Pembunuhan PM Jepang dalam Lintasan Sejarah
Tak hanya golongan militer, beberapa sipil pernah nekat menghabisi nyawa perdana menteri Jepang.
DI atas kotak merah penyangga kaki, Shinzo Abe berapi-api saat berorasi dekat Stasiun Keretaapi Yamato-Saidaiji di barat kota Nara, Jepang, Jumat (8/7/2022) pagi waktu setempat. Abe sedang memberikan dukungan kepada koleganya di Jimintō (Partai Liberal Demokratik (LDP) jelang Pemilu Dewan Majelis Tinggi 10 Juli 2022 mendatang.
Di tengah orasi Abe, warga yang berkerumun tiba-tiba dikejutkan suara tembakan. Dari beberapa rekaman kamera amatir, tampak eks perdana menteri Jepang terlama (2012-2020) itu sudah tumbang dengan bercak darah di kemeja putihnya.
Abe yang terluka dalam kondisi kritis segera dibawa ke Rumahsakit Universitas Nara dengan helikopter. Namun nyawanya tak tertolong. Dia meninggal di usia 67 tahun.
Baca juga: Di Balik Kelanggengan Pemerintahan Shinzo Abe
Beberapa pengawal berjas hitam terlihat menciduk pelaku berkacamata dan berkaos kelabu. Pelaku menembak Abe dengan pistol rakitan.
Otoritas keamanan Jepang menyebutkan, pelaku bernama Tetsuya Yamagami (41), warga Nara dan mantan anggota Jieitai (Pasukan Bela Diri Jepang). Motif pembunuhan ditengarai karena ketidakpuasan Yamagami terhadap pemerintahan Abe semasa berkuasa.
“Ini tindakan barbar selama kampanye pemilu yang merupakan fondasi demokrasi dan tindakan ini sungguh tak termaafkan. Saya mengutuk keras aksi ini,” kata PM Jepang Fumio Kishida, disitat HKFP, Jumat (8/7/2022).
Baca juga: Teror di Masjid Selandia Baru
Membidik Nyawa Perdana Menteri
Bukan alasan bila PM Kishida menyebutnya tindakan barbar lantaran aksi-aksi kekerasan fatal terhadap pejabat tinggi negara tak pernah terjadi di negeri “Matahari Terbit” pascaperang. Terlebih aksinya dilakukan warga sipil.
Lembaran sejarah Jepang mencatat, setidaknya enam perdana menteri meregang nyawa lewat pembunuhan pada masa transisi era Taishō (1912-1926) dan era Shōwa (1926-1989). Dua di antaranya tewas di tangan sipil dengan motif ketidakpuasan terhadap rezim penguasa.
Takashi Hara, perdana menteri periode 1918-1921, contohnya. Politikus kelahiran Motomiya, 15 Maret 1856 itu juga dibunuh di stasiun keretaapi, di ibukota Tokyo, pada 4 November 1921.
Baca juga: Teror di Negeri Matador
Keturunan keluarga samurai dari klan Nanbu itu mendaki karier politiknya di partai konservatif Seiyūkai yang didirikan sesama eks-samurai, Hirobumi Itō. Setelah duduk di kursi parlemen di awal abad ke-20 mewakili Prefektur Iwate, Hara beberapa kali menduduki jabatan menteri. Hara lantas memijakkan kaki di jabatan tertinggi, sebagai perdana menteri, menggantikan PM Terauchi Masatake yang dijatuhkan usai insiden Kome Sōdō atau Kerusuhan Beras, 11 Agustus 1918.
Sejarawan Universitas Sheffield, Inggris, John Crump dalam The Anarchist Movement in Japan, 1906-1996 mencatat, peristiwa Kome Sōdō dipicu meroketnya harga beras di perkotaan yang sama sekali tak dinikmati para petani. Panen padi petani di pedesaan justru dihargai rendah oleh para tengkulak yang “didukung” regulasi pemerintah.
Gejala kekacauan ekonomi yang menjadi imbasnya mulai terasa sejak 23 Juli 1918, di mana skala protes yang disertai aksi kekerasan dan penjarahan massal kian membesar bak bola salju. Disulut oleh reaksi aparat kepolisian yang represif, benih anarkisme itu berubah menjadi kerusuhan di beberapa kota besar, seperti Uozu dan Kobe, pada 11 Agustus 1918.
“Kekacauan itu menjalar sampai ke 30 provinsi dan memaksa PM Masatake mundur pada September. Penggantinya, Hara Takashi, sesegera mungkin memadamkan kerusuhan-kerusuhan itu. Aparat menangkapi sekitar 10 ribu orang dan beberapa di antaranya bahkan dieksekusi,” ungkap sejarawan Texas Christian University Profesor Spencer C. Tucker dalam World War I: The Definitive Encyclopedia and Document Collection.
Baca juga: Aksi Para Sailor untuk Emperor
Hara resmi menjabat perdana menteri – merangkap menteri angkatan laut– pada 28 September 1918. Ia merupakan perdana menteri pertama dari kalangan sipil. Latar belakangnya itu membuatnya lebih berhati-hati saat menetapkan sejumlah kebijakan yang berpotensi memperbanyak musuh politik baik dari kalangan konservatif, birokrat, militer, dan kaum ultranasionalis.
Pemerintahan Hara cukup dikenal di luar Jepang. Di masanya, Jepang jadi salah satu pendiri Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Hara juga menjadi gubernur jenderal Korea usai meredam Pemberontakan Samil.
Namun, diam-diam kaum konservatif dan militer memusuhinya. Terutama gegara sikap Hara yang anti-pembaruan undang-undang hak suara dalam pemilu.
Di kalangan rakyat juga muncul keresahan gegara “perkawinan” politik dan bisnis yang melahirkan struktur koruptif. Christopher Harding dalam Japan Story: In Search of a Nation, 1850 to the Present mengungkapkan, partainya Hara dan partai oposisi, Minseitō, sama-sama diongkosi konglomerat-konglomerat besar Mitsui dan Mitsubishi demi memuluskan kepentingan-kepentingan tertentu.
Baca juga: Toko Jepang sebagai Mata-Mata
Skandal-skandal korupsi pun mencuat. Akibatnya, menurut Richard H. Mitchell dalam Political Bribery in Japan, beberapa akvitis sipil berbuat nekat. Asahi Heigo, seorang pengacara nasionalis, nekat membunuh Zenjirō Yasuda, konglomerat terkaya Jepang pada masanya, pada 28 September 1921.
Hal serupa terjadi pada PM Hara. Pada 4 November malam ketika Hara sedang menunggu keretaapi di peron Stasiun Tokyo (beberapa sumber menyebut di dekat stasiun) untuk berangkat ke konferensi partai di Kyoto, seorang petugas wesel bernama Ken’ichi Nakaoka mengendap-endap mendekatinya. Hara lalu ditikam dan tewas di tempat.
“Di antara beberapa motif Nakaoka memberi alasan tentang pembunuhannya karena Hara tidak tegas menghukum para pejabat pemerintah yang terlibat dalam banyak kasus suap,” tulis Mitchell.
Di tempat yang sama, Stasiun Tokyo, terjadi hal serupa sembilan tahun kemudian. Adalah Osachi Hamaguchi yang jadi korban percobaan pembunuhan oleh seorang aktivis dari kelompok ultranasionalis Aikoku-sha. Kelompok tersebut kala itu diketuai politikus Partai Seiyūkai, Heikichi Ogawa.
Hamaguchi yang lahir di Nagaoka, 1 April 1870, merupakan politikus sipil yang meretas karier politiknya bersama partai liberalis Minseitō. Kariernya dimulai dari kursi parlemen pada 1915. Ditunjuk jadi menteri keuangan dalam kabinet PM Takaaki Katō (1924) dan PM Reijirō Wakatsuki (1926), di kabinet yang terakhir Hamaguchi juga merangkap menteri dalam negeri.
Baca juga: Kudeta Perwira Muda Negeri Sakura
Hamaguchi lalu “bertarung” untuk menduduki kursi PM. Di masa itu ia acap mengampanyekan kebijakan-kebijakan penghematan guna meminimalisir defisit perdagangan Jepang via film-iklan layanan masyarakat.
Kesempatan Hamaguchi menduduki kursi PM tiba pada Juni 1929 kala kabinet PM Giichi Tanaka jatuh akibat krisis di Manchuria sejak 1928. Diungkapkan William Finch Morton dalam Tanaka Giichi and Japan’s China Policy, krisis itu dipicu konflik antara Tentara Kwantung dan kaum pergerakan ultranasionalis, kegagalan merebut Manchuria –wilayah “boneka” Jepang di Republik China, dan keterlibatan perwira-perwira Tentara Kwantung dalam plot pembunuhan Panglima Manchuria Zhang Zuolin.
Hamaguchi yang saat itu menjabat sebagai ketua umum Minseitō, mengisi kursi yang ditinggalkan PM Tanaka. Salah satu prioritas pemerintahannya adalah pemulihan dan pemeliharaan hubungan luar negeri Jepang.
“Hamaguchi membentuk pemerintahannya pada 2 Juli 1929. Di antara 10 program kabinetnya adalah pemikiran diplomasi baru terhadap Cina, penghematan persenjataan, serta pemulihan perekonomian dan sosial. Intinya, program-program itu bertujuan untuk bisa bergabung dengan (konferensi) Washington-Genoa,” ungkap Masazumi Wakatabe dalam Japan’s Great Stagnation and Abenomics: Lessons for the World.
Baca juga: Kudeta Seumur Jagung di Istana Kaisar Jepang
Tetapi Hamaguchi tidak lama menjabat. Pada 14 November 1930 pagi, di peron Stasiun Tokyo, Hamaguchi yang tengah menunggu kedatangan keretaapi didekati Tomeo Sagoya, simpatisan kelompok ultranasionalis Aikoku-sha. Dalam sekejap, Hamaguchi roboh diterjang timah panas yang ditembakkan Sagoya dari pistol Mausernya.
Hamaguchi yang masih bernafas segera dilarikan ke rumahsakit. Sagoya kadung diciduk aparat keamanan sebelum bisa menghabisi nyawa sang PM.
Luka tembak memaksa Hamaguchi menginap di rumahsakit selama beberapa bulan. Lukanya tak pernah sembuh 100 persen meski kemudian (Maret 1931) Hamaguchi kembali memenangkan kursi PM di pemilu. Infeksi akibat bakteri dari penembakannya itu kemudian menyebabkannya jatuh sakit lagi dan dinyatakan meninggal pada 26 Agustus 1931.
Sagoya yang saat itu baru berusia 21 tahun dijatuhi vonis hukuman mati. Hukumannya kemudian diubah menjadi penjara seumur hidup.
“Sagoya hanyalah pemuda bersumbu pendek seperti pelaku pembunuhan PM Hara pada 1921. Sagoya hanya sebagai ‘alat’ bagi tiga tersangka lain. Salah satunya Ainosuke Iwata, presiden Aikoku-sha yang sebelumnya dipenjara 12 tahun atas pembunuhan pejabat kementerian luar negeri Moritaro Abe pada 1914; Yoshikatsu Matsuki, anggota kelompok ekstrem yang melatih Sagoya menembak dengan pistol Mauser; dan Iwao Yamamoto, wakil presiden Aikoku-sha,” tulis Malcolm Duncan Kennedy dalam The Estrangement of Great Britain and Japan, 1917-35.
Motif pembunuhan oleh para anggota kelompok ekstrem kanan itu adalah politis. Mereka penentang paling keras kebijakan PM Hamaguchi yang meratifikasi Traktat Angkatan Laut London. Traktat ini hanya membatasi postur Angkatan Laut Inggris, Amerika Serikat, dan Jerman namun mengurangi postur Angkatan Laut Jepang sampai 70 persen.
Baca juga: Suara Titisan Dewa Mengakhiri Perang Dunia
Tambahkan komentar
Belum ada komentar