Masuk Daftar
My Getplus

Sri Asih, Adisatria Pertama Indonesia dalam Komik dan Film

Dari komik, Sri Asih diangkat ke layar lebar pada 1950-an sebagai film adisatria pertama Indonesia. Kini diadaptasi lagi dengan kemasan modern.

Oleh: Randy Wirayudha | 30 Mar 2023
Karakter adisatria Sri Asih yang untuk kedua kalinya diadaptasi ke layar perak (Twitter @BumilangitID)

ALANA (diperankan Pevita Pearce) terpaksa pasrah. Di ronde ketiga pertarungan beladiri campuran melawan anak konglomerat-mafia, Mateo Adinegara (Randy Pangalila), ia diinstruksikan untuk mengalah demi bisa menyelamatkan sasananya.

Namun amarah Alana seketika meletup ketika melihat penganiayaan terhadap ibu angkatnya, Sarita Hamzah (Jenny Zhang), di luar arena. Angkara murka membuatnya kembali memberi perlawanan. Sebuah uppercut Alana lalu mengakhiri perlawanan Mateo yang terjengkang hingga tak sadarkan diri. Alhasil Jagau (Revaldo) sebagai tangan kanan mafia langsung memerintahkan anak buahnya menghabisi Sarita hingga mengalami koma.

Untuk 10-20 menit pertama sejak adegan pembuka, babakan di atas memang begitu kental nuansa action beladirinya. Padahal, sejatinya itu hanya pengantar dalam film pahlawan super bertajuk Sri Asih garapan sutradara Sartri Dania Sulfiati alias Upi. Film itu diadaptasi dari komik ciptaan Raden Ahmad Kosasih pada 1954.

Advertising
Advertising

Baca juga: Dari Captain Thunder, Captain Marvel, hingga Shazam

Sosok Dewi Api yang memengaruhi amarah Alana alias Sri Asih (Twitter @BumilangitID)

Cerita pun berlanjut. Dengan kemampuan beladiri yang diajarkan Sarita, Alana berupaya membuat perhitungan pada komplotan mafia yang menganiaya ibu angkatnya itu. Namun, ujug-ujug datang seorang pemuda yang baru ia kenal, Kala (Dimas Anggara), mencoba meyakinkannya untuk menahan diri. Tanpa rasa curiga, Alana justru mau begitu saja diajak Kala ke sebuah rumah misterius.

Di rumah itu, Alana dipertemukan dengan Eyang Mariani (Christine Hakim). Eyang  menceritakan tentang angkara murka yang bersemayam dalam diri Alana. Eyang juga menerangkan asal-usul Alana, bahwa ia merupakan titisan Sri Asih.

Sri Asih bukan sosok sembarangan. Ia punya aneka kemampuan super yang didapat dari Dewi Asih (Maudi Koesnaedi). Kekuatan itu diturunkan pada keturunan-keturunan terpilih mulai dari Nani Wijaya (Najwa Shihab) pada 1950-an hingga Alana di masa kini. Tetapi karena Alana lahir saat Gunung Merapi meletus, ia terus dibayangi amarah yang ternyata berasal dari Dewi Api (Dian Sastrowardoyo). Alana pun teringat bahwa sosok makhluk yang dikelilingi api dalam mimpi buruknya sejak kecil ternyata adalah Dewi Api.

Baca juga: Wonder Woman 1984 dan Nilai Kejujuran

Eyang Mariani dan Kala yang menjaga warisan Dewi Asih (IMDb)

Untuk menetralisir pengaruh Dewi Api, Eyang Mariani memandu Alana melakoni sebuah ritual. Sementara, Kala memperingatkan bahwa kekuatan Sri Asih hanya akan muncul jika Alana menggunakannya untuk tujuan mulia dan bukan untuk tujuan balas dendam.

Bagaimana kemudian Alana yang berubah menjadi Sri Asih bisa memanfaatkan kekuatannya? Apakah ia mampu meladeni “raja terakhir” mafia Prayogo Adinegara (Surya Saputra) yang dianggap titisan roh jahat yang salah satu panglimanya merupakan Dewi Api?

Baiknya saksikan sendiri kelanjutan aksi-aksi Sri Asih yang lumayan menghibur sebagai selingan jika bosan dengan dominasi genre horor di perfilman nasional. Meski sudah tayang di bioskop sejak 17 November 2022 –berbarengan dengan film Marvel, Black Panther: Wakanda Forever– Sri Asih masih bisa ditonton lewat salah satu platform streaming daring Disney+ Hotstar.

Baca juga: Wakanda Forever dan Warisan Penerus Black Panther

Aksi Sri Asih dalam aneka adegan (Screenplay Bumilangit)

Plus-Minus Sinematografi dan Alur Cerita

Sebagaimana produksi Bumilangit sebelumnya, yakni Gundala (2019), secara sinematorgrafi tone film Sri Asih begitu dominan dengan gradasi yang temaram dan suram. Vibe-nya jadi ibarat film-film DC Extended Universe (DCEU) yang memang mood-nya gelap, semisal Batman (2022) dan Black Adam (2022).

Sementara, Aghi Narottama mengomposisikan music scoring-nya dengan konsep distorsi simfoni yang memadukan sentuhan orkestra, rock, dan elektronika. Meski begitu, tembang Jawa juga disisipkan, terutama pada adegan ritual klenik di mana Pevita yang memerankan Alana turut menyuguhkan tarian Jawa dengan cukup apik.

Tetapi untuk sebuah film dengan durasi yang cukup panjang, 135 menit, plot-plot cerita Sri Asih justru terkesan dijahit dengan terburu-buru sehingga alur per alurnya tidak rapi. Belum lagi adanya beberapa adegan yang semestinya tidak perlu karena tak memberi kontribusi besar.

Baca juga: Gundala Bukan Jagoan

Adegan misteri kematian Mateo, contohnya. Tanpa ada dendam dalam diri Prayogo akibat kematian itu, sang bos mafia itu sudah punya cukup alasan untuk jadi villain utama Sri Asih. Pasalnya Prayogo berniat meratakan pemukiman warga “wong cilik” dengan cara-cara ilegal.

Berkelindan dengan alur-alur yang dijahit kurang rapi, hasilnya adalah beberapa adegan janggal dan tak logis. Salah satunya adegan ketika Jatmiko memberikan berkas-berkas rahasia investigasi kepolisian kepada Alana, Kala, dan Tangguh begitu saja. Padahal, Jatmiko tak pernah mengenal mereka. Tak sekali pun Upi memberi alur tambahan untuk menjembatani logikanya, di mana Jatmiko bisa begitu percaya menyerahkan dokumen-dokumen yang mestinya classified itu.

Karakter Jatmiko yang punya beragam dimensi sebagai titisan Roh Jahat dan menyamar jadi polisi bermoral (IMDb)

Di sisi lain, Upi banyak menyisipkan pesan moral yang “nanggung” lantaran terkesan sekadar pelengkap semata. Seperti yang dibawakan karakter Jatmiko (Reza Rahadian), seorang polisi bermoral yang kesulitan bertugas di antara rekan-rekan polisi yang korup. Atau lewat tokoh Tangguh (Jefri Nichol), teman semasa kecil Alana cum wartawan yang mendapat intimidasi dari polisi-polisi korup maupun komplotan mafia Prayogo. Belum lagi filmnya terasa kurang “membumi” lantaran dialog-dialog yang kaku dan minimnya keterangan ruang dan waktu.

Dimensi yang bervariasi dan greget justru lebih terasa pada diri Jagau sang capo bos mafia, ketimbang karakter utamanya. Atau lewat sosok Jatmiko yang diperankan Reza sebagai polisi yang berusaha tetap bermoral walau komandannya polisi korup.

Baca juga: Black Widow Bukan Jagoan Biasa

Maka cukup disayangkan, karakter Sri Asih belum cukup berhasil dibawakan dengan dimensi yang bervariasi dan membuat penonton jatuh hati. Terlepas dari teknik-teknik beladiri yang dibawakan Pevita sangat ciamik bak Natasha Romanoff/Black Widow, ia tak pernah jauh membawakan dimensi seorang Alana/Sri Asih dengan sangat monoton. Rasanya penonton takkan serta-merta nge-fans sosok Sri Asih usai menyaksikannya.

Kendati begitu, Sri Asih tetap worth it ditonton buat mereka yang penasaran akan arah garis besar Bumilangit Cinematic Universe (BCU) di masa-masa mendatang. BUC bakal melibatkan lebih banyak adisatria Indonesia yang bisa dibanggakan di rumah sendiri.

Sri Asih menjadi satu film yang sudah dikerjakan dengan sebaik-baiknya, dipersembahka buat Indonesia, semoga ini bisa jadi sebuah kebanggaan bagi kita penonton film Indonesia,” kata produser Joko Anwar dalam konferensi pers di Youtube Bumilangit Entertainment, 7 September 2022.

Mula Sri Asih di Komik dan Film

Seperti disebutkan di atas, Sri Asih adalah karakter pahlawan super pertama yang jadi anak rohani komikus RA Kosasih. Menurut komikus Muhammad Tanfidz Tamamuddin dalam “Merindukan Gempita Komik Indonesia, Mengenang RA Kosasih” yang termaktub di Tribute to RA Kosasih: Sri Asih, RA Kosasih mulai menseriusi dunia komik pada 1953 di Penerbit Melodie, Bandung. Ia meninggalkan profesi lamanya sebagai ilustrator flora dan fauna di Kebun Raya Bogor.

“Sri Asih menjadi karya yang spesial bukan hanya karena merupakan adisatria pertama Indonesia, melainkan juga adisatria perempuan yang tampil di tengah dunia adisatria yang lebih didominasi laki-laki di masa itu seperti Superman, Flash Gordon, atau Phantom,” tulis Tanfidz.

Baca juga: Lima Aktor Berjubah Superman

Dalam proses kreatifnya kala melahirkan karakter Sri Asih medio 1953, RA Kosasih terinspirasi dari banyak karakter superhero asing. Terlebih, menurut Alzein Putra Merdeka dalam Kolong Sinema: Episode yang Mereka Bicarakan ketika Membicarakan sang Putra Petir, RA Kosasih diberikan sejumlah komik Amerika sebagai inspirasi awal oleh pemilik Penerbit Melodie, Tatang Admaja.

RA Kosasih tentu tak serta-merta menjiplaknya begitu saja. Kendati pada hakikatnya mendasarkan karakter ciptaannya dari sosok superhero perempuan Amerika, Wonder Woman, RA Kosasih membedakannya dengan berbagai warna dan atribut khas Indonesia.

Komik Sri Asih karya RA Kosasih pada 1954 (kiri) dan Mimi Mariani yang memerankan Sri Asih di film pertamanya (Bumilangit.com/IMDb)

Karakter Sri Asih, yang kemudian juga diberi alter ego Nani Wijaya oleh RA Kosasih, memang memiliki kemampuan yang “11-12” dengan Wonder Woman. Namun RA Kosasih menghadirkan penampakan Sri Asih khas Nusantara yang cenderung mirip tokoh pewayangan: berkemben hitam dan kain jarik, serta kain selendang merah yang sakti.

Karakter alter ego Nani Wijaya dibuat RA Kosasih berubah jadi pahlawan super hanya dengan merapal kata-kata “Dewi Asih”, mengingat ia diceritakan sebagai titisan Dewi Asih. Selain bisa terbang ke angkasa, kemampuan super Sri Asih adalah memiliki kecepatan dalam bergerak, kekebalan, kekuatan dan ketahanan fisik di atas rata-rata manusia, serta bisa memperbanyak diri dan memperbesar posturnya bak raksasa.

Baca juga: R.A. Kosasih Bapak Komik Indonesia

Dengan dirilisnya Sri Asih oleh Penerbit Melodie lewat Majalah Komik edisi pertama, 1 Januari 1954, tokoh adisatria itupun “go-publik” untuk pertamakali. Publik menyambutnya hangat. Dalam waktu singkat, tiga ribu eksemplar edisi pertama itu ludes terjual.

Ibarat tak ingin ketinggalan tren, sineas  Turino Djunaidy di tahun yang sama mengalihwahanakannya ke layar lebar dengan tajuk Sri Asih (1954). Mengutip Katalog Film Indonesia: 1926-2005 karya kritikus JB Kristanto, Turino menyutradarainya langsung bersama Tan Sing Hwat dan tokoh utama Sri Asih dipercayakan pada aktris Mimi Mariani alias Troely Callebaut.

“Sri Asih usai mengantar ibunya di stasiun keretaapi, tiba-tiba mendapat bisikan bahwa kereta itu akan meledak karena ada dinamit yang ditaruh komplotan penjahat di jembatan. Setelah jimat digunakan, Sri Asih berubah gesit dan bisa terbang untuk membuang dinamit. Kemudian Sri Asih mengikuti komplotan penjahat Garuda Hitam untuk menghancurkannya,” ungkap JB Kristanto menguraikan sinopsisnya.

Adegan-adegan dalam film Sri Asih tahun 1954 (Film Varia edisi Mei 1954)

Setelah Sri Asih diperkenalkan dalam bentuk komik dan makin populer usai diadaptasi ke layar lebar, RA Kosasih kemudian melahirkan adisatria perempuan baru, Siti Gahara. RA Kosasih memiliki perhatian pada isu perempuan, kata Tanfidz.

“Melalui komik (Siti Gahara, red.) tersebut, Kosasih ingin menunjukkan bahwa perempuan juga berdaulat dan berdaya, tidak hanya sekadar berurusan dengan kasur, sumur, dan dapur seperti pola pikir orang kebanyakan di masa itu,” imbuh Tanfidz.

Baca juga: Captain Marvel, Antara Nostalgia dan Isu Feminisme

Namun, maraknya karakter-karakter adisatria yang terinspirasi dari superhero asing tak selamanya mendapat sambutan baik. Pihak yang bersuara miring terhadap demam karakter adisatria itu antara lain para guru dan Lembaga Kebudajaan Rakyat (Lekra), organisasi kebudayaan yang dekat Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka sama-sama menganggap komik-komik itu tak mendidik dan berbahaya.

“Sambutan luar biasa terhadap Sri Asih membuat para ‘penjaga kebudayaan’ ketar-ketir. Mereka khawatir kegilaan kepada Sri Asih, Kapten Kilat, dan Siti Gahara bakal membuat orang-orang muda gampang ketularan kultur asing. Kapten Kilat adalah tiruan Flash Gordon, sedangkan Sri Asih yang memakai kain kebaya dan kemben merupakan adaptasi Kosasih terhadap Wonder Woman,” kata buku Jejak Superhero Ala Indonesia.

Baca juga: Serba-serbi Superhero Pertama Asia

Kendati ada resistensi, Kosasih tak mundur. Dia terus mencari cara untuk tetap berkarya. 

“Kosasih tak kehilangan akal. Dia dan rekan komikus sejawat seperti John Lo dan Ardisoma bekerjasama dengan penerbit Melodie dan Keng Po untuk menciptakan komik-komik wayang dan hikayat Nusantara yang dianggap sesuai dengan jati diri bangsa sehingga Lekra kehilangan amunisi untuk menyerang komik,” sambung Tanfidz.

Maka mulai 1955 sampai 1960, Kosasih dan rekan-rekannya menelurkan komik epos besar Mahabharata dalam 26 jilid. Setiap jilid setebal 42 halaman diterbitkan Melodie dan Keng Po sebulan sekali.

“Kosasih yang orang Sunda mempunyai pengalaman sebagai penonton (wayang). Dia meneliti dokumen, meminta bantuan dalang, untuk menciptakan komik epos yang berasal dari India, Mahabharata. Masyarakat menyambut hangat komik wayang. Sehingga para pendidik yang masih menentang komik tidak punya alasan untuk mengkritik,” tandas Marcel Bonneff dalam Komik Indonesia.

Deskripsi Film:

Judul: Sri Asih | Sutradara: Sartri Dania Sulfianti | Produser: Joko Anwar, Bismarka Kurniawan, Wicky V. Olindo | Pemain: Pevita Pearce, Surya Saputra, Jenny Zhang Wiradinata, Revaldo, Christine Hakim, Reza Rahadian, Faradina Mufti, Randy Pangalila, Unique Priscilla, Ario Bayu, Jefri Nichol, Dimas Anggara | Produksi: Screenplay Bumilangit, Legacy Pictures | Genre: Superhero | Durasi: 135 menit | Rilis: 17 November 2022.

TAG

filmindonesia film superhero komik film nasional

ARTIKEL TERKAIT

Ibu dan Kakek Jenifer Jill Sudirman dan Bola Pyonsa dan Perlawanan Rakyat Korea Terhadap Penjajahan Jepang Benshi, Suara di Balik Film Bisu Jepang Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Komponis dari Betawi Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri Jenderal Orba Rasa Korea Hubungan Jarak Jauh Pierre Tendean