Kontestasi Dua Narasi dalam Peristiwa 1965
Narasi tentang kekerasan pasca-G30S senantiasa terkubur sejak Orde Baru. Upaya penyingkapannya langsung berbuah tuduhan simpatisan PKI.
SETIAP menjelang peralihan September ke Oktober pasca-Reformasi, isu PKI jadi isu yang ramai diperbincangkan masyarakat. Setiap kali itu pula dua narasi yang hadir menemui tembok tebal.
Narasi pertama adalah tentang kebiadaban Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan perwira-perwira Angkatan Darat (AD) pada dini hari 1 Oktober 55 tahun lampau. Narasi kedua, kekerasan dan pembunuhan terhadap siapapun yang dicap PKI dari ujung barat hingga timur Indonesia.
“Ada berbagai macam versi, tapi versi yang resmi, PKI ada di belakang ini semua. Diikuti dengan gelombang penangkapan, pembunuhan, pemenjaraan massal baik dengan atau tanpa pengadilan. Jadi menurut Bung Karno ada satu cerita prolog, nalog, ada epilog. Jadi ada tiga babak peristiwa dan yang lebih banyak diketahui orang, termasuk generasi kita, peristiwa ini berhenti di 1 Oktober, ketika para jenderal dibunuh,” ujar Pemimpin Redaksi Historia.id Bonnie Triyana dalam dialog sejarah daring di Youtube bertajuk “1965: Sejarah yang Dikubur”, Selasa (29/9/2020).
Baca juga: Kerugian Nasional Akibat Genosida Politik 1965-1966
Penculikan dan pembunuhan para perwira AD serta dua korban dari eksesnya, Ade Irma Suryani (putri Jenderal AH. Nasution) dan Albert Naiborhu (kerabat Jenderal DI. Pandjaitan), tentu tak bisa dibenarkan. Namun, narasi lain tentang kekerasan yang terjadi setelahnya tidak hanya dikubur dalam-dalam sejak masa Orde Baru, namun juga dianggap semacam tindakan yang normal.
Hal itu seperti yang ditemukan Grace Laksana, peneliti Peristiwa 1965 yang meraih gelar doktornya di Universitas Leiden, Belanda, dalam risetnya. Disertasinya yang bertajuk “Embedded Remembering: Memory Culture of 1965 Violance in East Java’s Agrarian Society” mengangkat tentang peristiwa kekerasan pasca-G30S di masyarakat Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
“Kasusnya di sini sebenarnya enggak jelas. Tentang bagaimana, siapa yang terlibat, siapa korbannya, siapa pelakunya, semua masih agak buram. Jadi sebelum saya bicara ingatan itu, saya terpaksa membicarakan dulu peristiwanya, mundur jauh sebelum 1965,” kata Grace dalam dialog daring itu.
Dalam merekonstruksi peristiwa di Donomulyo, Grace berangkat dari meneliti kehidupan masyarakatnya sebelum peristiwa 1965 dan bagaimana perubahan yang terjadi setelahnya menggunakan pendekatan antropologis. Ia berupaya keluar dari narasi G30S pemerintah dan counter-narasinya yang muncul pasca-Reformasi dengan melihat konteks kekerasan yang terjadi dan ingatan yang terbangun.
“Misalnya ingatan tentang apa yang terjadi di desa itu, bagaimana orang-orang yang dikatakan sebagai pelaku turut berperan membantu operasi pembersihan PKI. Penting sekali buat mereka mempertahankan narasi pemerintah Orde Baru karena berkaitan dengan posisi yang mereka dapatkan setelah kekerasan itu terjadi. Misalnya ada banyak dari mereka yang mendapat posisi menjadi sekretaris desa atau pamong desa yang sebelumnya posisi-posisi itu dikuasai (orang-orang) PKI di desa itu,” imbuhnya.
Narasi resmi, menurut Grace, dipoles dengan begitu kuat dan terkesan overlap. Salah satu contohnya, dibangunnya sebuah monumen oleh kepolisian yang jadi korban Pemberontakan PKI Madiun tahun 1948.
“Saya sulit memverifikasi peristiwa itu karena tak menemukan catatannya. Monumennya dibangun tahun 1972. Jadi sekian dekade sampai akhirnya monumennya dibangun di era Orde Baru, persis di masa-masa Pemilu pertama era Soeharto. Itu ilustrasi yang menunjukkan bagaimana Peristiwa 1948 selalu dikaitkan untuk meng-counter narasi-narasi tentang kekerasan 1965,” tambah Grace.
Padahal, bagi Grace, Peristiwa 1948 dan 1965 berbeda dalam konteks dan skala peristiwanya. Peristiwa Madiun 1948 terjadi dalam situasi Perang Kemerdekaan, dua kubu yang bertarung sama-sama bersenjata. Lalu, skalanya tak sampai menjamah ke luar Pulau Jawa.
Baca juga: Lima Versi Pelaku Peristiwa G30S
Overlap soal isu 1965 juga disepakati sejarawan John Roosa. Namun sejarawan dari University of British Columbia, Vancouver, Kanada itu melihat setidaknya ada dua persamaan antara Peristiwa 1948 dan 1965.
“Waktu 1948 orang-orang antikomunis di Indonesia, termasuk perwira-perwira tentara, mereka belajar sesuatu dari peristiwa itu. Kalau mereka menghajar PKI, membuktikan bahwa mereka antikomunis, mereka akan dapat imbalan dari Amerika Serikat. Misal, sesudah Peristiwa 1948 di Madiun, pemerintah Amerika mulai mendukung Republik supaya ada kemerdekaan dan tentara Belanda keluar dari Indonesia,” kata Roosa, penulis buku Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’état in Indonesia, menimpali.
“Di peristiwa 1965, kelompoknya Soeharto tahu kalau mereka membunuh orang-orang PKI, Amerika akan membantu dengan investasi, bantuan luar negeri, dan segala macam. Jadi ada konteks isu global karena saat itu sedang Perang Dingin,” lanjut sejarawan yang baru menerbitkan buku Buried Histories: The Anticommunist Massacres of 1965-1966 in Indonesia itu.
Tuduhan PKI bagi Peneliti Kekerasan 1965
Hingga kini, banyak pihak tetap menjadikan kekerasan dalam pembersihan pasca-G30S baik berupa penahanan, penghilangan paksa, dan pembunuhan sebagai narasi pembenaran bahwa PKI di tahun 1948 juga melakukan pembunuhan.
Pandangan tersebut bersumber pada propaganda Orde Baru. Padahal, di lapangan realitasnya tidak hitam-putih. Dari risetnya di Donomulyo, Grace menyingkap bahwa masyarakat desa tersebut di masa itu tak banyak tahu tentang konflik yang terjadi pada 1948 dan 1965 lantaran separuhnya masih buta huruf.
“Masyarakat di sana sebenarnya resilient juga. Artinya, seberapa jauh mereka termakan stigma atau seberapa jauh stigma itu bisa dikompori. Konflik agraria sebelum 1965 memang ada tapi tak setajam di daerah lain seperti di Kediri atau Jombang. Tapi mereka tak gampang termakan stigma itu karena separuh dari mereka buta huruf. Satu-satunya sumber berita mereka hanya tentara ketika masuk ke desa mereka,” sambung Grace.
Grace justru menemukan hal menarik bahwa meski stigmatisasi sudah digempurkan ke kepala masyarakat desa itu, mereka malah menyatakan informasi berbeda sesuai kenyataan yang mereka lihat. Dalam kasus penilaian terhadap penduduk desa yang ditangkap, misalnya, mereka menyatakan bahwa yang ditangkap bukan orang-orang PKI. Ketidakmudahan penduduk menerima kabar burung itulah yang meneyebabkan tidak terjadinya kekerasan dan pembunuhan di Donomulyo.
“Jadi tidak ada pergerakan di masyarakat. Baru setelah tentara masuk, kekerasan itu terjadi. Antara pelaku dan korban banyak yang tetangga sendiri. Menariknya, setelah itu mereka tetap bisa hidup berdampingan,” tuturnya.
Terkait propaganda, Roosa juga mengulasnya dalam bab “Operasi Mental” di buku barunya. Nama bab itu mengacu pada istilah militer Indonesia yang poluler saat itu.
Baca juga: Menjernihkan Pemahaman Tragedi 1965
“Semua pers saat itu dikontrol pemerintah, tidak ada cerita lain yang bisa keluar. Bung Karno sendiri punya perspektif lain tapi perspektif dia sudah disaring oleh pers di bawah tangan tentara. Tapi kita harus ingat juga bahwa kalau orang baca koran, dengar radio, mereka tidak langsung ambil tindakan. Harus ada faktor lain yang mendorong pengorganisiran dan koordinasi supaya mereka siap dan bersedia melakukan kekerasan yang sangat keji,” sambung Roosa.
Propaganda itulah yang jadi salah satu unsur yang membuat narasi resmi, yang hanya bicara soal pembunuhan para jenderal pada 1 Oktober, menjadi awet. Keawetan itu diperkuat dengan pemaksaan, khususnya terhadap pelajar, menonton film Pengkhianatan G 30 S/PKI (1984) di masa Orde Baru.
Faktor penting lain yang membuat narasi resmi menjdi awet ialah formalisasi narasi tersebut lewat buku-buku pelajaran, museum-museum, hingga beragam hari peringatan. Ditambah dengan pembungkaman counter-narasi di sisi lain, maka hasilnya adalah ketidakberimbangan dalam kontestasi narasi yang mestinya sudah bisa dibicarakan secara terbuka.
“Saya membayangkan kalau dulu sudah ada media sosial, orang bisa cepat meng-counter narasi itu. Tapi dulu media hanya radio dan media cetak yang menyebabkan histeria. Terjadi semacam mewajarkan tindakan pembunuhan karena lagi-lagi memori 1948 yang diciptakan, serta narasi yang dibuat setelah pembunuhan para jenderal,” tutur Bonnie lagi.
Akibatnya, siapapun yang menyuarakan narasi kekerasan pasca-G30S di ruang publik, maka harus siap dipersekusi, dituduh PKI, atau minimal dicap sebagai simpatisan PKI.
“Padahal, misalnya, kalau saya menulis tentang Masyumi, saya tidak serta-merta dituduh membela Masyumi. Atau menulis Buya Hamka, tidak serta-merta dituduh membela Hamka. Tapi ketika mencoba menulis tentang Peristiwa 1965 dari cara pandang lain, langsung dituduh. Pola itu masih terjadi sampai sekarang di beberapa tempat, di mana kekerasan terjadi atas nama negara, atas nama apapun, seperti di Papua, di mana mestinya kekerasan itu bisa distop. Polanya berulang terus,” kata Bonnie.
“Kita melihat ketidakseimbangan narasi. Kalau di riset 1965, membicarakan peristiwa ada pembunuhan massal yang mengikuti setelah pembunuhan para jenderal, dibalikkannya ke memori tentang 1948. Kontestasinya selalu seperti itu. Ada (ingatan) tentang 1965, ada 1948,” imbuhnya.
Baca juga: Sejarawan Asvi Warman Adam: Saya Bukan Pengkhianat Negara
Grace mengamini posisi dua narasi dalam kontestasi itu sangat tidak balans. Padahal, dua narasi itu akan selalu mengiringi ke mana bangsa ini melangkah hingga di masa depan, hingga membentuk masyarakat Indonesia saat ini.
“Enggak mungkin salah satu narasi itu akan hilang, walau posisinya tidak berimbang. Narasi tentang kekerasan itu jauh lebih sedikit dibicarakan daripada narasi tentang G30S. Karena narasi tentang G30S itu sudah masuk ke ranah-ranah formal. Sekarang bagaimana narasi tentang kekerasan 1965 itu bisa terus dibicarakan lewat ranah-ranah formal atau diformalisasikan,” sambung Grace.
Oleh karena itu, Roosa mengemukakan cara untuk penyelesaiannya mesti dari dasar, yakni berpegang pada perspektif kemanusiaan. Dengan begitu maka akan muncul kesadaran bahwa tindak kekerasan dalam bentuk apapun tidak bisa dibenarkan dan itu harus diingatkan lagi agar tak mengulang siklus sejarahnya.
“Kalau ada represi terhadap satu kelompok, saya bisa paham kalau ada represi terhadap PKI karena ada yang tidak senang dengan mereka. Saya bisa paham itu terjadi. Yang tidak saya pahami adalah perspektif yang membenarkan penyiksaan, penghilangan paksa, penahanan massal dalam jangka panjang, itu semua enggak bisa ditolelir,” tandas Roosa.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar