PANGGUNG politik Jepang perlahan tapi pasti mulai diselingi pemimpin perempuan. Tak hanya Gubernur Tokyo yang kembali dijabat politikus perempuan, sebelumnya Nihon Kyōsan-tō (Partai Komunis Jepang/PKJ) pun diduduki perempuan.
Pemilihan gubernur Tokyo pada 7 Juli 2024 untuk ketiga kalinya dimenangkan incumbent Yuriko Koike. Meskipun maju sebagai calon independen, ia turut didukung Jiyu-Minshuto (Partai Liberal Demokratik) yang merupakan partainya Perdana Menteri (PM) Fumio Kishida. Pada 2016, Koike merupakan perempuan pertama yang menjabat gubernur Tokyo.
Koike menang dengan angka 42,8 persen, mengalahkan calon independen lain, Shinji Ishimaru, dan politikus perempuan lain yang didukung PKJ, Renhō Saitō. Menariknya, PKJ untuk pertamakali dipimpin seorang perempuan sebagai ketua umumnya (ketum), Tomoko Tamura, yang kini juga masih duduk di Parlemen Jepang.
Momen bersejarah PKJ itu terjadi pada 18 Januari 2024, di mana Tamura menggantikan ketum terlama PKJ, Kazuo Shii. Sejak menjabat, Tamura mengusung visi membangun kaderisasi untuk kembali meningkatkan pengikut dan simpatisan PKJ sebagai partai pertama dan tertua di Negeri Matahari Terbit yang genap berusia 102 tahun hari ini, 15 Juli 2024.
“Membangun partai menjadi tugas yang mendesak dan vital bagi kami dan bagi masa kini serta masa depan Jepang,” ujar Tamura, dilansir People’s World, 6 Februari 2024.
Baca juga: Pembunuhan PM Jepang dalam Lintasan Sejarah
Pasang-Surut
Bibit-bibit komunisme di Jepang bermula dari Sen Katayama pada dekade pertama abad ke-20. Saat hijrah ke Amerika Serikat pada 1903, Katayama turut jadi anggota Partai Komunis Amerika Serikat (CPUSA) yang lahir pada 1 September 1919. Katayama juga yang mengetuai Kongres Masyarakat Timur Jauh yang berafiliasi dengan Comintern. Ia diakui sebagai pelopor komunisme Jepang meski terus mengasingkan diri di Uni Soviet sampai wafatnya pada 5 November 1933.
Tokoh kiri lain yang tak kalah berpengaruh adalah Sanzō Nosaka, pemuda yang berasal dari keluarga saudagar kaya tapi menumbuhkan minat pada gerakan sosialis dan buruh moderat semasa kuliah di Universitas Keio. Ia bahkan memperdalam segala hal tentang Marxisme sejak studi ke Inggris pada 1919 hingga jadi salah satu anggota pertama Partai Komunis Inggris Raya (CPGB) yang berdiri pada 31 Juli 1920.
Gerakan kiri mulai dibawa masuk ke tanah Jepang lewat pemuda-pemuda kiri lain: Watanabe Haruo, Taguchi Unzo, Maniwa Suekichi, dan Kyuichi Tokuda. Nama terakhir merupakan anggota Kongres Masyarakat Timur Jauh yang bertemu dengan Katayama di Irkutsk pada 21 Januari 1922. Mereka pula yang jadi perwakilan delegasi Jepang di Comintern.
“Mereka berdiskusi bertemu di Tokyo pada 15 Juli 1922 dan pertemuan itu dilaporkan ke Kongres Moskow. Comintern memberi jawaban agar mendirikan cabang partai. (Maka) 15 Juli 1922 diakui sebagai tanggal resmi lahirnya Partai Komunis Jepang,” ungkap pakar studi politik Jepang Robert A. Scalapino dalam The Japanese Communist Movement, 1920-1966.
Baca juga: Tomegoro Yoshizumi, Intel Negeri Sakura
Di dalam pertemuan itu juga ditetapkan tujuh anggota komite pusat. Di antara mereka, terpilihlah Katsuzō ‘Kanson’ Arahata sebagai ketua komite pusatnya. Adapun Sakai Toshihiko menduduki kursi ketua eksekutif yang keduanya berasal dari kalangan sosialis.
“Pergerakan awal ini merupakan ‘produk’ bersama antara elemen-elemen (tokoh) dari luar negeri dan domestik yang sama-sama berlatarbelakang pelajar. Menariknya di partai yang masih kecil itu ideologi tokoh-tokohnya bervariasi dan afiliasi personal menambah kompleksitasnya. Perkembangan Leninis-Marxis masih butuh waktu karena latar belakang beberapa pemimpinnya yang cenderung sosialis-demokratis dan anarko-sindikalis,” imbuhnya.
Namun aksi protes di Universitas Waseda terhadap kebijakan militer pada Mei 1923 membuat sejumlah kader dan simpatisan PKJ diburu. Arahata sendiri melarikan diri ke Vladivostok. Para kader komunis serta para pemuda sosialis dari partai kiri lainnya turut jadi korban penangkapan dan pembunuhan aparat Jepang pasca-Gempa Kanto pada September 1923.
PKJ pun didera kevakuman dan lebih runyam ketika Parlemen Jepang yang merasa komunisme dan sosialisme sebagai ancaman berbahaya bagi pemerintahan Kekaisaran Taishō (Kaisar Yoshihito, red.), mengesahkan atau Undang-Undang (UU) Ketenteraman dan Ketertiban (Chian iji ho) pada 22 April 1925. Selain resmi melarang komunisme dan sosialisme, UU ini juga memberi kewenangan bagi Tokubetsu Kōtō Keisatsu/Tokkō, badan kepolisian politik yang mirip Politieke Inlichtingen Dienst (PID) di Hindia Belanda, untuk memata-matai setiap kegiatan kiri hingga mempersekusi dan menangkapi para tersangkanya.
Tercatat lebih dari 70 ribu orang terduga sosialis dan komunis dibui tanpa pengadilan hingga berakhirnya Perang Dunia II pada 1945. Beberapa dari mereka adalah pelarian komunis dan orang-orang kiri lain yang sempat membentuk wadah baru, Nihon Rōdō Kumiai Hyōgikai atau Dewan Serikat Buruh Jepang.
“Hyōgikai dibentuk pada 25 Mei 1925 yang jadi kendaraan politik bagi partai komunis. Selama periode ini beberapa partai proletariat juga lahir (Partai Petani Jepang, Partai Buruh-Tani Jepang, Partai Sosial Demokratik yang bahkan mendapat tujuh kursi dalam Pemilu 1928, walaupun kemudian insiden persekusi pada 15 Maret (1928) oleh pemerintah berujung penyiksaan dan pemenjaraan 1.200 anggota dan pemimpinnya, menyebabkan Hyōgikai dibubarkan,” sambung Scalapino.
Baca juga: Habis Gempa Terbitlah Genosida
Keadaan baru berubah drastis pasca-Jepang kalah Perang Pasifik (1941-1945). Pada 4 Oktober 1945, Amerika Serikat yang memegang pemerintahan pendudukan militer Jepang membebaskan semua tahanan politik (tapol), termasuk para tokoh komunisnya, seiring UU Ketenteraman dan Ketertiban di atas sudah tak lagi berlaku per 15 Oktober 1945.
Para eks-PKJ pun mulai berkonsolidasi lagi lewat arahan Nosaka yang kembali pada 1946 usai 14 tahun hidup sebagai eksil. Sampai April 1950, PKJ tercatat memiliki sekira 100 ribu anggota, ditambah sekitar 1,5 juta orang anggota serikat buruh Sansubetsu yang jadi underbouw PKJ.
“Dengan dibebaskannya para tapol pada Oktober 1945, PKJ dihidupkan kembali oleh Tokuda Kyūichi dan Shiga Yoshio dan untuk pertamakalinya menjadi parpol yang legal. Di bawah kepemimpinan Nosaka sejak 1946, PKJ memainkan peran memotori aksi-aksi protes dan gerakan buruh,” ungkap Jane Hunter dalam Concise Dictionary of Modern Japanese History.
Baca juga: Kasel Amerika Menghabisi Ratusan Pelajar Jepang
Besarnya jumlah simpatisan itu tak lain berasal dari populasi buruh Korea yang jadi korban diskriminasi. Hal itu turut berdampak pada Pemilu 1949, di mana PKJ mendapat 35 kursi di parlemen. Namun puncak kegemilangan politik PKJ tak bertahan lama.
“Seiring naiknya tensi Perang Dingin terjadi peralihan haluan politik internasional, otoritas pendudukan Sekutu dan pemerintah Jepang justru melakukan Red Purge (pembersihan merah) dengan memecat puluhan ribu komunis dan atau terduga komunis di berbagai posisi pemerintahan, perusahaan-perusahaan swasta, dan posisi tenaga pengajar di sekolah-sekolah. Pembersihan itu makin intens saat pecahnya Perang Korea (1950-1953),” kata Nick Kapur dalam Japan at the Crossroads: Conflict and Compromise after Anpo.
Keputusan PKJ untuk tidak melakukan perlawanan dengan kekerasan atau revolusi juga mendapat kecaman dari Cominform atau badan koordinasi partai-partai komunis Marxis-Leninis. Tetapi PKJ bergeming dengan sikapnya lewat aksi-aksi protes damai, termasuk saat menggerakkan aksi besar-besaran dalam Protes Anpo (1959-1960) di depan Parlemen Jepang dan Kedutaan Amerika di Tokyo.
“Aksi protes terbesar dalam sejarah Jepang ini menentang ratifikasi Treaty of Mutual Cooperation and Security between the United States and Japan terkait penempatan basis-basis militer Amerika di Jepang,” lanjutnya.
Seiring Protes Anpo, di internal PKJ pun mulai terpantik perpecahan lama dua faksi berbeda latar belakang dan visi dalam menentang kapitalisme Jepang: Kōza Ha (Faksi Akademisi dan Pelajar) pimpinan Kenji Miyamoto yang punya visi revolusi demokratis dan Faksi Rōnō Ha (Faksi Buruh-Tani) pimpinan Shōjirō Kasuga dengan visi revolusi sosial.
“Di pengujung Protes Anpo, Faksi Kōza Ha yang berhasil dominan seiring pembersihan tokoh-tokoh Rōnō Ha di internal partai. Faksi Kōza Ha tetap mendapat paling banyak dukungan karena imej aksi protes damai dan positif. Miyamoto sendiri berhasil memimpin partai dalam waktu lama hingga 1982,” tambah Kapur.
Baca juga: Ulah Komunis Jepang di Kuala Lumpur
Dalam kepemimpinan Miyamoto pula PKJ menyatakan diri tak lagi jadi underbouw Uni Soviet. Pun PKJ enggan berpihak saat terjadi putus relasi antara petinggi komunis Uni Soviet dan China.
PKJ punya visi dan program sendiri dalam mengembangkan ideologi Marxisme-Leninisme dengan arah kebijakan sosialisme lewat pendekatan saintifik. Karena sudah menyatakan “berdaulat” dari komunisme Uni Soviet, PKJ pun tak ikut terdampak ketika Uni Soviet runtuh pada 1991 dan tetap punya massa sekira 250 ribu anggota pada 2024.
“Sejak 1976 dalam kongres partai ke-13, JCP mengadopsi Manifesto untuk Kebebasan dan Demokrasi yang jadi landasan kebijakan sosialisme Jepang. Manifesto yang juga sejak jauh-jauh hari mengkritik haluan politik Uni Soviet, China, dan negara-negara komunis Eropa sebelum hancur. Bagi JCP, revolusi sosial pada 1917 oleh (Vladimir) Lenin adalah revolusi yang tepat dan bernilai tapi dicederai kegagakan Stalin dalam mendistorsi haluan Leninis dan (Leonid) Brezhnev melanjutkan kegagalan itu,” tukas Ian Neary dalam War, Revolution and Japan.
Baca juga: Aktivis Kiri Malaysia Diciduk, Kedutaan China Digeruduk