tentang Sukarno
Menurut Stone, JFK disingkirkan karena ada pihak-pihak tertentu di industri militer Amerika ingin Perang Dingin dengan sejumlah proxy war-nya tetap berjalan. CIA jadi ujung tombaknya demi tetap bergulirnya pemasukan industri militer Amerika. JFK jadi halangan mereka karena JFK ingin Amerika punya hubungan yang akur dengan Rusia, China, dan negara-negara blok Timur.
“Jika Kennedy berhasil terpilih lagi pada (Pilpres) 1964 atau adiknya Bobby (Robert F.) Kennedy terpilih, dunia akan berbeda dari yang kita lihat sekarang. Akan lebih akur. Maka saya katakan jadi hal yang konyol karena Amerika menginginkan punya musuh. Karena kompleks industri militernya yang meraup triliunan dolar setiap tahun dari perang. Agar itu terus berjalan, ya Amerika harus punya musuh. Semoga film ini bisa saya perlihatkan tanpa sensor dan tanpa halangan,” tandas Stone.