Peliknya Rekonsiliasi Peristiwa 1965
Kontestasi dua narasi tentang Peristiwa 1965 yang tak kunjung usai masih jadi penghalang besar untuk rekonsiliasi. Butuh kebesaran hati untuk meneladani rekonsiliasi di Jerman, Guatemala, atau Afrika Selatan.
SAMBIL sesekali menyeruput teh di cangkir yang terletak di meja makan, Amelia Yani, putri pahlawan revolusi Jenderal Ahmad Yani, dengan santai berkisah A-Z perihal Peristiwa 1965 kala ditemui Historia di Museum Sasmitaloka Pahlawan Revolusi Jenderal Ahmad Yani pada suatu hari di bulan Juni 2015. Meja makan yang digunakan merupakan meja yang pernah dipakai Yani semasa hidup.
Ada satu kisah menarik yang terlontar dari mulut mantan Duta Besar RI untuk Bosnia-Herzegovina itu. Yakni, cerita tentang rekonsiliasi pribadi ibunya (istri Yani), Yayuk Ruliah Sutodiwirjo.
Dituturkan Amelia, sejak peristiwa kelam 1 Oktober itu ia dan keluarganya tak pernah lagi meninggali rumah yang jadi tempat kejadian pembunuhan ayahnya yang terletak di Jalan Lembang D58, Menteng, Jakarta Pusat. Setelah rumah itu dijadikan museum oleh Jenderal Soeharto pada 1966, keluarga memilih membeli rumah yang terletak berseberangan dengan rumah mereka.
Baca juga: Di Balik Patung Jenderal Ahmad Yani
Suatu ketika, Yayuk, seperti dikisahkan Amelia, beberapakali melihat sejumlah tahanan PKI yang digiring dengan truk dari penjara ke rumahnya alias museum itu. Mereka acap dipekerjakan untuk pekerjaan bersih-bersih di seantero rumah.
“Dulu itu para tahanan PKI setiap berapa hari sepekan datang ke rumah lama kita. Mereka membersihkan rumput, halaman sekitar. Ibu yang melihat itu mengambilkan banyak piring. Diambilnya nasi, lauk, dan teh manis. Para tahanan itu makan dengan lahap walau masih takut-takut sama penjaganya. Dari situ saya tahu bahwa ibu sebenarnya sudah memaafkan. Sudah menjalankan rekonsiliasi,” ujar Amelia.
Penggalan kisah itu menggambarkan bahwa beberapa pihak dari keluarga korban G30S ada yang sudah berekonsiliasi secara pribadi. Termasuk Amelia, yang masih menyempatkan diri untuk silaturahim dengan para anak atau keluarga tokoh-tokoh PKI, seperti Ilham Aidit, lewat Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB).
Rekonsiliasi serupa juga ditemukan Grace Leksana, peneliti Peristiwa 1965 dari Universitas Leiden, di akar rumput kala menjalankan riset untuk disertasinya di Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang. Disertasi bertajuk “Embedded Remembering: Memory Culture of 1965 Violance in East Java’s Agrarian Society” itu mengungkap memori kolektif tentang Peristiwa 1965 di pelosok desa di selatan Malang dengan pendekatan antropologis.
“Ketika saya melakukan wawancara, ada seorang hansip yang di tahun-tahun itu dia diminta tentara untuk membantu operasi penggerudukan, pembersihan. Dia sendiri cerita kehilangan banyak orang di keluarganya. Tapi di sisi lain, dia bersikeras kalau tidak begitu, desa ini tidak akan aman, tidak akan pernah maju, tidak akan pernah modern. Jadi ada semacam narasi yang ditanamkan secara overlap. Itu salah satu contoh normalisasi (terhadap kekerasan 1965) di tingkat pedesaan,” tutur Grace dalam Dialog Sejarah bertajuk “1965: Sejarah yang Dikubur” via daring Youtube Historia, Selasa (29/9/2020).
“Ada lagi yang saya wawancarai, ada lontaran semacam: ‘Iya, mereka bilang PKI itu yang salah tapi yang saya lihat yang ditangkapi bukan orang-orang PKI.’ Tetapi setelah itu mereka tetap hidup berdampingan. Padahal yang melakukan tetangganya sendiri, setelah tentara masuk ke desa itu. Jadi itu hanya persoalan bagaimana memahami rekonsiliasi dalam konteks-konteks masyarakat yang hidup berdampingan antara pelaku dan korban,” tambahnya.
Baca juga: Profil Pahlawan Revolusi: Ahmad Yani, Jenderal Brilian Pilihan Sukarno yang Berakhir Tragis
Contoh Rekonsiliasi Jerman, Guatemala dan Afsel
Apa yang dialami keluarga Yani dan penduduk desa yang jadi objek riset Grace menunjukkan rekonsiliasi bisa berjalan tanpa hambatan di dalam lingkup spasial kecil seiring perjalanan waktu. Namun, situasinya sangat berbeda jika lingkup spasialnya lebih besar, apalagi nasional.
Seperti halnya peneliti yang coba mengungkap kekerasan pasca-G30S, siapapun yang mengusung rekonsiliasi bisa dipersekusi dan dicap antek PKI. Fenomena tersebut disebabkan akar masalah, yakni kontestasi dua narasi perihal Peristiwa 1965, tidak kunjung menemukan titik temu. Padahal, wacana rekonsiliasi sempat diupayakan Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) dan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) lewat Simposium Nasional bertajuk “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” (18-19 April 2016).
Baca juga: Simposium 1965 Tanpa Kata Maaf
Namun, itikad baik pemerintah itu setelahnya justru dianggap isu kebangkitan PKI. Para penentangnya tak peduli simposium itu merupakan forum ilmiah. Mereka membuat pertemuan tandingan tak lama setelah itu meski bukan forum ilmiah.
“Kalau kita lihat di dunia akademik, kebenaran itu kan secara keilmuan ada koridornya, ada metodologinya. Yang diherankan mengapa tetap tidak bisa mengimbangi narasi resmi (G30S versi pemerintah). Terlepas dari semua kegilaan itu, banyak orang yang percaya dan itu jadi suatu penghalang buat membuka diri,” kata Pemimpin Redaksi Historia Bonnie Triyana.
“Kalau kita merujuk Pak (Gubernur Lemhanas Letjen) Agus Wijoyo, beliau juga korban. Ayahnya (Jenderal Sutoyo Siswomiharjo) dibunuh. Dia beriktikad baik tapi dia juga disebut jenderal PKI. Saya melihat ketidakseimbangannya (antara narasi G30S dan narasi kekerasan pasca-1965),” sambungnya.
Baca juga: Kontestasi Dua Narasi dalam Peristiwa 1965
Senada dengannya, Sejarawan John Roosa minyatakan bahwa sejatinya digelarnya simposium terkait 1965 itu sudah jadi satu langkah lebih maju. Terlebih, menurutnya, Agus Wijoyo sudah punya pandangan yang lebih luas terkait peristiwa 1965.
“Pandangannya sangat progresif. Dia bilang, ini sudah saatnya untuk bicara terbuka supaya kita tidak takut lagi pada masa lalu. Tapi kita lihat apa yang terjadi setelah simposium. Itu kegilaan. Itu dikatakan PKI punya beberapa juta anggota sekarang dan ketuanya Wahyu Setiaji. Saya ingin cari dia untuk wawancara kalau memang betul punya organisasi sebesar itu,” ujar sejarawan dari Universitas British of Columbia di Vancouver, Kanada itu.
Tanpa rekonsiliasi, kontestasi dua narasi tentang G30S itu akan lestari. Kontestasi itu tak berimbang karena narasi versi resmi yang monotafsir diformalkan pemerintahan Orde Baru lewat sejumlah saluran, seperti pendidikan, film, dan memorabilia. Sementara, narasi kekerasan pasca-1965 sekalipun disampaikan dalam koridor ilmiah, dilarang penyebarannya. Siapapun yang berani menyebarkannya langsung dicap simpatisan PKI dan bakal berurusan secara hukum. Akibatnya, hanya segelintir orang yang bisa mengaksesnya. Upaya rekonsiliasi dengan demikian masih bakal memakan waktu lama.
Fenomena tersebut mengakibatkan proses rekonsiliasi di Indonesia membutuhkan langkah berbeda dari sejumlah negara yang pernah melewati tahap rekonsiliasi. “Kalau kita lihat di Jerman tahun 1960-1970-an terjadi apa yang disebut historical stride. Para sejarawan bertarung di ruang publik dengan tulisan macam-macam, mempertahankan posisinya. Waktu itu kontestasinya terkait totalitarianisme dan fasisme. Di Indonesia, para sejarawan dari kampus, para peneliti melawan narasi yang sudah besar, awet, sehingga lagi-lagi enggak imbang,” sambung Bonnie.
“Ada banyak penafsiran tentang rekonsiliasi. Salah satunya rekonsiliasi secara kultural, artinya sing wis yo wis (yang sudah biarlah berlalu). Lupakan, kita sama-sama melangkah ke depan. Kedua, rekonsiliasi secara formal, artinya negara ikut peran, merujuk Afrika Selatan,” tambahnya.
Baca juga: Antara Robben dan Buru
Di Afrika Selatan (Afsel), Nelson Mandela yang keluar dari penjara setelah dibui 27 tahun, menjadi presiden lewat proses demokrasi empat tahun setelah bebas. Mandela lantas melakukan rekonsiliasi secara formal agar “hantu” Apartheid tak jadi penghalang buat kemajuan negerinya.
Namun, proses rekonsiliasi Afsel terlalu ideal. Dalam arti, korban kemudian menjadi penguasa sehingga proses rekonsiliasi secara formal amat dimungkinkan. Sementara di Indonesia, jangankan berkuasa, korban hingga kini masih terus dipersekusi dan didiskriminasi.
Contoh lain yang dirujuk Bonnie adalah Guatemala dengan La Comisión para el Esclarecimiento Histórico (Komisi Klarifikasi Sejarah) yang didirikan pada 1994. Dalam komisi itu, pemerintah Guatemala turut berperan aktif menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM selama perang sipil tahun 1962.
“Di Indonesia enggak. Kita biarkan perdebatan sejarah ini di publik sampai kita muntah. Atau sebenarnya kita masih bisa semangat untuk menyelesaikan menurut pengalaman negara-negara lain, seperti di Guatemala atau Afrika Selatan demi bisa move on,” lanjut Bonnie.
Baca juga: Pengungkapan Kebenaran Dulu, Baru Rekonsiliasi
Satu faktor yang jadi penghambat untuk rekonsiliasi itu, sebut Grace, adalah wacana soal permintaan maaf dari negara. Padahal menurutnya, rekonsiliasi tahap pendahulu tak perlu adanya wacana permintaan maaf yang masih sensitif di khalayak publik.
“Sebenarnya mungkin enggak usah muluk-muluk. Belum sampai pada permintaan maaf, atau belum pada membuat narasi-narasi (kekerasn 1965) yang informal menjadi formal, tapi sampai pada tahap membiarkan debat itu menjadi terbuka saja, itu sebenarnya hal paling mendasar yang harapannya di situ negara bisa berperan juga,” ujar Grace.
“Setidaknya pertama, membiarkan riset-riset tentang (peristiwa) 1965 didukung oleh negara seperti pembukaan arsip. Itu jadi modal awal buat kita membicarakan (masalah) ini lebih terbuka. Kedua, perlindungan supaya enggak digeruduk terus. Sedikit-sedikit ngomong ini, digeruduk. Diskusi buku ada saja keributan. Di situlah peran-peran yang lebih konkret sebelum kita bicara permintaan maaf atau segala macam. Inilah tahap awal di mana negara bisa berperan,” katanya.
Baca juga: Hapuskan Mitos untuk Rekonsiliasi
Lebih mendasar dari Grace, Roosa melontarkan solusi dengan berharap semua pihak berkenan membangun rasa kemanusiaannya lagi. Kekerasan, baik yang dialami para jenderal korban G30S maupun korban kekerasan 1965-1968, dalam perspektif kemanusiaan sama sekali tak bisa dibenarkan.
“Di Indonesia hukum harus dihargai dan dengan itu setiap warga negara Indonesia punya hak. Mereka enggak boleh diculik, dihilangkan paksa. Banyak terjadi di Aceh sampai Flores agar keluarga korban tidak mengetahui,” sambung penulis yang baru menerbitkan buku Buried Histories: The Anticommunist Massacres of 1965-1966 in Indonesia (2020) itu.
“Kita bisa mulai dengan upaya membantu keluarga yang mencari jenazah-jenazah saudara mereka yang hilang. Banyak sekali orang hilang pada 1965 sampai 1968 di Jawa Timur. Banyak mereka enggak tahu apa yang terjadi. Apakah saudara mereka dibunuh atau sempat lari dan selamatkan diri. Saya kira itu salah satu upaya yang bisa menunjukkan ke generasi Indonesia yang baru, di mana harkat manusia lebih tinggi,” tandas Roosa.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar