Masuk Daftar
My Getplus

Pyonsa dan Perlawanan Rakyat Korea Terhadap Penjajahan Jepang

Seperti benshi di Jepang, pyonsa berperan sebagai narator film bisu bagi penonton Korea. Pyonsa juga berperan dalam meningkatkan semangat nasionalisme dan perlawanan terhadap penjajahan Jepang.

Oleh: Amanda Rachmadita | 03 Apr 2024
Pyonsa atau Byeonsa, narator film bisu pada masa awal perkembangan film di Korea. (Sumber Foto: www.koreanculture.org.)

NARATOR film bisu seperti benshi tak hanya muncul di Jepang pada awal abad ke-20. Selama periode tersebut, di Korea juga muncul pyonsa atau byoensa yang bertugas menjelaskan dan menarasikan film bisu kepada penonton Korea. Namun, yang menarik pyonsa juga berperan besar dalam mendorong semangat nasionalisme dan menjadi corong perlawanan terhadap penjajahan Jepang.

Meski tanggal pasti asal muasal profesi ini belum dapat ditentukan, pyonsa diperkirakan mulai dikenal pada 1907, bersamaan dengan berdirinya bioskop di Korea. Meski begitu, pyonsa bukanlah ciptaan Korea. Peran ini diadopsi dari benshi di Jepang.

Areum Jeong menulis dalam How the Pyonsa Stole the Show: The Performance of the Korean Silent Film Narrators bahwa narator film diperlukan untuk penonton karena film-film yang ditayangkan pada masa awal perkembangan film di Korea merupakan buatan luar negeri dan terdiri dari budaya asing. Karena penonton Korea pada umumnya hanya memiliki sedikit pengetahuan dan wawasan mengenai budaya di luar budaya lokal mereka, peran pyonsa sangat penting dalam menjembatani hubungan antara film yang ditayangkan dengan penonton.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Benshi, Suara di Balik Film Bisu Jepang

“Peran pyonsa yang kerap dipandang sebagai penerjemah budaya menjadi sangat penting bagi penonton, sehingga alih-alih bingung menentukan film mana yang akan ditonton, mereka justru menentukan pilihan melalui siapa pyonsa yang akan tampil dalam film tersebut,” tulis Jeong.

Seperti halnya benshi, pyonsa juga berperan sebagai penghibur dan pendidik yang mampu mengarahkan “pandangan” penonton melalui narasi film yang mereka interpretasikan. Namun, persamaan itu mulai menampilkan perbedaan seiring dengan pendudukan Jepang di Korea.

Titik balik ini dapat dilihat pada 1919, ketika gerakan kemerdekaan Korea aktif melawan kolonialisme Jepang. Meski gerakan 1 Maret berhasil mengubah kebijakan Kekaisaran Jepang terhadap Korea, tetapi gerakan ini gagal mencapai kemerdekaan Korea. Oleh karena itu, rakyat Korea terus berupaya mewujudkan mimpi besar mereka melalui berbagai bentuk perlawanan, tak terkecuali di bidang seni dan sastra. Di sini, sejumlah pyonsa memanfaatkan keahlian dan profesi mereka untuk menyerukan perlawanan terhadap pendudukan Jepang.

Perlawanan yang diserukan para pyonsa tak diabaikan begitu saja oleh pemerintah kolonial Jepang. Tak sedikit di antara mereka yang ditangkap. Surat kabar berbahasa Korea, The Maeil Sinbo, 8 Juli 1920, memberitakan bahwa Hansol Chang, seorang pyonsa yang selama tiga tahun terakhir sering tampil di Umikwan, ditangkap polisi. Kala itu pada 5 Juli, sekitar pukul 21.30, Chang muncul di atas panggung saat jeda sepuluh menit. Dengan ekspresi gugup di wajahnya, dia mengepalkan tinjunya dan berteriak kepada penonton dengan nada bersemangat: “Hari ini adalah hari di mana kita meneriakkan kebebasan... Kita tumpahkan darah juang kita ke seluruh dunia agar dunia mengakui keberadaan dan pikiran kita.” Tak lama setelah itu, polisi muncul dan menangkap Chang untuk diinterogasi di Kantor Polisi Chongno. Chang menjadi pyonsa pertama yang ditangkap polisi.

Baca juga: 

Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea

Areum Jeong menyebut penangkapan Chang menandai diberlakukannya sensor pada film. Peristiwa tersebut juga menyebabkan pelembagaan pyonsa sebagai sebuah profesi yang melahirkan suatu sistem untuk mengontrol apa yang terjadi di dalam bioskop.

Sementara itu, menurut Brian M. Yecies dan A.G. Shim dalam Lost Memories of Korean Cinema: Film Policy During Japanese Colonial Rule, 1919–1937, berbanding terbalik dengan Jepang yang mengalami “pelonggaran pengawasan dan penyensoran oleh pemerintah” selama Demokrasi Taisho pada 1920-an, di Korea kontrol polisi Jepang justru semakin kuat selama rezim Laksamana Saito. Orang Korea dan distributor film asing menjadi saksi pengetatan peraturan film oleh pihak kepolisian yang memainkan peran sentral dalam penegakan kebijakan perfilman di Korea. Tak hanya melakukan sensor terhadap film-film yang akan ditayangkan di bioskop, polisi juga menyelenggarakan ujian bagi orang-orang yang ingin menjadi pyonsa.

“Di Korea, seperti halnya di Jepang dengan benshi, otoritas kepolisian mengadakan pemeriksaan dan pemberian lisensi bagi para pyonsa sebagai prioritas utama karena mereka memiliki peran yang sangat penting dalam budaya Korea dan industri perfilman di Korea. Pemerintah kolonial Jepang memanfaatkan biro polisi pusat ini sebagai alat utama untuk memantau dan mengatur aktivitas sosial, budaya, politik, dan industri di Korea,” tulis Yecies dan Shim.

Pemerintah kolonial Jepang sangat menyadari pengaruh film terhadap masyarakat Korea. Oleh karena itu, ujian kualifikasi pyonsa sebagai bentuk standarisasi dan membatasi perilaku mereka untuk pertama kali diadakan pada 27 Juni 1922. “Ujian kualifikasi tersebut merupakan contoh yang memberikan bukti peran pyonsa sebagai seorang pendidik, dan bukan hanya sebagai penghibur. Meskipun ujian tersebut dilaksanakan untuk ‘mencegah tindakan demoralisasi di dunia perfilman’, pertanyaan-pertanyaan dalam ujian itu menunjukkan niat politik pemerintah kolonial Jepang di Korea dalam memberikan lisensi kepada pyonsa,” jabar Jeong.

Baca juga: 

Senasib Sepenjajahan

Melalui pertanyaan-pertanyaan ujian tersebut, pemerintah kolonial Jepang mengharuskan para pyonsa memiliki kesadaran dan wawasan akan pengetahuan modern. Pyonsa dituntut untuk mengetahui dan menunjukkan perilaku yang tepat di ruang publik. Upaya Jepang untuk menjadikan pyonsa sebagai perpanjangan tangan mereka tak berjalan mudah. Meningkatnya kesadaran masyarakat Korea semakin mendorong para pyonsa dalam menyerukan perlawanan terhadap Jepang untuk mewujudkan kemerdekaan Korea.

Contoh perlawanan pyonsa terhadap sensor Jepang adalah pertunjukan pyonsa Song Tongho dalam pemutaran film bisu berjudul Arirang yang disutradarai dan diperankan oleh Un’gyu Na pada 1926. Di dalam narasinya, Song Tongho menyebut, “Di sini, kita melihat desa di seberang ladang. Seorang tentara Jepang dan agen-agennya menghancurkan gubuk-gubuk milik penduduk desa dengan paksa. Penduduk desa yang terusir dari rumah mereka berlarian ke arah tentara Jepang, tetapi diinjak-injak oleh mereka. Para penduduk desa dan anak-anak mereka gemetar ketakutan... Betapa melelahkannya hidup ini! Bagaimana kami bisa memberi makan diri kami sendiri ketika pemerintah Jepang mengambil uang pajak yang sangat besar untuk tanah yang paling kecil sekalipun?”

Narasi pyonsa Song Tongho tentang film Arirang kemudian menginspirasi dukungan publik untuk menjadi simbol orang-orang yang dieksploitasi dan tertindas. Suara pyonsa yang penuh semangat, sindiran halus terhadap imperialisme Jepang, dan dorongan untuk kemerdekaan Korea tidak dapat dilihat atau didengar dalam film bisu itu sendiri. “Tidak ada teks atau katalog percakapan yang dimasukkan dalam film bisu Korea; oleh karena itu, film tersebut dapat lolos dari sensor,” tulis Jeong.

Baca juga: 

Gerilyawan Korea di Pihak Indonesia

Contoh lain peran pyonsa dalam mendorong semangat nasionalisme dan perlawanan terhadap penjajahan Jepang dikisahkan oleh Michael Baskett dalam The Attractive Empire: Transnational Film Culture in Imperial Japan. Pada 1912, dua tahun setelah pendudukan Jepang di Korea, sebuah film yang berisi rekaman pertandingan antara petinju Barat dan pegulat judo Jepang ditayangkan di bioskop Seoul. Teater berkapasitas 600 kursi itu dibagi menjadi dua bagian; orang Jepang duduk di atas bantal di lantai beralaskan tikar di balkon, sementara orang Korea duduk di kursi di lantai satu. Di antara penonton banyak yang datang untuk menyaksikan penampilan pyonsa. Namun, narasi yang disampaikan oleh pyonsa berujung pada peristiwa yang menghebohkan. Orasi pyonsa yang penuh semangat membuat penonton terpolarisasi; orang Korea mendukung petinju Barat dan orang Jepang mendukung pegulat judo.

“Separuh penonton Korea bersorak ketika pegulat judo dijatuhkan oleh sebuah pukulan, tetapi para penonton Jepang mulai bersorak ketika pegulat judo kembali bangkit, menjatuhkan petinju dan memenangkan pertandingan,” tulis Baskett.

Pertunjukan itu berubah menjadi kerusuhan, ketika orang Jepang dari balkon melempar bantal tempat duduk dan makanan ke arah orang Korea, dan orang Korea membalas melemparkan kursi ke arah orang Jepang. Perkelahian meluas hingga ke lobi utama, di mana kedua belah pihak saling pukul dengan sandal kayu, tongkat dan perabotan yang rusak hingga polisi kolonial dipanggil untuk mengakhirinya.

Sejumlah kejadian tersebut menunjukkan peran pyonsa, yang tidak hanya memungkinkan penonton dapat menikmati film asing tanpa terjemahan, tetapi juga meningkatkan rasa nasionalisme yang dibatasi oleh sensor Jepang.*

TAG

pyonsa byeonsa sejarah film korea pendudukan jepang

ARTIKEL TERKAIT

Dulu Para Sersan Berserikat Sehimpun Riwayat Giyugun Masa Kecil Sesepuh Potlot Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea Persahabatan Sersan KNIL Boenjamin dan dr. Soemarno Jenderal Orba Rasa Korea Abdoel Kaffar Ingin Papua dan Timor Masuk Indonesia Arief Amin Dua Kali Turun Pangkat Cinta Ditolak, Mandor Bertindak Dikira Sudah Mati, Boediardjo Ternyata Selamat