Antara Robben dan Buru
Yang kita butuhkan, mungkin, bukan Nelson Mandela tapi kemauan dan keberanian untuk menebus dosa masa lalu dengan berbagai cara yang bisa memenuhi rasa keadilan.
Pada waktu yang sama, di tempat yang berbeda, dua tahanan politik (tapol) menulis catatannya masing-masing. Seorang tapol yang berada nun di Afrika Selatan sana, ditahan karena perjuangannya melawan penindasan Apartheid. Sementara seorang tapol yang berada di Indonesia ditahan karena alasan yang tak pernah dia mengerti. Keduanya punya persepsi tersendiri terhadap penjara dan pemenjaraan. Keduanya bergulat dengan pikiran dan batinnya masing-masing.
Nelson Mandela yang didakwa atas serangkaian aksi sabotase dan tindakan makar terhadap rezim apartheid menulis bahwa penjara “adalah tempat yang ideal untuk belajar mengenal dirimu sendiri, untuk mencari secara terus menerus dan realistis tentang proses di dalam pikiran dan perasaanmu...”
Baca juga: Nelson Mandela Melawan dengan Olahraga
Sementara itu, Herry Sjuhairi, seorang tahahan politik yang ditangkap karena peristiwa 1 Oktober 1965 mengenang kembali pembuangannya di Pulau Buru dalam kata-kata yang pesimistis. “Yang paling banyak duka...duka selalu, yah namanya tahanan tak akan berbeda dengan seekor burung dalam sangkar, walau sangkar itu terbuat dari emas namun burung itu selalu ingin terbang bebas..bebas..jauh...”
Mungkin ini perbandingan yang tak seimbang. Nelson sadar betul akan resiko perjuangannya. Pemenjaraan, bahkan kematian bagian dari konsekuensi perjuangannya. “Saya mendambakan sebuah masyarakat yang bebas dan demokratis di mana semua orang hidup bersama dalam harmoni dan memiliki kesempatan yang setara. Inilah kesempurnaan yang saya harap bisa terus hidup dan dikembangkan. Kalau perlu, untuk hal itu saya siap untuk mati,” ujar Mandela di hadapan hakim yang mengadilinya, 20 April 1964.
Baca juga: Kecil di Digul Muda di Buru
Mandela punya kesempatan bicara di depan hakim pengadilan. Membela diri. Kendati pada akhirnya kuasa hakim apartheid yang tetap menentukan hukuman seumur hidup untuknya. Herry tak punya kesempatan seperti Mandela. Dia ditangkap dan tak pernah diadili. Pada tahun-tahun awal pemenjaraannya, dalam manuskrip yang ditulis tangannya sendiri, dia mengungkapkan kegundahannya. “Hei... ngeri juga orang tak bersalah dihukum dua tahun penjara,” kata dia.
Ketidakseimbangan keadaan itu yang membuat semakin jelas bahwa Afrika Selatan berbeda dengan di Indonesia. Ketika keluar penjara pada 1990, Mandela tetap sebagai pemimpin rakyatnya. Empat tahun kemudian terpilih sebagai presiden Afrika Selatan pertama yang berkulit hitam. Roda nasib berputar. Dengan kekuasaaan di tangannya, Mandela menghentikan konflik, menyelenggarakan rekonsiliasi dan berhasil mengatasi problem masa lalu Afrika Selatan yang terbelenggu apartheid.
Setelah melalui 14 tahun masa pemenjaraan, pada 1979 Herry dibebaskan dari Pulau Buru. Tak sepenuhnya bebas. Pada KTP-nya tertera label “ET” alias eks Tapol. Dia tak punya hak untuk dipilih dan tak mungkin punya pekerjaan karena dipastikan tak lolos penelitian khusus (litsus) bebas keterlibatan G30S/PKI walau dalam surat pembebasannya tertera kalimat tidak terbukti terlibat. Stigma negatif sebagai mantan tapol melekat erat. Ketika dia bebas, kekuasaan masih ada di tangan rezim yang memenjarakannya.
Herry tidak sendiri. Ada ribuan orang yang bernasib sama dengannya. Belum lagi mereka yang dihilangkan secara paksa, dibunuh semena-mena dan entah berapa banyak keluarga yang harus menanggung beban derita selama bertahun-tahun. Dan itu semua terjadi di negeri yang kabarnya berbudaya ketimuran sarat keramahan, bukan kemarahan.
Indonesia memang bukan Afrika Selatan. Dan kita tak punya Nelson Mandela di sini. Namun seandainya Nelson Mandela bernasib seperti Herry Sjuhairi pun, apa yang bisa dia buat? Keluar penjara tetap mengalami diskriminasi. Bebas dari penjara bukan sebagai pemimpin yang dielu-elukan rakyatnya dan kemudian dilantik jadi presiden, tapi tetap sebagai warga negara kelas dua yang hak-hak sipilnya dikebiri.
Yang kita butuhkan, mungkin, bukan Nelson Mandela tapi kemauan dan keberanian untuk menebus dosa masa lalu dengan berbagai cara yang bisa memenuhi rasa keadilan. Dan itu semestinya dimiliki oleh para pemimpin yang dihasilkan dalam alam demokrasi seperti hari-hari ini. Bukan sekadar mengganti nama jalan lantas bilang untuk rekonsiliasi. Orang Belanda bilang onzin!!
Tambahkan komentar
Belum ada komentar