Kala Aktivis Malaysia Diciduk dan Kedutaan China Digeruduk
Tidak hanya kader dan simpatisan PKI, para pemuda Malaysia dan staf Kedutaan RRC jadi sasaran amuk massa pasca-Peristiwa 1965.
KEADAAN negara, utamanya di ibukota Jakarta, tak pernah sama lagi usai Peristiwa 30 September 1965. PKI beserta kader-kadernya hingga orang-orang yang dituduh terlibat aktivitas kekiri-kirian jadi sasaran amuk massa anti-komunis. Tak terkecuali para aktivis negeri jiran dan para staf Kedutaan Besar Republik Rakyat China (RRC).
Hal itu dialami Eu Chooi Yip, Abdullah Sudin, dan Ibrahim Mohammad beserta istrinya yang aktivis perempuan Malaysia keturunan Minangkabau, Shamsiah Fakeh. Keempatnya merupakan aktivis Malayan National Liberation League (MNLL), onderbouw Malayan Communist Party (MCP).
Keempatnya aktif di Jakarta sejak Februari 1965. Setelah membuka kantor perwakilan resmi di Jakarta atas izin pemerintah, mereka menjalankan aktivitas dibantu Suroso, kader Partai Komunis Indonesia (PKI) yang jadi penghubung antara MNLL dan CC PKI.
“MCP punya kantong-kantong kekuatan di Semenanjung Malaya dan Kalimantan Utara. Sayap organisasinya, MNLL, membuka kantor perwakilannya di Jakarta pada (Juni) 1965 walau kepemimpinan MCP sendiri belum berani terang-terangan blak-blakan menyepakati persamaan misi dengan Indonesia dalam menjatuhkan pemerintahan (federasi) Malaysia,” tulis Robert Yates dalam Understanding ASEAN’s Role in Asia-Pacific Order.
Baca juga: Peristiwa G30S 1965 di Mata Saudara Tua
Tetapi baru dua bulan berkantor di Jakarta, para aktivis Malaysia itu sudah mencium gelagat buruk. Abdullah Sudin, ketua perwakilan MNLL, mulai mendapat informasi dari berita-berita yang diikutinya bahwa situasi Jakarta mulai panas akibat perseteruan Presiden Sukarno dan beberapa golongan militer pada Agustus 1965.
“Abdullah Sudin berkata kepada Ibrahim, ‘Ada kabar angin menyatakan pihak tentara akan bertindak.’ Shamsiah di sebelah Ibrahim mencelah, ‘Bertindak yang bagaimana?’ Abdullah Sudin menjawab, ‘Aku pun tidak pasti. Menurut berita itu, pihak tentara sudah menubuhkan Dewan Jenderal yang kontra-revolusioner. Mereka menentang kuasa Presiden,” ungkap Azzah Abdul Rahman dalam Shamsiah Fakeh: Pejuang, Pemimpin dan Perempuan.
Kekhawatiran mereka mencapai klimaksnya saat terjadi penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal Angkatan Darat oleh Gerakan 30 September (G30S). MNLL pun turut terimbas. Pada 17 November 1965, kantor mereka disatroni militer. Selain digeledah, sejumlah properti dan dokumen-dokumen organisasi mereka dijarah. Mereka berempat ikut ditahan.
Dalam memoarnya, From AWAS to 10th Regiment, Shamsiah menguraikan, pada tengah malam 17 November 1965 mereka langsung digelandang ke markas dinas intelijen untuk diinterogasi. Walau sudah menjelaskan bahwa mereka adalah delegasi organisasi Malaya yang diizinkan pemerintah dan tak terlibat G30S, Shamsiah dkk. tetap disekap selama berbulan-bulan.
“Penjaranya merupakan bilik stor berpintu besi. Markas dijaga oleh anggota Komando Tentara Laut Indonesia yang diketuai Brigadier Sugomo. Sebagai makan siang dan sore hanya diberikan sebungkus nasi lemak,” kenang Shamsiah dalam memoarnya.
Baca juga: Sekelumit Kisah Mahathir Mohamad
Kabar ditahannya keempat aktivis kiri Malaysia itu baru tersiar lewat laporan News China New Agency (NCNA), kantor berita pelat merah RRC sebelum Xinhua, pada 27 April 1966. Penangkapan itu diprotes karena dianggap ilegal oleh Chinese Committee for Afro-Asian Solidarity.
“Sudah lima bulan militer reaksioner sayap kanan Indonesia menahan anggota perwakilan (MNLL). Tindakan fasis mereka terhadap kemajuan perjuangan anti-imperialisme menunjukkan kekejaman mereka sebagai agen imperialis Amerika Serikat. Tindakan-tindakan ini bertentangan dengan kepentingan bersama masyarakat Asia dan Afrika terhadap imperialisme, serta bertentangan dengan keinginan rakyat Indonesia lewat kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah Indonesia sendiri,” demikian bunyi protes Chinese Committee for Afro-Asian Solidarity yang dikutip NCNA.
Tekanan untuk membebaskan keempatnya baru berhasil pada Desember 1967 lewat bantuan pejabat Kedutaan Vietnam. Mereka pun dideportasi dan dilarang masuk wilayah Indonesia lagi. Setelah dibebaskan, mereka berlindung terlebih dulu di Kedutaan Vietnam sebelum diterbangkan ke Hanoi dan dilanjutkan ke Peking, China.
Baca juga: Lima Versi Pelaku Peristiwa G30S
Kedutaan China Dibobol Massa
Nasib utusan-utusan diplomatik RRC tak kalah sial. Kampanye anti-China pasca-Peristiwa 1965 menggema dan digalakkan pihak militer dan pejabat sipil Indonesia. Pemerintah China dianggap turut terlibat. Imbasnya, kantor-kantor perwakilan pemerintah RRC jadi sasaran amuk massa.
Massa yang dimaksud antara lain Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Pemuda Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Pengemudi Becak Indonesia (KAPBI), dan Front Pancasila (FP). FP menaungi masyarakat Tionghoa yang menetapkan kesetiaan anti-komunis. Mereka diorganisir untuk menyerbu kantor-kantor perwakilan RRC pada medio Maret 1966.
“Mereka menuntut agar seluruh staf diplomatik dan wartawan RRT (RRC, red.) diusir dari Indonesia. Beberapa hari kemudian bungalow Kedutaan Besar RRT di Cipayung diambil-alih dan dijarah. Demikian juga pada 25 Maret gedung Konsulat Jenderal di Jalan Kramat Raya, Jakarta diserbu dan dijarah anggota KAPPI yang didukung beberapa orang tentara bersenjata. Malahan beberapa staf konsulat diinterogasi di markas tentara,” Tulis Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik.
Baca juga: Melumpuhkan Gerombolan G30S tanpa Peluru
Pada 29 Maret, kantor konsulat RRC di Medan dibobol. Sekolah-sekolah Tionghoa di Jakarta, Makassar, dan Sumatera Selatan juga ditutup. Puncaknya adalah penggerudukan Kedutaan Besar China di Jakarta pada 15 April 1966. Massa penggeruduk yang diangkut truk-truk militer dan kendaraan-kendaraan lapis baja sebelum menyerang diorganisir di Lapangan Banteng paginya.
“Di Lapangan Banteng, Jakarta turut berkumpul 50 ribu orang Tionghoa untuk mendengarkan sambutan tertulis Menteri Luar Negeri Adam Malik. Rapat Umum kemudian mengeluarkan pernyataan yang menegaskan kesetiaan mereka kepada Indonesia dan mengutuk intervensi RRT. Seusai Rapat Umum sebagian besar peserta menuju Kedutaan Besar RRT,” lanjut Benny.
Menurut laporan tertulis CIA (Dinas Intelijen Amerika) dalam Daily Report: Foreign Radio Broadcasts bertanggal 18 April 1966, ribuan massa perusuh membobol pagar dan gedung Kedutaan China dengan dikawal aparat militer. Penyerangan dengan benda-benda tumpul dan senjata api pun mengakibatkan beberapa diplomat China terluka. Di antaranya, Sekretaris I kedutaan Lu Tzu-po, Wakil Atase Militer Shih Hsin-jen, dan anggota staf kedutaan Chao Hsiao-shou. Sementara Duta Besar China untuk RI Yao Cung-ming sudah keluar dari Indonesia sejak 11 April.
“Massa menggunakan truk berbobot 10 ton untuk mendobrak gerbang depan dan membobol komplek kedutaan. Bendera China diturunkan dari tiangnya, dihancurkan, dan diganti bendera dwiwarna diiringi lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’. Perabotan-perabotan kedutaan dilempar ke pekarangan dan dibakar. Massa juga menjarah dokumen-dokumen penting untuk diserahkan ke pihak berwenang,” demikian bunyai laporan CIA yang dikutip dari Antara, 16 April 1966.
Baca juga: Kontestasi Dua Narasi dalam Peristiwa 1965
Pihak militer berdalih, massa yang berdemonstrasi tiba-tiba bereaksi karena adanya letusan senjata mesin dari dalam kedutaan yang melukai tiga demonstran. Pejabat Dubes China Yao Teng-shan kebetulan tidak ada di lokasi. Setelah tahu kedutaannya digeruduk, Yao menghadap Menlu Adam Malik dan melayangkan protes.
“Akan tetapi Malik menolak untuk menjamu dan meminta Suwito (Kusumowidagdo, wamenlu, red.) menerima Plt. Dubes China. Yao Teng-shan memperingatkan bahwa pemerintah Indonesia akan menerima konsekuensi dan bertanggungjawab penuh terhadap insiden itu,” demikian laporan NCNA, 16 April 1966.
Peking pun bereaksi lantaran tak terima kedutaannya digeruduk. Wakil Menteri Luar Negeri China Han Nien-lung memanggil Duta Besar RI untuk China Djawoto. Pemerintah China lantas mengirimkan nota protes ke Kementerian Luar Negeri Indonesia karena mencederai norma-norma hubungan internasional dan kekebalan diplomatik berdasarkan Konvensi Wina 1961.
Publik negeri Tirai Bambu itu turut bereaksi. Suratkabar People’s Daily pada 16 April 1966 bahkan mengeluarkan editorial bertajuk “Kebiadaban Fasis Berskala Besar”.
“Kami memperingatkan golongan reaksioner Indonesia bahwa rakyat China takkan terintimidasi. Kami saja tidak pernah takut akan isolasi politik dan blokade ekonomi imperialis Amerika, apalagi sekelompok preman seperti kalian! Semakin kalian menentang China, semakin menampakkan wujud asli kalian. Militer sayap kanan Indonesia telah menyeret negeri mereka sendiri ke dalam pertumpahan darah dengan kampanye anti-China mereka,” demikian bunyi potongan editorial tersebut.
Klimaks protes pemerintah China terjadi pada Mei 1966 dengan mengevakuasi dan menutup sementara kedutaan mereka di Jakarta –dan dibalas pemerintahan Presiden Soeharto dengan mempersonagratakan Plt. Dubes Yao Teng-shan dan Konsul Jenderal Xu Ren pada 4 April 1967. Media massa China ikut memperkeruh suasana dengan mengompori rakyatnya. Menurut Yang Jisheng dalam The World Turned Upside Down, Kedutaan Besar RI di Peking gantian jadi sasaran penggerudukan dan diambil-alih 500 ribu massa antara 24-28 April 1967.
Akibatnya, pemerintah Indonesia memanggil pulang para stafnya dan menutup kedutaannya di Peking pada awal Oktober 1967. Hhubungan diplomatik RI-RRC pun dibekukan hingga pemulihan hubungan bilateral pada 27 September 1990 mencairkannya kembali.
Baca juga: Peliknya Rekonsiliasi Peristiwa 1965
Tambahkan komentar
Belum ada komentar