Setelah Kasel Amerika Menghabisi Ratusan Pelajar Jepang
Tragedi “Tsushima Maru” menelan ribuan pengungsi sipil Jepang. Keluarga korban dan penyintasnya dibungkam dengan ancaman.
KOBARAN api dan kepulan asap di tengah kegelapan malam di perairan Kepulauan Tokara, Jepang pada 22 Agustus 1944 begitu jelas terefleksi dari bola mata Kiyoshi Uehara. Jeritan panik kawan-kawannya dan guru-gurunya dari dek bawah juga menyesaki gendang telinga bocah 10 tahun itu. Dengan berat hati, naluri bertahan hidup mendorongnya untuk loncat dari kapal Tsushima Maru ke lautan yang ganas.
“Kiyoshi sempat terdiam memikirkan bagaimana caranya para guru dan kawan-kawannya bisa keluar dengan tangga dari dek bawah. Namun ia merasa tak punya waktu lagi. Sang bocah segera memakai jaket pelampung, menggenggam tangan dua kawan di sampingnya, naik ke railing dan loncat dari kapal,” tulis Don Keith dalam Final Patrol: True Stories of World War II Submarines.
Begitu sampai di air, Kiyoshi dan kedua temannya berenang menjauh sebisa mungkin dari kapal yang terlalap api dan hendak tenggelam. Di tengah keadaan laut sedang ganas diterpa badai, ketiganya mati-matian memberi sinyal tangan pada beberapa kapal Jepang lain yang jadi bagian dari konvoi. Tetapi tak satupun yang mendekat dan menyelamatkan mereka.
“Lalu di tengah naungan asap dan kegelapan, tetiba muncul sebuah rakit bambu dengan dua penyintas lain di atasnya. Kiyoshi dan teman-temannya segera diangkat dari air. Keadaannya saat itu begitu buruk. Badai tengah menjelang dan membuat ombaknya begitu ganas meski tidak turun hujan, mengakibatkan mereka tak punya air untuk diminum,” imbuhnya.
Baca juga: Yamato Berjibaku
Nasib Kiyoshi dan keempat penyintas di ujung tanduk. Terombang-ambing di lautan selama enam hari ke depan, mereka bertahan hidup hanya dengan makan ikan yang mereka tangkap dan minum air kencing mereka sendiri.
“Enam hari mereka terombang-ambing sebelum akhirnya melihat daratan. Dengan sisa tenaga terakhir mereka mendayung dengan tangan. Kemudian sebuah perahu nelayan mendekat dan membawa mereka ke daratan,” lanjut Keith.
Kiyoshi akhirnya terdampar di Pulau Amami Ōshima, 250 kilometer di utara Kepulauan Okinawa. Ia sempat mengalami demam dan koma sebelum akhirnya siuman. Setelah tenaganya pulih usai diberi makan nasi dan ikan oleh penduduk sekitar, ia dan para penyintas lain digiring ke kantor polisi setempat.
Kiyoshi berkisah bahwa ia menumpang kapal angkut Tsushima Maru sebagai pengungsi dari Okinawa dengan tujuan daratan utama Jepang. Kapal itu membawa lebih dari 1.600 penumpang (beberapa sumber menyebut 1.660 dan 1.788), di mana hampir 800 di antaranya pelajar sebaya Kiyoshi.
Namun baru sehari berlayar, kapalnya meledak dan tenggelam dekat Kepulauan Tokara. Di kemudian hari diketahui bahwa Tsushima Maru ditorpedo kapal selam (kasel) Amerika Serikat, USS Bowfin, yang kemudian menewaskan sekira 1.600 orang dan hanya menyisakan 59 selamat. Kiyoshi salah satu penyintasnya.
Tragedi itu jadi salah satu yang terbesar dialami penduduk sipil Jepang sebelum pembantaian Amerika lewat bom atom.
Baca juga: I Was There When Hiroshima Was Bombed
Tragedi Pengungsi
Pasca-kekalahan di Pertempuran Saipan (15 Juni-9 Juli 1944) menjelang musim panas 1944, Jepang kian terdesak di kancah Perang Pasifik. Pemerintah kekaisaran memutuskan untuk buru-buru mengevakuasi penduduk sipil di kepulauan-kepulauan terluarnya, termasuk Okinawa yang berpenghuni 80 ribu jiwa.
Salah satu upaya evakuasi adalah dengan mengirimkan kapal-kapal Kaigun (Angkatan Laut Jepang) lewat Konvoi Namo 103 yang berisi kapal angkut penumpang Tsushima Maru, kapal kargo Kazuura Maru dan Gyōkū Maru, serta dikawal satu kapal perusak Hasu dan satu kapal meriam Uji. Konvoi itu berangkat dari Pelabuhan Naha pada 21 Agustus 1944 pagi.
“Para penumpangnya (Tsushima Maru) diharuskan naik dengan tangga tali untuk mencapai deknya. Saking banyaknya penumpang anak-anak, mereka mesti ditempatkan di dek paling atas. Seiring kapalnya berangkat dan anak-anak sudah makan siang, kru kapal mengajarkan anak-anak latihan darurat, melihat di mana tempat sekoci-sekocinya, belajar memakai jaket pelampung dan jika keadaan mendesak, anak-anak lelaki diperintahkan keluar dari kabin dan dek dengan tangga tali dan bocah-bocah perempuan dengan tangga kapal,” ungkap Jonathan Eyers dalam Final Voyage: The World’s Worst Maritime Disasters.
Baca juga: Teror Banzai di Saipan
Di tengah perjalanan, konvoi mengubah arah tujuan. Jacques L. Fuqua Jr. dalam A Destiny Between Two Worlds menguraikan, mulanya Konvoi Namo 103 bertujuan ke Kagoshima di selatan Kepulauan Kyushu. Tetapi di tengah perjalanan, tanpa alasan yang jelas, haluannya diubah menuju Nagasaki.
Itu salah satu faktor yang mengakibatkan kemalangan, utamanya Tsushima Maru yang berbobot 6.754 ton. Pasalnya di saat yang sama, kasel USS Bowfin yang dikomandoi Letkol John H. Corbus tengah melakoni patroli kelima dan keenamnya sejak 10 Agustus dari pangkalan AL Amerika di Hawaii ke wilayah kepulauan Jepang.
Di malam itu, 22 Agustus 1944, USS Bowfin tengah “kelayapan” menuju Yoron Jima di utara Kepulauan Okinawa. Sekira pukul 10.30 malam, Konvoi Namo 103 masuk dalam radarnya, utamanya Tsushima Maru, setelah konvoi itu dianggap sebagai sasaran militer.
“Kapal (Tsushima Maru) itu tak mengenakan tanda apapun, tidak mengibarkan bendera atau indikator lain yang menandakan kapal itu hanyalah kapal angkut penumpang (sipil). Kapalnya juga tidak menyalakan lampu, di mana biasanya kapal kargo Jepang saja punya penerangan lampu. Terlihat juga kapal itu dikawal kapal perusak dan kapal meriam yang sepertinya meyakinkan bahwa konvoi itu adalah konvoi kapal angkut pasukan yang jelas-jelas merupakan sasaran militer,” sambung Keith.
Hal itu membuat nakhoda USS Bowfin, Letkol John Corbus, punya asumsi kuat ketika memerintahkan krunya menyiapkan torpedo di haluan dan menyetel bidikannya. Sekira sembilan torpedo akhirnya dilepaskan dari USS Bowfin untuk menghabisi Tsushima Maru.
“(Hantaman torpedo) tidak seperti suara ledakan. Awalnya saya mengira seseorang menghantam sebuah tong besi,” kenang Kiyoshi.
Yang terjadi setelahnya, jeritan dan tangisan para penumpang yang tak seberuntung Kiyoshi. Terlepas dari USS Bowfin yang segera kabur dari lokasi, mirisnya tak satupun kapal dari konvoi Namo 103 yang mendekat untuk menyelamatkan para penyintasnya.
“Hampir dua pekan kemudian, serangan itu digambarkan pihak Amerika sebagai serangan yang ‘brilian’. Laporan Corbus menyatakan mereka mencegat konvoi dengan tiga kapal kargo militer dan dua kapal perang. Mereka sama sekali tak merendah menerima pujian meledakkan Tsushima Maru,” tambah Keith.
Baru dua dekade kemudian mereka insyaf. Yang mereka lenyapkan ternyata bukanlah kapal angkut pasukan, melainkan kapal angkut penumpang sipil yang hampir 800 di antaranya masih pelajar.
Baca juga: Kebanggaan Armada Jepang Karam di Midway
Sementara, pemerintah Jepang ketika mendengar kabar tragedi itu justru memerintahkan para penyintas dan keluarga korban untuk tutup mulut. Ancaman hukuman berat menanti bagi siapa saja yang menyiarkan kabar pahit itu.
Pemerintah Jepang menganggap masyarakat tak perlu mendengar tragedinya demi mencegah jatuhnya moril masyarakat. Puluhan tahun kemudian barulah untold story itu terungkap oleh beberapa peneliti dan kesaksian para penyintasnya, termasuk Kiyoshi.
“(Hampir) semua ikut tenggelam ke lautan yang dalam. Saya mengatakan ini adalah akibat dari perang. Anda tidak harus menjadi seorang yang anti-perang tapi saya mohon untuk lebih sensitif terhadap luka orang lain. Dengan begitu tidak akan ada lagi perang di muka bumi,” tandas Kiyoshi.
Baca juga: Mengusik Titanic
Tambahkan komentar
Belum ada komentar