Nonton Film di Alam Terbuka
Bioskop pertama di Hindia Belanda berupa bioskop keliling. Pemutaran film di ruang terbuka ini menjadi cikal bakal bioskop misbar.
BIOSKOP misbar (gerimis bubar) atau layar tancap masih diminati masyarakat hingga kini. Biasanya layar tancap diselenggarakan sebagai hiburan hajatan dan berbagai perayaan lainnya. Tak jarang layar tancap diputar untuk memeriahkan peringatan kemerdekaan.
Bioskop misbar tak dapat dilepaskan dari sejarah bioskop di Hindia Belanda. Sejarawan Alwi Shahab dalam Saudagar Baghdad dari Betawi menyebut geliat industri film di Indonesia sudah dimulai sejak menjelang berakhirnya abad ke-19. “Waktu itu film-film masih diputar di bioskop keliling,” tulis Alwi.
Tio Tek Hong, pengusaha kelahiran Pasar Baru, membahas munculnya bioskop di Batavia dalam bukunya, Keadaan Jakarta Tempo Doeloe Sebuah Kenangan 1882–1959. “Mula-mula saya melihat gambar hidup yang diusahakan oleh Tuan Talbot di dalam bangsal berdinding gedek dan beratap kaleng di Gambir (Lapangan Merdeka). Di situ tidak lama karena gambar hidup itu dibawa keliling ke kota-kota lain. Yang tetap (permanen) mula-mula diusahakan oleh Tuan Schwarz di tempat orang belajar tunggang kuda (kemudian ditempati oleh Persewaan Kereta Fuchs) dekat Kebon Jahe antara Jalan Majapahit dengan Tanah Abang Barat.”
Menurut tokoh perfilman, Misbach Yusa Biran dalam Sejarah Film 1900–1950: Bikin Film di Jawa, pada tahun-tahun permulaan kemunculan film, yang oleh orang-orang tempo dulu disebut gambar hidup, pertunjukan bioskop belum memiliki tempat tetap.
“Pemutaran berpindah-pindah dari satu gedung ke gedung lain, seperti menyewa gedung milik Kapten Cina Tan Boen Koei. Yang sederhana diputar di tempat terbuka seperti lapangan Mangga Besar atau di Los Pasar Tanah Abang,” kata Misbach. Pertunjukan di alam terbuka biasanya harga karcisnya lebih murah.
Di tempat yang kemudian ditempati Deca Park, kata Tio Tek Hong, Tuan De Callone mengusahakan bioskop lain, mula-mula di lapangan terbuka (openlucht) lalu di dalam gedung besar. Ia bersama beberapa kawannya mendirikan Elite Bioscope di kawasan pintu air, di tempat bekas Pelelangan Plantegha.
Baca juga: Cerita dari Gedung Bioskop Elite Metropole
Mula-mula, film yang ditayangkan merupakan film bisu. Baru pada 1920-an muncul film bersuara. Kehadiran film bersuara mendorong munculnya beragam bioskop.
M. Abduh Aziz dalam Dari Balik Layar Perak, Film di Hindia Belanda 1926–1942 menulis, film bicara sudah diberitakan sejak 1923 oleh surat kabar Keng Po, namun baru pada 26 Desember 1929 film bicara diputar untuk pertama kali di Surabaya. Tiga bulan kemudian, tepatnya Maret 1930, film bicara diputar di Bioskop Globe di Batavia yang menarik perhatian banyak penonton.
Kemunculan film bicara juga membuat bioskop-bioskop menambahkan kata talkies (bicara) di belakang namanya. “Ada Tropicana Talkies di Bangkalan Madura, Thalia Talkies di Batavia, Djambie Talkies Theater di Jambi, National Talkies dan Sirene Talkies di Mojokerto, Olympia Talkies di Singkawang, Kalimantan Barat, dan lain-lain,” sebut Abduh Aziz.
Masa awal kehadiran film bicara, kata Abduh Aziz, masih merupakan masa transisi, berarti jenis film yang dipertunjukkan masih bervariasi antara film bicara dan film bisu. Oleh karena itu, bioskop-bioskop yang masih memutar film bisu menambahkan kata silent di belakang nama bioskop atau pada judul-judul filmnya.
Baca juga: Mengenang Bioskop Drive-In ala Ciputra
Kehadiran bioskop-bioskop permanen di dalam gedung tak memudarkan minat masyarakat menonton film di bioskop misbar atau layar tancap. Dukut Imam Widodo dalam Sidoardjo Tempo Doeloe menyebut fenomena layar tancap kerap ditemukan di wilayah Batavia pada abad ke-20, tepatnya dalam rentang tahun 1930-an.
Pada masa itu, layar tancap diselenggarakan di Deca Park, Lapangan Tanah Abang, Lapangan Mangga Besar, hingga Lapangan Stasiun Kota (Beos). Bioskop misbar juga hadir di daerah-daerah lain, seperti di Bandung pada 1936.
Bioskop misbar biasanya memutar 3–4 film dalam semalam. Film yang ditayangkan beragam: film Holywood, film India, dan film Indonesia. Penonton paling suka film laga atau action dan film koboi. Bila kedua film ini diputar, mereka bertepuk tangan saat adegan sang jagoan beraksi mengalahkan musuh-musuhnya.
Memasuki tahun 1940-an, bioskop misbar masih jadi tujuan masyarakat. Namun, film-film yang diputar kebanyakan film propaganda Jepang. Pada 1950-an dan seterusnya, bioskop misbar kembali memutar film-film komersial yang menarik minat lebih banyak penonton.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar