Masuk Daftar
My Getplus

Benshi, Suara di Balik Film Bisu Jepang

Benshi berperan dalam membantu penonton memahami film bisu. Salah satu alasan mengapa film bersuara butuh waktu lama untuk berkembang di Jepang.

Oleh: Amanda Rachmadita | 02 Apr 2024
Sunshui Matsuda, benshi Jepang terakhir di era film bisu. (Sumber foto: www,benshi.hamiltonlits.org.)

ORANG-orang berdatangan ke salah satu bioskop terbesar di Jepang pada 1920-an. Mereka ramai-ramai mencari tempat duduk paling nyaman di dalam bioskop. Namun, alih-alih menonton film asing yang ditayangkan pihak bioskop, para penonton justru hadir untuk menyaksikan benshi. Benshi merupakan orang-orang yang memberikan narasi suara pada film bisu, baik film produksi dalam negeri maupun luar negeri.

Sejarawan Giannalberto Bendazzi menulis dalam Animation: A World History Volume 1 bahwa sebagai bagian tak terpisahkan dari pengalaman menonton film bisu, benshi berperan sebagai narator dengan menyediakan “komponen verbal” yang menjadi hiburan bagi penonton hingga munculnya film bersuara tahun 1930-an.

Baca juga: 

Advertising
Advertising

Sinema dalam Sejarah: Dari Epik Sampai Detektif

Benshi adalah bagian penting dari penayangan film, dan dianggap sebagai salah satu alasan mengapa film bersuara membutuhkan waktu yang lama untuk berkembang di Jepang dibandingkan dengan negara lain di dunia,” tulis Bendazzi.

Kehadiran benshi berkaitan dengan sejarah perfilman di Negeri Sakura. Menurut E. Taylor Atkins, profesor sejarah di Northern Illinois University, dalam A History of Popular Culture in Japan: From the Seventeenth Century to the Present, pada awal kehadiran film di Jepang, film tidak berdiri sendiri atau otonom, melainkan merupakan pengembangan dari genre seni pertunjukan asli yang lebih tua. “Penonton Jepang menganggap film sebagai bentuk baru teater, dan bukan (seperti di Amerika Serikat) bentuk baru fotografi,” tulis Atkins.

Perfilman Jepang menghabiskan dekade pertamanya dengan mengadopsi dari panggung teater. Tradisi teater begitu kuat sehingga bentuk seni baru ini belum mampu mengembangkan konsep-konsep keseniannya sendiri. Orientalis Amerika, Keiko I. McDonald dalam Japanese Classical Theater in Films menyebut pada akhir abad ke-19 telah muncul upaya-upaya awal untuk membuat film Jepang dengan menggunakan teknik sinematografi. “Ide awalnya adalah memfilmkan dua pertunjukan shosagoto (tarian) Kabuki. Namun, upaya tersebut gagal,” sebut McDonald.

Meski begitu upaya membuat film tak berhenti begitu saja. Menjelang akhir tahun 1897, sebuah film akhirnya berhasil dibuat. Film ini menampilkan cuplikan dari berbagai situs di Tokyo, salah satunya jembatan Nihonbashi yang tersohor. Selanjutnya, film bergerak berhasil diproduksi di Jepang pada 1898. Film ini menampilkan rekaman tiga orang geisha sedang menari. Setelahnya berbagai film mulai diproduksi di Jepang.

Baca juga: 

Yang Pertama dalam Sejarah Film dan Bioskop

Tahun-tahun awal perkembangan film di Jepang pada awal abad ke-20 dipimpin oleh para benshi. Awalnya mereka muncul sebelum film ditayangkan untuk memberikan gambaran tentang film yang akan ditampilkan ke hadapan penonton. Dalam film yang diproduksi oleh Barat, benshi berperan dalam menjelaskan konten budaya yang “eksotis”.

Menurut Bendazzi, peran benshi berkembang lebih jauh ketika, selain memberikan pengantar film, mereka juga memfungsikan suaranya untuk mengiringi gambar-gambar dalam film. Untuk film produksi asing, seorang benshi menjelaskan apa yang sedang terjadi di layar. Sementara dalam film produksi Jepang, muncullah peran pertunjukan yang disebut kowairo setsumei (pengisi suara), yaitu sekelompok seniman terdiri dari empat hingga enam orang yang melakukan sulih suara langsung untuk tokoh-tokoh di layar, di luar pandangan penonton.

Namun, tak jarang seorang benshi terkemuka yang dikenal memiliki kemampuan mengolah suara menggunakan kehebatannya untuk mengisi suara para tokoh dalam film bisu yang ditayangkan. Karena hal ini, popularitas benshi melejit hingga menarik para penonton untuk hadir di bioskop, bukan untuk menyaksikan film yang ditayangkan, melainkan untuk menyaksikan kepiawaian para benshi mengolah suaranya.

Yang menarik, ketika kebutuhan narator langsung yang menjelaskan film bisu kepada penonton mulai memudar di Amerika Serikat pada 1910, benshi bertahan hingga mencapai tingkat popularitas tertinggi dalam perfilman di Jepang.

Baca juga: 

Serba-serbi Menonton Bioskop pada Zaman Belanda

Dalam A Hundred Years of Japanese Film, Donald Richie menyebut ada beberapa hal yang menyebabkan benshi bertahan lama. Pertama, karena Jepang baru sekitar empat puluh tahun sebelumnya “membuka diri terhadap Barat”, dengan demikian ketidaktahuan tentang dunia luar merupakan hal yang umum. Para benshi kemudian mengisi kekosongan pengetahuan yang telah diperoleh oleh para penonton Barat jauh sebelumnya.

Selain peran edukatifnya, benshi juga berperan dalam memberikan pengalaman menonton film yang menarik bagi penonton. Sebagian besar bioskop pada masa awal perkembangan film di Jepang menyajikan film berisi klip-kilp pendek dan sering kali tidak saling berhubungan. Sebuah komentar atau narasi yang menghubungkan klip-klip ini tidak hanya membuat film pendek itu menjadi lebih panjang, tetapi juga lebih koheren dan dapat dimengerti oleh penonton. Setelahnya, ketika film yang diproduksi memiliki durasi lebih panjang, benshi menyusun cerita untuk film tersebut.

Benshi juga dituntut untuk mengisi waktu dan hal ini dilakukannya dengan berbagai cara. Kala itu banyak film berdurasi cukup pendek sehingga beberapa ditayangkan dalam satu kali pemutaran. Untuk memperpanjang durasi waktu menonton, para benshi akan memberikan penjelasan yang panjang, retorika yang memakan waktu, dan kesimpulan yang berlarut-larut dan sering kali mengandung pesan moral kepada penonton.

Baca juga: 

Popcorn dari Jalanan ke Bioskop

Menurut McDonald, benshi memiliki kaitan erat dengan tradisi mendongeng di Jepang yang sudah berlangsung sejak lama. Oleh karena itu, mereka dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat dan mampu bertahan di tengah gencarnya perkembangan perfilman Jepang.

Meningkatnya popularitas benshi membuat mereka dipandang sebagai sosok berpengaruh. Atkins menyebut sekitar tahun 1910, benshi muncul di sampul majalah film dan “berfungsi sebagai daya tarik komersial yang menarik penonton untuk mengunjungi bioskop”. Begitu populernya pertunjukan vokal benshi bahkan menarik minat para pengusaha untuk merekam suara benshi terkenal dan menjualnya sebagai rekaman SP (drama pendek) 78-RPM.

“Kadang-kadang penonton akan menonton film dua atau tiga kali hanya untuk membandingkan keunikan dari para benshi. Teks dan suara tidak hanya tidak diperlukan, tetapi juga menghambat kebebasan berkreasi para benshi; dengan demikian, ‘film bisu sudah dianggap sebagai gambar yang berbicara oleh para penonton’,” tulis Atkins.

Dalam beberapa kasus, benshi mampu memberikan solusi terkait penyensoran film. Donald Richie mencontohkan film dari Prancis berjudul La Fin du Regne de Louis XVI–Revolution Francaise dianggap menghasut karena Jepang telah memproklamirkan penguasanya sebagai keturunan dewa.

“Sehari sebelum diputar, film Prancis itu ditarik karena dianggap mengancam kedamaian publik, dan sebagai gantinya muncul film lain berjudul The Cave King: A Curious of North America. Film ini sesungguhnya film yang sama, hanya saja sekarang Louis XVI merupakan ‘pemimpin kelompok perampok’, dan rakyat jelata yang menyerbu Bastille menjadi ‘sekelompok warga yang dengan setia bergabung dengan polisi untuk memberantas penjahat. Semua aksi ini terjadi di Pegunungan Rocky,” tulis Richie.

Baca juga: 

Nonton Film di Alam Terbuka

Sejarawan Aaron Gerow mengisahkan anekdot terkait praktik sensor yang membayangi benshi dalam Visions of Japanese Modernity: Articulations of Cinema, Nation, and Spectatorship, 1895–1925. “Ada anekdot yang sering dikaitkan dengan film Edison, The Kiss, di mana polisi berusaha untuk menyensor adegan ciuman yang direkam antara May Irvin dan John C. Rice agar tidak diputar di Osaka pada 1897, dengan alasan bahwa film tersebut merusak moral masyarakat. Ceritanya, benshi Ueda Hoteiken yang cerdik rupanya berhasil meyakinkan polisi yang terlalu berhati-hati bahwa ciuman mirip dengan jabat tangan di Amerika dan keterangannya itu membuat film tersebut berhasil lolos dari penyensoran,” sebut Gerow.

Namun, kuatnya pengaruh para benshi tak sejalan dengan rendahnya status sosial mereka, sehingga setelah tahun 1917, para benshi membutuhkan izin atau lisensi dari polisi. Menurut Atkins keinginan untuk mendapatkan sedikit kehormatan sosial memotivasi para benshi untuk menyetujui peraturan tersebut.*

TAG

benshi sejarah film jepang

ARTIKEL TERKAIT

Potret Pribumi Ainu di Balik Golden Kamuy Ketika Jepang Tertipu Mata-mata Palsu Keluarga Jerman di Balik Serangan Jepang ke Pearl Harbor Susu Indonesia Kembali ke Zaman Penjajahan Uprising Memotret Kemelut Budak yang Menolak Tunduk Ulah Mahasiswa Kedokteran yang Bikin Jepang Meradang Mahasiwa yang Menolak Militerisme Jadi Orang Sukses Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian II – Habis) Melihat Tentara Hindia dari Keluarga Jan Halkema-Paikem Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian I)