Mengenang Bioskop Drive-In ala Ciputra
Teater kendara atau drive-in cinema pertama di Indonesia dan terbesar di Asia Tenggara. Tempat muda-mudi bergoyang dalam mobil.
Ciputra, konglomerat bidang properti dan konstruksi, telah berpulang 27 November 2019 lalu. Dia meninggalkan banyak karya. Dari pertokoan, perumahan, perkantoran, museum seni, kota satelit, sampai tempat rekreasi dan hiburan. Sebagian besar karyanya masih bertahan. Segelintir kecil lainnya sudah tak ada lagi atau bersalin rupa. Misalnya drive-in theatre atau teater kendara.
Ciputra mulai membangun teater kendara di Pantai Binaria (sekarang Ancol), Jakarta, pada 1 April 1970. Pembangunannya seiring dengan pengembangan Ancol sebagai daerah perumahan, industri, dan rekreasi oleh PT Pembangunan Jaya, perusahaan di mana Ciputra menjadi salah satu direkturnya.
Tadinya Ancol hanyalah sebuah rawa-rawa dan hutan. Penuh kera, ular, dan nyamuk. Tapi ada saja orang nekat menembus hutan dan rawa-rawa demi menikmati keindahan Pantai Ancol.
Baca juga: Ancol Bercitarasa Indonesia
Pemerintah DKI Jakarta telah merencanakan pengembangan wilayah itu menjadi perumahan, industri, dan rekreasi sejak 1962. Tetapi rencana mereka tak berjalan mulus.
Ciputra memberanikan diri untuk menangani proyek itu di bawah Pembangunan Jaya. Dia menjanjikan bila proyek itu untung, Pembangunan Jaya akan berbagi cuan dengan Pemda. Tapi kalau proyek itu malah rugi, Pembangunan Jaya sendirian akan menanggungnya. Gubernur Jakarta (1966—1977), Ali Sadikin, menyepakati perjanjian itu.
Tapi beberapa staf Ciputra keberatan dengan keputusan tersebut. Ciputra meyakinkan mereka. “Kita bisa mengembangkan Ancol menjadi pantai yang nomor satu. Itu akan menjadi pantai emas,” kata Ciputra, seperti dituturkan Bondan Winarno dalam Tantangan Jadi Peluang : Kegagalan dan Sukses Pembangunan Jaya Selama 25 Tahun.
Sepulang melihat Amerika
Pengembangan Ancol berjalan bertahap. Mula-mula rawa-rawa diurug, jalan-jalan diperlebar, penerangan ditambah, lalu tempat berteduh didirikan. Pembangunan Jaya memasang pagar pembatas dan menerapkan karcis masuk sebagai kompensasi pengembangan Ancol. Orang pun berduyun-duyun datang menikmati suasana baru Pantai Ancol.
Ciputra belum puas. Dia masih punya rencana lain. Mimpinya adalah menjadikan Ancol pusat rekreasi baru bagi warga Jakarta dan sekitarnya. Ancol tidak hanya akan menjadi tempat rekreasi alam, tapi juga tempat rekreasi berbasis mekanik dan teknologi. Di Ancol bakal ada sirkuit balap, akuarium, bioskop, dan drive-in. Jenis terakhir bahkan belum pernah ada di Indonesia.
Ciputra memperoleh ide membangun teater kendara setelah melihatnya di New York, Amerika Serikat. Demikian catatan mingguan Djaja nomor 440 tahun 1970. Di negeri inilah teater kendara pertama di dunia muncul pada 1933.
Baca juga: Konflik Aceh Mereda Tapi Bioskop Terlupa
Konsep teater kendara berbeda dari bioskop tertutup. Teater kendara membuka kesempatan bagi para penonton menyaksikan film di ruang terbuka dari mobilnya masing-masing. Konsep ini berasal dari Richard Hollingshead. Dia mengajukan konsep ini setelah melihat ibunya tidak nyaman menonton di dalam bioskop tertutup.
Richard membuka teater kendara kali pertama di New Jersey pada 6 Juni 1933. Orang-orang menyukai konsepnya. Richard kemudian mematenkan konsepnya hingga 1949.
Setelah paten Richard habis, teater kendara tumbuh cepat di antero Amerika Serikat. Salah satu yang terbesar berada di New York. Teater kendara itu mampu menampung 2.500 mobil di atas lahan seluas 11 hektar.
Teater kendara kemudian merambah keluar Amerika Serikat. Eropa, Australia, dan Asia Tenggara. Pasar utama teater kendara adalah keluarga dan anak muda bermobil. Ciputra melihat pasar ini telah mengada di Jakarta.
Perbaikan ekonomi pada awal Orde Baru memunculkan kelas menengah baru. Mereka cukup mampu membeli mobil pribadi. Jalanan Jakarta pun semarak oleh kehadiran mobil.
“Hal ini didorong dengan pembukaan beberapa perusahaan asembling mobil di sekitar Jakarta, terutama merek Jepang seperti Toyota, Honda, Mitsubishi, Suzuki, Mazda, dan Subaru yang merajai jalanan di 1970-an, di samping mobil merek Amerika dan Eropa yang jumlahnya lebih sedikit,” catat Firman Lubis dalam Jakarta 1970-an.
Rekreasi Kaum Berpunya
Melihat kondisi pasar seperti itu, Ciputra tak ragu menghadirkan teater kendara pertama di Indonesia. Luasnya lima hektar dan mampu menampung 800 mobil. “Bioskop terbuka itu merupakan drive-in cinema terbesar di Asia Tenggara,” catat Kompas, 2 Mei 1970. Semua jenis mobil boleh masuk, kecuali pick-up dan truk.
Ciputra berupaya mengerahkan kemampuan terbaiknya untuk membangun teater kendara. Dia melibatkan 340 pekerja. Terdiri dari orang-orang Batalion Zeni Konstruksi Angkatan Darat, PT Technik Indonesia, dan PT Jaya Steel (anak perusahaan Pembangunan Jaya).
Baca juga: Masa Muda Ciputra
Para pekerja giat siang-malam untuk memasang layar raksasa dengan ukuran sebagai berikut: panjang 40 meter, lebar 19 meter, dan tinggi 27 meter. Ukuran demikian mampu dilihat orang hingga jarak 200 meter.
Aspal dibuat bergelombang agar mobil dapat mengarah ke layar. Jarak parkir antar mobil diperhitungkan secara teliti supaya pengendara dapat keluar-masuk tanpa kesulitan.
Teater kendara terbesar di Asia Tenggara itu menghabiskan 20.000 meter kubik pasir, 10.000 meter kubik batu, 2.000 drum aspal, 200 meter kubik beton, dan 85 ton besi konstruksi. Alat-alat pemutar filmnya dibeli dari perusahaan Toshiba, Jepang. Untuk semua pembangunan itu, Pembangunan Jaya mengeluarkan Rp260 juta, atau setara dengan Rp10,4 miliar nilai uang sekarang.
Seluruh pengerjaan teater kendara selesai pada Juni 1970. Sebermula Ciputra hendak meresmikan teater kendara tepat saat hari ulang tahun ke-443 Jakarta pada 22 Juni 1970. Tetapi harapannya meleset hampir sebulan. Teater kendara mulai terbuka untuk umum pada 11 Juli 1970.
Ratusan mobil undangan memenuhi teater kendara. Ali Sadikin memuji upaya Ciputra memberikan rekreasi terbaik kepada warga Jakarta. “Rekreasi sangat penting untuk keseimbangan hidup,” kata Ali dalam peresmian teater kendara, dikutip Kompas, 13 Juli 1970. Wajahnya terpampang jelas di layar raksasa teater kendara.
Baca juga: Ciputra dan Proyek Senen
Tapi Ali mengingatkan bahwa teater kendara sesungguhnya hanya untuk kaum the haves (orang berpunya) saja. “Sebab yang nonton cuma orang bermobil,” lanjut Ali.
Untuk mengurangi kesan teater kendara hanya punya kaum the haves saja, Pembangunan Jaya menekan harga tiket. Hitungannya per orang, bukan per kendaraan. Dewasa kena Rp500, sedangkan anak-anak Rp300 atau senilai US1 dolar. Harga ini masih cukup tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata pendapatan penduduk Jakarta kala itu.
Anne Booth dan R.M Sundrum dalam “Distribusi Pendapatan” termuat di Ekonomi Orde Baru dengan detail menjabarkan tingkat penghasilan bulanan penduduk di sembilan kota, termasuk Jakarta, selama 1968—1969. Penghasilan mereka berkisar dari Rp1.482—Rp4.479 per bulan.
Tiket seharga Rp500 dan Rp300 itu memungkinkan pengunjung untuk menonton dua film dalam semalam. Sesuai jadwal teater kendara. Biasanya pemutaran film selesai pukul 00.00.
Enak buat Bergoyang
Kebanyakan pengunjung teater kendara adalah muda-mudi. Mereka lebih asyik berpelukan. Tenggelam dalam asmara di bawah langit gemintang Jakarta ketimbang menyaksikan filmnya.
“Sering terlihat samar-samar mobil yang diparkir bergoyang-goyang karena penumpang di dalamnya juga ikut bermain film!” kata Firman Lubis dalam Jakarta 1970-an.
Ciputra mengakui stok filmnya lebih banyak untuk orang dewasa. “Hanya sayang bahwa film anak-anak sangat kurang,” kata Ciputra dikutip Djaja. Tapi itu tak mengurangi minat orang-orang bermobil datang ke teater kendara. Ada keluarga membawa anak-anak meski film yang diputar tak khusus untuk anak-anak.
Baca juga: Film Anak Riwayatmu Dulu
Bagi Pembangunan Jaya, kedatangan keluarga ke teater kendara bagus untuk menguatkan kesan Ancol sebagai tempat rekreasi keluarga. Bukan hanya tempat muda-mudi pacaran. Dengan begitu, orang-orang pun tak sungkan datang ke Ancol dan teater kendara.
“Dibangunnya bioskop terbuka drive-in di Ancol makin menambah arus pengunjung ke Ancol,” kata Bondan Winarno. Ini berarti keuntungan untuk Pembangunan Jaya sebagai pengelola kawasan rekreasi Ancol.
Selama hampir 20 tahun teater kendara menarik orang-orang bermobil. Ia juga menghasilkan pendapatan Rp40 juta per tahun bagi Pembangunan Jaya. Tapi Ciputra menghitung pendapatan itu masih rendah. “Dibanding luas tanah yang ada penghasilan sebesar itu tak sebanding lagi,” kata Ciputra dalam Warta Ekonomi, 4 Desember 1989.
Baca juga: Sang Konglomerat dan Pelukis Rakyat
Menyiasati kondisi itu, Ciputra membuat strategi baru. Teater kendara dibuka untuk konser musik. Di tempat inilah Stevie Wonder, musisi tunanetra kesohor, menggelar konser pada 21 Mei 1988. "Malam ini kita semua keluarga. Drive-in adalah rumah kita. Kita bergembira. Pak polisi juga bergembira," begitu Stevie membuka konsernya.
Kemudian mengalunlah lagu-lagu Stevie Wonder. Dia mendedikasikan lagu "I Just Called to Say I Love You" dan "It's Wrong" untuk melawan politik apartheid di Afrika Selatan dan mendukung Nelson Mandela, tokoh penentang apartheid. Dari teater kendara, dia sebarkan cinta, perdamaian, dan persatuan kepada 20.000 penonton.
Tapi strategi menggelar konser musik di teater kendara tetap tak mengerek pendapatannya. Masa jaya teater kendara berakhir pada awal 1990-an. Ciputra menutupnya, mengubah total rupanya menjadi pusat belanja busana berbahan denim atau jeans, Cahaya Jeans Centre. “Trend dunia yang ada saat ini ialah berekreasi sambil belanja, dan belanja sambil berekreasi,” ungkap Ciputra.
Tak ada lagi teater kendara "rumah kita". Hanya kenangan akan Ciputra, muda-mudi menggoyangkan mobil dari dalam, dan lantunan suara khas Stevie Wonder yang melekat abadi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar