top of page

Sejarah Indonesia

Cara Mengiklankan Film Pada Zaman Belanda

Cara Mengiklankan Film pada Zaman Belanda

Film-film yang akan diputar di bioskop diiklankan menggunakan delman hingga majalah untuk menarik perhatian publik.

18 Januari 2023

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Promosi film Charlie Chaplin di bioskop Globe dan Rex, Batavia tahun 1936. (KITLV).

Sejumlah poster film terpasang berjejer di bagian depan bioskop-bioskop ibu kota dan berbagai daerah lainnya. Sebagai informasi kepada para pengunjung bioskop, di bagian atas posterdisematkan tulisan “sedang tayang” atau “akan tayang”. Sebelum ditayangkan di bioskop, potongan-potongan adegan film (trailer) diiklankan di berbagai media, seperti televisi, YouTube, dan berbagai media sosial untuk menarik perhatian publik.


Berbeda dengan masa kini yang serba digital, di masa lalu film yang akan ditayangkan di bioskop diiklankan dengan cara unik menggunakan delman atau sado.


Tanu Trh dalam Kisah Jakarta Tempo Doeloe menyebut penggantian film yang ditayangkan di bioskop Batavia pada zaman kolonioal Belanda biasanya terjadi 3–4 malam sekali dan diumumkan kepada khalayak ramai dengan cara diarak, sehingga disebut “bioskop ngarak”. “Sebuah delman atau sado disewa, dipajangi poster-poster film yang akan diputar malam itu serta nama bioskop bersangkutan,” tulis Tanu.



Delman atau sado yang dipajangi poster-poster film berkeliling ke bagian-bagian kota yang dipadati penggemar film. Kedatangannya telah diketahui dari kejauhan karena bunyi genderang dan tambur ditabuh di kendaraan itu. Kusir delman atau sado turut membunyikan bel guna menarik perhatian lebih banyak penduduk.


Selain memajang poster film, lembaran-lembaran acara yang mengiklankan film juga disebarkan di kiri, kanan, dan belakang kendaraan itu. Kertas acara itu jadi rebutan anak-anak yang antusias menonton delman atau sado tersebut.


“Mereka berlarian menyongsong delman atau sado itu dan berusaha meraih kertas-kertas yang beterbangan atau jatuh dekat roda,” tulis Tanu. Meski berbahaya, aksi itu kerap dilakukan anak-anak.



Seiring berjalannya waktu, mengiklankan film tak hanya menggunakan delman atau sado. Mobil dan bus juga dipasangi poster film yang berkeliling ke sejumlah daerah di Batavia. Kehadiran “bioskop ngarak” tak hanya dinanti anak-anak, orang-orang dewasa juga antusias dan penasaran. Saat berkumpul di warung kopi mereka kerap membahas film-film yang akan tayang di bioskop-bioskop.


Selain “bioskop ngarak”, media massa juga berperan dalam mengiklankan film-film yang diputar di bioskop maupun pembentuk opini publik.


Sutradara filmMisbach Yusa Birandalam Sejarah Film 1900–1950: Bikin Film di Jawa menulis, sejak tahun 1922 sudah ada majalah khusus mengenai film, yaituFilmland atau Dunia Film. Sebelas tahun kemudian muncul Film Review dan tahun berikutnya terbit Bioscoopcourant.


“Yang pertama berbahasa Belanda dan kelihatannya diterbitkan oleh kalangan importir. Isinya berita-berita pendek film impor serta keadaan industri film di luar,” kata Misbach. Sementara penerbitan kedua, yang diusahakan oleh beberapa bioskop terkemuka di Batavia dan Meester Cornelis (Jatinegara), kebanyakan berisi tentang iklan bioskop di Jakarta dan tulisan-tulisan publisitas.



Tahun 1929 terbit majalah Doenia Film, edisi Melayu dari Filmland, di bawah pimpinan Andjar Asmara. Selain itu, muncul pula Pewarta Bioscoop yang dipimpin oleh Siagian.


Menurut Misbach, ulasan-ulasan yang agak mendalam mengenai film buatan dalam negeri beberapa dilakukan oleh Kwee Tek Hoay di majalah Panorama. Ia menyebut sesungguhnya perhatian dunia pers terhadap pembuatan film sudah tampak sejak awal adanya tontonan ini, begitu juga terhadap pembuatan film dalam negeri yang mulai diproduksi pada 1926. “Tapi, ketika hasil buatan dalam negeri tidak menggembirakan, pers malas menulisnya,” kata Misbach.



Misbach menyebut berita-berita ulasan baru bermunculan ketika pembuatan film sudah mulai ramai diputar di bioskop. Namun, pemuatan berita atau ulasan hampir selalu berkaitan dengan iklan.


“Kalau pada suatu penerbitan kita jumpai tulisan mengenai film yang akan diputar, maka hampir bisa dipastikan di bagian iklan akan kita jumpai iklan dari film tersebut. Bahkan isi ulasan di bagian dalam hanya seperti mengutip begitu saja apa yang tertera di iklan,” kata Misbach.


Misbach menambahkan, penerbitan yang paling lumayan menunjang film buatan dalam negeri adalah majalah Pertjatoeran Doenia dan Film. Pasalnya, pengelola majalah ini merupakan orang-orang yang terlibat dalam pergerakan nasional. Sayangnya, penerbitan ini baru muncul pada 1941, setahun sebelum pembuatan film dalam negeri terhenti karena datangnya balatentara Jepang yang juga menandai berakhirnya kolonialisme Belanda. Di masa pendudukan Jepang, Dai Nippon kemudian melarang semua studio filmmembuat film.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Sukses sebagai penyanyi di Belanda, Anneke Gronloh tak melupakan Indonesia sebagai tempatnya dilahirkan.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
bottom of page