Popcorn dari Jalanan ke Bioskop
Pemilik bioskop awalnya tidak tertarik menjual popcorn. Popcorn baru dijual di bioskop saat krisis ekonomi. Di Hindia Belanda, popcorn menggeser kacang arab.
BIOSKOP masih menjadi tempat favorit menonton film. Selain menayangkan film, bioskop juga menjual popcorn sebagai teman nonton. Rasanya gurih dan manis serta aromanya menggoda. Tak heran popcorn melekat dengan nonton film di bioskop. Ternyata, dulu popcorn justru tidak dijual di bioskop.
Andrew F. Smith, penulis dan akademisi yang fokus dalam sejarah kuliner, menyebut pada 1930-an pemilik bioskop menolak untuk menjual popcorn karena dianggap tidak perlu dan dapat “merusak martabat” bioskop. “Penjual popcorn sering kali berpakaian jorok dan tidak selalu mengikuti praktik higienis yang disukai oleh kelas menengah yang sering mengunjungi bioskop,” tulis Smith dalam Popped Culture.
Pemilik bioskop juga beranggapan menjual makanan ringan, seperti popcorn maupun soda, lebih banyak memberikan kesulitan daripada keuntungan. Terlebih banyak bioskop telah melapisi lobinya dengan karpet bernilai tinggi meniru lobi bioskop besar. Sehingga para operator bioskop tidak ingin karpet mahal mereka kotor dan rusak oleh tumpahan biji popcorn, soda, maupun permen.
Alasan lain karena sebagian besar bioskop di Amerika Serikat tak memiliki ventilasi luar, sehingga dikhawatirkan saat mesin popcorn beroperasi, baunya yang dianggap tidak sedap dapat memenuhi bioskop dan mengganggu penonton. Pemilik bioskop yang tertarik menjual popcorn diharuskan membangun ventilasi yang menghabiskan biaya dan mengurangi keuntungan. “Hingga tahun 1930-an, sebagian besar pemilik teater menganggap popcorn sebagai beban, bukan keuntungan,” tulis Smith.
Meski dipandang sebelah mata oleh para pemilik bioskop, popularitas popcorn menanjak sejak akhir abad ke-19. Mengutip The Oxford Companion to American Food and Drink terbitan Oxford University Press, pada masa itu para pedagang menjual popcorn di jalanan, pameran, sirkus, dan berbagai acara olahraga. Geliat industri popcorn ini berkaitan dengan penemuan mesin pembuat popcorn bertenaga uap yang dikembangkan oleh Charles Cretors pada 1885.
Baca juga: Film Laris Pertama Produksi Dalam Negeri
Menurut sejarawan Libby O’Connell dalam The American Plate: A Culinary History in 100 Bites mesin buatan Cretors membawa popcorn ke acara luar ruangan seperti di stadion maupun di arena. “Vendor di pertandingan bisbol, sirkus, dan bazar semuanya menawarkan karung kertas berisi popcorn panas,” tulis O’Connell.
Namun, sejumlah pihak menganggap penemuan Cretors berisik dan kotor. Kemudian seorang insinyur listrik dari Montana bernama Charles T. Manley menemukan teknologi yang meningkatkan penjualan popcorn. Pada 1925, Manley menciptakan alat pembuat popcorn elektrik yang memiliki mesin bersih dan cocok digunakan di dalam ruangan. Mesin ini marak digunakan oleh vendor-vendor untuk menjajakan popcorn di luar bioskop.
Baca juga: Nonton Film di Alam Terbuka
Depresi ekonomi yang melanda Amerika Serikat pada 1930-an berdampak pada bisnis bioskop. Kondisi itu menyebabkan para pemilik bioskop mengubah perspektif mereka terkait penjualan popcorn di dalam bioskop. “Depresi hebat tidak mengganggu penjualan popcorn, karena popcorn merupakan barang mewah yang mampu dibeli oleh kebanyakan orang Amerika,” tulis Andrew F. Smith dalam Food and Drink in American History: A “Full Course” Encyclopedia.
Saat para pemilik bioskop memangkas harga tiket demi tetap beroperasi di tengah krisis ekonomi, mereka melihat pengunjung mampir terlebih dulu ke pedagang di luar area bioskop untuk membeli popcorn sebelum menonton film. Hal itu membuat mereka sadar bahwa popcorn merupakan bisnis yang menguntungkan meski krisis ekonomi.
Smith mengungkapkan, awalnya pemegang konsesi independen menyewakan “hak istimewa lobi” di bioskop, yakni vendor membayar sekitar satu dolar sehari untuk dapat menjual popcorn. Namun, karena kebanyakan teater tidak memiliki area lobi, maka vendor tersebut menjual popcorn di luar area bioskop. “Ini merupakan keputusan yang tepat bagi vendor karena mereka dapat menjual popcorn kepada pelanggan film maupun pejalan kaki yang melintas,” tulis Smith.
Baca juga: Marketing Selebritas Dulu dan Kini
Tak butuh waktu lama hingga para pemilik bioskop membeli mesin pembuat popcorn dan menempatkannya di dalam bioskop agar dapat dijual kepada para pengunjung. Menurut Smith salah satu faktor yang menyebabkan popcorn begitu laris dan diminati masyarakat karena aromanya yang menggoda –bau yang sama yang dulu dibenci para pemilik bioskop sebelum depresi ekonomi. Oleh karena itu, banyak pemilik bioskop yang berupaya memaksimalkan aroma popcorn selama proses pembuatannya untuk menarik minat para pengunjung. Segera setelah mesin pembuat popcorn ditempatkan di area bioskop, bisnis ini langsung berkembang.
Tergiur keuntungan, sejumlah pemilik bioskop fokus menjual popcorn daripada makanan ringan lain. Ada pula pemilik bioskop yang melatih dan mempekerjakan gadis-gadis sebagai petugas penjual popcorn demi menarik minat para pengunjung.
Meski begitu tidak semua orang senang dengan kehadiran popcorn di dalam bioskop. Sebuah rancangan undang-undang diajukan ke badan legislatif di Oregon untuk melarang popcorn di bioskop. “Pencetusnya kesal karena suara-suara yang dibuat orang saat makan popcorn. Namun ketika pemilik teater melaporkan bahwa 75% pelanggan mereka makan popcorn, rancangan undang-undang tersebut diam-diam dilupakan,” tulis Smith.
Baca juga: Cara Mengiklankan Film pada Zaman Belanda
Dari Amerika Serikat, popcorn kemudian dijual di bioskop-bioskop di berbagai negara, termasuk Hindia Belanda. Kehadiran popcorn di bioskop-bioskop tanah air bahkan menggeser makanan ringan yang lebih dulu menjadi favorit penonton, seperti pala manis dan kacang arab.
Menurut Tanu Trh. dalam Batavia: Kisah Jakarta Tempo Doeloe sudah menjadi kebiasaan para pengunjung bioskop di zaman kolonial Belanda untuk membeli berbagai makanan ringan untuk disantap sembari menonton film. Salah satu yang favorit adalah kacang arab. Kacang ini berwarna kekuningan dan berukuran agak lebih besar dari biji lada putih. Makanan yang biasanya dijual sudah tergoreng kering (tanpa minyak) ini memiliki rasa yang lezat dan renyah.
“Dengan uang satu sen kita mendapat satu contong kecil, sementara satu contong besar berharga sebenggol, cukup banyak untuk dinikmati bersama beberapa teman tanpa ada yang merasa kekurangan,” tulis Tanu Trh.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar