Ulah Komunis Jepang di Kuala Lumpur
Supaya rekan-rekannya yang ditahan pemerintah Jepang dibebaskan, lima aktivis komunis Jepang melakukan penyanderaan di Kuala Lumpur.
Kuala Lumpur, 4 Agustus 1975. Robert S. Dillon, petugas Foreign Service di Kedutaan besar Amerika Serikat (AS) di Kuala Lumpur, pagi itu sibuk di lantai 11 Gedung AIA (American International Assurance) di Jalan Ampang, Kuala Lumpur. Saking sibuknya, dia sampai kerap hilir-mudik dari mejanya ke tempat lain.
Kesibukan juga terjadi di kantor Kedutaan AS maupun empat kedutaan negara lain yang semua menempati lantai 9 gedung AIA itu. Di lantai dasar, para petugas keamanan sibuk mengawasi situasi gedung dan hilir-mudik orang-orang.
Para petugas keamanan gedung tak menyadari sedang dijadikan sasaran oleh lima orang bersenjatakan pistol, senapan mesin, granat, dan bom rakitan yang berada tak jauh dari sana. Salah seorang petugas keamanan langsung roboh begitu terkena peluru yang dimuntahkan dari senapan mesin kelima orang di luar gedung tadi beberapa saat kemudian.
Kesibukan membuat tak seorang pun waspada pada keadaan di gedung tersebut, termasuk Dillon. Ketika akan kembali ke mejanya melewati meja tempat telegram, dia dikagetkan oleh suara asing yang tak pernah muncul di gedung tersebut.
“Tiba-tiba, saya mendengar tembakan senjata kecil –tembakan pistol 9mm. Saya berlari ke pintu; ada orang-orang di luar berkeliaran sambil bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Kami cepat mengenali bahwa penembakan terjadi di lantai 9. Jadi kami bergegas menuruni tangga untuk melihat apa yang sedang terjadi,” ujar Dillon, dikutip adst.org dalam “Terror on the 9th Floor – The Kuala Lumpur Hostage Crisis.
Para teroris mulai beraksi di lantai 9. Mereka meledakkan aula dan menembak ke segala arah. Situasi kacau.
“Masih ada beberapa penembakan yang terjadi. Kami bisa melihat pintu lift terbuka dan salah seorang Melayu penjaga lift ditembak oleh seseorang di koridor. Penjaga itu terkena peluru tepat di bawah mata dan jatuh kembali ke lift. Pintu kemudian ditutup dan kami berhasil mengeluarkan pria itu di lantai berbeda dan (membawanya, red.) ke rumah sakit. Kemudian seorang penjaga lain muncul dan dia ditembak melalui dagu — peluru keluar melalui rahang,” sambungnya.
Para teroris lalu menyandera lima pegawai Kedubes AS, termasuk Konsul AS Robert C. Stebbins, dan sekira 45 pekerja di berbagai kantor yang ada di lantai 9. Perbuatan mereka mengundang Penasihat Administrasi Kedutaan Besar Australia Robert A. Jackson, Petugas Keamanan Regional Wayne W. Algire, dan Staf Keamanan dari Marinir AS Eric D. Boyd bergegas turun ke lantai 9 untuk memeriksa keadaan. Namun begitu baru hendak mencapai aula, mereka seketika kembali mundur karena para teroris melempaskan empat tembakan ke arah mereka.
Para teroris merupakan anggota Japanese Red Army (JRA). Organisasi tersebut, menurut pakar terorisme Sara Dissanayake dalam “Japan” yang termuat di buku Handbook of Terrorism in the Asia-Pasific, merupakan organisasi ultra-kiri pecahan Red Army Faction (FAR) yang didirikan Fusako Shigenobu. FAR beroperasi dengan tujuan menggulingkan pemerintah dan monarki di Jepang serta menggerakkan revolusi di dunia.”
Setelah penangkapan besar-besaran aktivis kiri dilakukan pemerintah Jepang pada awal 1970-an akibat berbagai tindak kriminal mereka, para aktivis kiri yang dipimpin Shingeobu menyingkir ke Lebanon dan pada 1974 mendirikan JRA. Mereka bahu-membahu dengan Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP) yang punya tujuan sama, melenyapkan kolonialisme. Perjuangan mereka lakukan dengan beragam tindakan, mulai dari perampokan hingga meneror.
Baca juga: Serangan Aktivis Kiri di Bandara Lod Israel
“Merebut kedutaan dan pesawat tampaknya menjadi cara paling efektif untuk mendapatkan uang dan membebaskan kawan-kawan, tulis William Andrews dalam Dissenting Japan: A History of Japanese Radicalism and Counterculture from 1945 to Fukushima.
Dengan landasan itulah maka lima anggota JRA, termasuk Okudaira, Wako, dan Toshihiko Hidaka, menyerang Gedung AIA dan menyandera orang-orang di dalamnya pada Agustus 1975. Mereka melakukannya untuk menuntut pembebasan segera tujuh radikalis yang dipenjara, meliputi dua aktivis JRA, dua aktivis Sekigun yang ditangkap karena perampokan tahun 1971, mantan tentara Reng Sekigun dan mantan suami Hiroko Nagata, Hiroshi Sakaguchi; veteran Asama-sans dan Sekigun-ha Kunio Bando; dan Norio Sasaki yang mantan anggota Higashi Ajia Hannichi Buso Sensen.
Begitu penyanderaan dimulai, Doreen Sharifah Rahman segera menyambungkan hubungan telepon antara Richard (Dick) Jackson, pejabat Urusan Ekonomi Kedubes, dengan para teroris. Setelah memperkenalkan diri, teroris mengutarakan tuntutannya. Negosiasi pun dimulai.
Penyanderaan itu juga mendorong Don Hackl, petugas keamanan teknis yang sedang berkunjung, bersama Sersan Marinir AS Juan Gonzales segera menutup lantai 9 guna mengisolasi para teroris. Sementara, di lantai dasar kepolisian Malaysia mengevakuasi para pegawai di lantai-lantai lain dan menutup lantai 9 guna mengisolasi para teroris.
Sambil terus menambah jumlah sandera, di antaranya Dubes Swedia Fredrik Bergenstahle, para teroris terus menegosiasikan tuntutan mereka dengan pemerintah Malaysia dan Jepang. Tuntutan bertambah dengan permintaan disediakan pesawat JAL dari Jepang untuk membawa mereka keluar Malaysia. Menteri Dalam Negeri Malaysia Ghazali Shafie yang saat itu berada di Jakarta, berperan aktif menjadi negosiator.
Dillon sendiri bergabung dengan Dawson Wilson (penasihat Urusan Ekonomi), Donn Heaney (pejabat Urusan komersial), L. Richard (Dick) Jackson (pejabat Urusan Ekonomi), Stanley R. Ifshin, Edwin A. Brubaker, dan Paul V. Stack (pejabat Urusan Politik), dan Sekretaris Susan L. Dashnaw yang telah membentuk “satuan tugas” sementara yang menangani pos-pos penghubung di berbagai bagian gedung tersebut. “Satgas” itulah yang membuat perkembangan informasi penyanderaan dan negosiasi terus bisa diberitakan ke luar.
Negosiasi berjalan alot sehingga penyanderaan masih berjalan hingga hari keempat meski secara berangsur para teroris melepaskan sandera-sandera. Pada akhirnya, kata Dillon, “Jepang setuju untuk menukar beberapa tahanan JRA yang mereka tangkap sebagai sandera kami. JAL [Japan Airlines] [DC-8] terbang ke Kuala Lumpur. Kemudian krisis lain terjadi. Salah satu dari empat narapidana JRA, yang seharusnya dibawa dari Jepang, menolak menjadi bagian dari pertukaran. Para teroris tidak mempercayainya. Pertukaran diperpanjang. Akhirnya, kami berhasil menutup telepon dari gedung kami ke penjara tempat anggota JRA keempat ini ditahan.”
Para teroris menang banyak ketika kesepakatan dicapai. Mereka mendapat tuntutannya plus mendapat 15 sandera untuk dijadikan penukar dengan lima aktivis dari Jepang yang pertukarannya dilangsungkan di atas pesawat. Mereka juga mendapat empat pejabat (dua pejabat pemerintah Malaysia dan dua Jepang) sebagai penjamin pelarian mereka hingga tempat tujuan akhir, Libya –negeri yang bersedia menerima pendaratan pesawat JAL pembajak. Dua pejabat Malaysia yang dijadikan penjamin itu Wakil Menteri Transportasi Dato' Ramli Omar dan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Tan Sri Osman Samsuddin Cassim.
Sebelum pesawat lepas landas dari Bandara Subang, beberapa sandera dibebaskan. Di antaranya Konsul Stebbins. Pesawat lepas landas pada pukul 11.18 waktu Kuala Lumpur dan tiba dengan selamat keesokan harinya setelah transit di Colombo. Pada 10 Agustus, dua pejabat Malaysia yang dijadikan penjamin tiba dengan selamat di Kuala Lumpur.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar