top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Antara Robben dan Buru

Yang kita butuhkan, mungkin, bukan Nelson Mandela tapi kemauan dan keberanian untuk menebus dosa masa lalu dengan berbagai cara yang bisa memenuhi rasa keadilan.

6 Des 2013

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Nelson Mandela di bekas selnya di Pulau Robben.

Diperbarui: 25 Jul

PADA waktu yang sama, di tempat yang berbeda, dua tahanan politik (tapol) menulis catatannya masing-masing. Seorang tapol yang berada nun di Afrika Selatan sana, ditahan karena perjuangannya melawan penindasan Apartheid. Sementara seorang tapol yang berada di Indonesia ditahan karena alasan yang tak pernah dia mengerti. Keduanya punya persepsi tersendiri terhadap penjara dan pemenjaraan. Keduanya bergulat dengan pikiran dan batinnya masing-masing.


Nelson Mandela yang didakwa atas serangkaian aksi sabotase dan tindakan makar terhadap rezim apartheid menulis bahwa penjara “adalah tempat yang ideal untuk belajar mengenal dirimu sendiri, untuk mencari secara terus menerus dan realistis tentang proses di dalam pikiran dan perasaanmu...”


Sementara itu, Herry Sjuhairi, seorang tahahan politik yang ditangkap karena peristiwa 1 Oktober 1965 mengenang kembali pembuangannya di Pulau Buru dalam kata-kata yang pesimistis. “Yang paling banyak duka...duka selalu, yah namanya tahanan tak akan berbeda dengan seekor burung dalam sangkar, walau sangkar itu terbuat dari emas namun burung itu selalu ingin terbang bebas... bebas... jauh...”


Mungkin ini perbandingan yang tak seimbang. Nelson sadar betul akan resiko perjuangannya. Pemenjaraan, bahkan kematian bagian dari konsekuensi perjuangannya. “Saya mendambakan sebuah masyarakat yang bebas dan demokratis di mana semua orang hidup bersama dalam harmoni dan memiliki kesempatan yang setara. Inilah kesempurnaan yang saya harap bisa terus hidup dan dikembangkan. Kalau perlu, untuk hal itu saya siap untuk mati,” ujar Mandela di hadapan hakim yang mengadilinya, 20 April 1964.


Mandela punya kesempatan bicara di depan hakim pengadilan. Membela diri. Kendati pada akhirnya kuasa hakim apartheid yang tetap menentukan hukuman seumur hidup untuknya. Herry tak punya kesempatan seperti Mandela. Dia ditangkap dan tak pernah diadili. Pada tahun-tahun awal pemenjaraannya, dalam manuskrip yang ditulis tangannya sendiri, dia mengungkapkan kegundahannya. “Hei... ngeri juga orang tak bersalah dihukum dua tahun penjara,” kata dia.


Ketidakseimbangan keadaan itu yang membuat semakin jelas bahwa Afrika Selatan berbeda dengan di Indonesia. Ketika keluar penjara pada 1990, Mandela tetap sebagai pemimpin rakyatnya. Empat tahun kemudian terpilih sebagai presiden Afrika Selatan pertama yang berkulit hitam. Roda nasib berputar. Dengan kekuasaaan di tangannya, Mandela menghentikan konflik, menyelenggarakan rekonsiliasi dan berhasil mengatasi problem masa lalu Afrika Selatan yang terbelenggu apartheid.


Setelah melalui 14 tahun masa pemenjaraan, pada 1979 Herry dibebaskan dari Pulau Buru. Tak sepenuhnya bebas. Pada KTP-nya tertera label “ET” alias eks Tapol. Dia tak punya hak untuk dipilih dan tak mungkin punya pekerjaan karena dipastikan tak lolos penelitian khusus (litsus) bebas keterlibatan G30S/PKI walau dalam surat pembebasannya tertera kalimat tidak terbukti terlibat. Stigma negatif sebagai mantan tapol melekat erat. Ketika dia bebas, kekuasaan masih ada di tangan rezim yang memenjarakannya.


Herry tidak sendiri. Ada ribuan orang yang bernasib sama dengannya. Belum lagi mereka yang dihilangkan secara paksa, dibunuh semena-mena dan entah berapa banyak keluarga yang harus menanggung beban derita selama bertahun-tahun. Dan itu semua terjadi di negeri yang kabarnya berbudaya ketimuran sarat keramahan, bukan kemarahan.


Indonesia memang bukan Afrika Selatan. Dan kita tak punya Nelson Mandela di sini. Namun seandainya Nelson Mandela bernasib seperti Herry Sjuhairi pun, apa yang bisa dia buat? Keluar penjara tetap mengalami diskriminasi. Bebas dari penjara bukan sebagai pemimpin yang dielu-elukan rakyatnya dan kemudian dilantik jadi presiden, tapi tetap sebagai warga negara kelas dua yang hak-hak sipilnya dikebiri.


Yang kita butuhkan, mungkin, bukan Nelson Mandela tapi kemauan dan keberanian untuk menebus dosa masa lalu dengan berbagai cara yang bisa memenuhi rasa keadilan. Dan itu semestinya dimiliki oleh para pemimpin yang dihasilkan dalam alam demokrasi seperti hari-hari ini. Bukan sekadar mengganti nama jalan lantas bilang untuk rekonsiliasi. Orang Belanda bilang onzin!!*


Majalah Historia Nomor 15, Tahun II, 2013

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
Dewi Sukarno Setelah G30S

Dewi Sukarno Setelah G30S

Dua pekan pasca-G30S, Dewi Sukarno sempat menjamu istri Jenderal Ahmad Yani. Istri Jepang Sukarno itu kagum pada keteguhan hati janda Pahlawan Revolusi itu.
bottom of page