Cara Mengiklankan Film pada Zaman Belanda
Film-film yang akan diputar di bioskop diiklankan menggunakan delman hingga majalah untuk menarik perhatian publik.
Sejumlah poster film terpasang berjejer di bagian depan bioskop-bioskop ibu kota dan berbagai daerah lainnya. Sebagai informasi kepada para pengunjung bioskop, di bagian atas poster disematkan tulisan “sedang tayang” atau “akan tayang”. Sebelum ditayangkan di bioskop, potongan-potongan adegan film (trailer) diiklankan di berbagai media, seperti televisi, YouTube, dan berbagai media sosial untuk menarik perhatian publik.
Berbeda dengan masa kini yang serba digital, di masa lalu film yang akan ditayangkan di bioskop diiklankan dengan cara unik menggunakan delman atau sado.
Tanu Trh dalam Kisah Jakarta Tempo Doeloe menyebut penggantian film yang ditayangkan di bioskop Batavia pada zaman kolonioal Belanda biasanya terjadi 3–4 malam sekali dan diumumkan kepada khalayak ramai dengan cara diarak, sehingga disebut “bioskop ngarak”. “Sebuah delman atau sado disewa, dipajangi poster-poster film yang akan diputar malam itu serta nama bioskop bersangkutan,” tulis Tanu.
Delman atau sado yang dipajangi poster-poster film berkeliling ke bagian-bagian kota yang dipadati penggemar film. Kedatangannya telah diketahui dari kejauhan karena bunyi genderang dan tambur ditabuh di kendaraan itu. Kusir delman atau sado turut membunyikan bel guna menarik perhatian lebih banyak penduduk.
Selain memajang poster film, lembaran-lembaran acara yang mengiklankan film juga disebarkan di kiri, kanan, dan belakang kendaraan itu. Kertas acara itu jadi rebutan anak-anak yang antusias menonton delman atau sado tersebut.
“Mereka berlarian menyongsong delman atau sado itu dan berusaha meraih kertas-kertas yang beterbangan atau jatuh dekat roda,” tulis Tanu. Meski berbahaya, aksi itu kerap dilakukan anak-anak.
Baca juga: Cerita dari Gedung Bioskop Elite Metropole
Seiring berjalannya waktu, mengiklankan film tak hanya menggunakan delman atau sado. Mobil dan bus juga dipasangi poster film yang berkeliling ke sejumlah daerah di Batavia. Kehadiran “bioskop ngarak” tak hanya dinanti anak-anak, orang-orang dewasa juga antusias dan penasaran. Saat berkumpul di warung kopi mereka kerap membahas film-film yang akan tayang di bioskop-bioskop.
Selain “bioskop ngarak”, media massa juga berperan dalam mengiklankan film-film yang diputar di bioskop maupun pembentuk opini publik.
Sutradara film Misbach Yusa Biran dalam Sejarah Film 1900–1950: Bikin Film di Jawa menulis, sejak tahun 1922 sudah ada majalah khusus mengenai film, yaitu Filmland atau Dunia Film. Sebelas tahun kemudian muncul Film Review dan tahun berikutnya terbit Bioscoopcourant.
“Yang pertama berbahasa Belanda dan kelihatannya diterbitkan oleh kalangan importir. Isinya berita-berita pendek film impor serta keadaan industri film di luar,” kata Misbach. Sementara penerbitan kedua, yang diusahakan oleh beberapa bioskop terkemuka di Batavia dan Meester Cornelis (Jatinegara), kebanyakan berisi tentang iklan bioskop di Jakarta dan tulisan-tulisan publisitas.
Baca juga: Bioskop Garuda, Dulu Primadona kini Tinggal Nama
Tahun 1929 terbit majalah Doenia Film, edisi Melayu dari Filmland, di bawah pimpinan Andjar Asmara. Selain itu, muncul pula Pewarta Bioscoop yang dipimpin oleh Siagian.
Menurut Misbach, ulasan-ulasan yang agak mendalam mengenai film buatan dalam negeri beberapa dilakukan oleh Kwee Tek Hoay di majalah Panorama. Ia menyebut sesungguhnya perhatian dunia pers terhadap pembuatan film sudah tampak sejak awal adanya tontonan ini, begitu juga terhadap pembuatan film dalam negeri yang mulai diproduksi pada 1926. “Tapi, ketika hasil buatan dalam negeri tidak menggembirakan, pers malas menulisnya,” kata Misbach.
Baca juga: Mengenang Bioskop Drive-In ala Ciputra
Misbach menyebut berita-berita ulasan baru bermunculan ketika pembuatan film sudah mulai ramai diputar di bioskop. Namun, pemuatan berita atau ulasan hampir selalu berkaitan dengan iklan.
“Kalau pada suatu penerbitan kita jumpai tulisan mengenai film yang akan diputar, maka hampir bisa dipastikan di bagian iklan akan kita jumpai iklan dari film tersebut. Bahkan isi ulasan di bagian dalam hanya seperti mengutip begitu saja apa yang tertera di iklan,” kata Misbach.
Misbach menambahkan, penerbitan yang paling lumayan menunjang film buatan dalam negeri adalah majalah Pertjatoeran Doenia dan Film. Pasalnya, pengelola majalah ini merupakan orang-orang yang terlibat dalam pergerakan nasional. Sayangnya, penerbitan ini baru muncul pada 1941, setahun sebelum pembuatan film dalam negeri terhenti karena datangnya balatentara Jepang yang juga menandai berakhirnya kolonialisme Belanda. Di masa pendudukan Jepang, Dai Nippon kemudian melarang semua studio film membuat film.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar