KEKANGAN rantai yang membelenggu dirinya ke sebuah kayu membuat pikiran Jean Seberg (diperankan Kristen Stewart) melayang. Seiring mata kamera membidiknya makin dekat, nafasnya kian berat. Histeria lantas melandanya kala api mulai membakar dirinya.
Itu merupakan ending dari film Saint Joan (1957) yang jadi debut Jean di layar perak. Sineas Benedict Andrews merekonstruksinya sebagai “pintu masuk” political thriller garapannya mengenai sosok sang aktris, Seberg. Andrews seolah ingin mengidentikkan sosok Jean laiknya Joan of Arc yang mulanya dipuja namun akhirnya terbakar oleh keyakinannya sendiri melawan arus di sekitarnya.
Alur cerita lalu melompat ke medio Mei 1968 ketika Jean sudah bertransformasi menjadi ikon new wave sinema Prancis. Kini ia siap kembali ke tanah airnya untuk menembus Hollywood. Namun dalam perjalanan di atas pesawat maskapai Pan Am, Jean berkenalan dengan aktivis HAM dan anti-rasisme Hakim Jamal (Anthony Mackie), sepupu mendiang Malcolm X.
Baca juga: Dagelan Hukum The Trial of the Chicago 7
Entah dengan motif apa, tetiba Jean ikutan mengepalkan tangan ke udara sebagai black power salute bersama Jamal dan rombongan aktivis kulit hitam lainnya, termasuk mendiang istri Malcolm X Betty Shabazz. Lakunya tak hanya jadi perhatian media massa yang berkerumun di bandara Los Angeles, namun juga menarik perhatian FBI meski tak disadarinya. Dua agen khusus FBI, Jack Solomon (Jack O’Connell) dan Carl Kowalski (Vince Vaughn), lantas ditugaskan menguntit Jean lantaran dianggap potensial menjadi ancaman baru di tengah gerakan politik kulit hitam.
Benar saja. Kendati Jean dan Hakim sudah punya pasangan sah, keduanya menjalin asmara terlarang. Jean juga makin sering memberi sokongan dana meski donasi-donasinya kepada Yayasan Malcolm X lebih kepada dukungan terhadap pendidikan anak-anak kulit hitam, bukan seperti Partai Black Panther yang acap bikin onar.
Namun tetap saja Jean dianggap ancaman lantaran FBI pukul rata bahwa Afro-Amerika merupakan kelompok radikal pengganggu ketertiban. Semakin jauh Solomon dan Kowalski menguntit, hingga menyadap segala komunikasi Jean, hasilnya makin menggelitik para pimpinan FBI untuk menjadikan Jean sasaran utama mereka selain Hakim Jamal. Atas perintah Direktur FBI J. Edgar Hoover, Frank Ellroy (Colm Meaney), bos Solomon dan Kowalski, memerintahkan investigasi lebih ekstrem untuk memasukkan Jean sebagai salah satu target program kontra-intelijen COINTELPRO.
Program pengintaian, infiltrasi, dan pendiskreditan aktivis-aktivis HAM yang sudah dijalankan FBI sejak 1956 itu ilegal serta kontroversial. Korban dari program ini antara lain Rap Brown, Malcolm X, Martin Luther King Jr., dan Bobby Seale. Khusus kasus Jean, hasil pengintaian dan penyadapan yang dilakoni Kowalski dan Solomon dipergunakan FBI untuk menghancurkan karier dan kehidupan pribadi Jean. Salah satunya dengan menyebarkan hoaks bahwa Jean mengandung anak dari hasil perselingkuhannya dengan Hakim Jamal lewat kolom-kolom gosip dunia hiburan. Jean juga acap diteror penelepon gelap sehingga karier maupun mentalnya terganggu.
Baca juga: Cerminan Penindasan dalam Waiting for the Barbarians
Di sisi lain, Solomon mulai mempertanyakan apakah Jean pantas diperlakukan FBI seperti itu. Sempat ia berusaha mengontak Jean sebagai penelepon anonim guna menghentikan semua aktivitas Jean sebagai simpatisan kaum kulit hitam. Namun, Jean malah makin lantang melawan meski tertekan.
Bagaimana detail penyadapan dan pengintaian ilegal hingga pelecehan yang dilakukan FBI terhadap Jean dan seperti apa akhirnya, bukan di sini tempatnya. Lebih baik Anda saksikan sendiri. Meski sudah rilis sejak 10 Januari 2020, Seberg masih bisa Anda saksikan via platform daring Mola TV.
Dramatisasi Kisah Tragis Sang Aktris
Dengan detail properti, set film, hingga music scoring lawas bercampur retro garapan komposer Jeed Kurzel, Seberg menghadirkan nuansa 1960-an yang ramai oleh gerakan HAM, anti-Perang Vietnam, dan anti-diskriminasi. Seberg bukanlah biopik, Andrews melabelinya political thriller lantaran memang digarap sebagai dramatisasi satu bab tragis dari kehidupan sang aktris yang berangsur terseret gerakan aktivis.
Dramatisasi itu membuat beberapa detail dan adegan dalam Seberg berbeda dari fakta. Contohnya adalah pesawat Boeing 747 maskapai Pan Am tempat Jean bertemu Hakim Jamal pada 1968. Padahal faktanya, jet komersil Boeing 747 baru jadi armada Pan Am pada 1970.
Baca juga: The Dreamers, Drama Vulgar di Tengah Prahara Politis
Dramatisasi lainnya adalah kala Jean ikut-ikutan mengepalkan tangan ke udara selepas tiba di Amerika dari Paris dan jadi sasaran para fotografer. Faktanya Jean tak pernah melakoni “black power salute” itu. Pun adegan perkenalan Jean dengan Hakim Jamal, aslinya baru terjadi pada 15 Oktober 1968 selepas Jean merampungkan film Paint Your Wagon. Hakimlah yang memperkenalkan diri lebih dahulu, bukan Jean sebagaimana di film. Perkenalan mereka baru berubah menjadi hubungan asmara setelah berjalan lama, bukan one night stand.
Namun, ini film. Tanpa dramatisasi jelas akan garing. Terlebih, pesan yang ingin disampaikan Andrews adalah adanya kesamaan antara nasib Joan of Arc dan Jean Seberg yang ia perankan di film Saint Joan. Andrews fokus pada bagaimana FBI menghancurkan semua tentang Jean di samping berupaya mengajak penonton menggali sendiri apa dan siapa Jean sebenarnya.
Baca juga: Warna-warni Kehidupan Sean Connery
“Karakter yang dimainkan Jack O’Connell (agen FBI Jack Solomon, red.) punya pertanyaan yang sama seperti penonton: ‘Siapakah Jean Seberg?’ Kami tak mencoba menceritakan segenap hidupnya karena itu akan jadi cerita yang lain,” ujar Andrews kepada Screen Rant, 21 Februari 2020.
“Kami juga sengaja mempersempit kiprahnya di akhir 1960-an. Tapi di akhir film, kami meninggalkan jejak untuk diikuti penonton, seperti karakter Santa Joan, ketika dia dibakar di set film jadi salah satu petunjuk kecilnya. Namun setiap aspek kehidupannya luar biasa. Kami hampir tak menyentuh pernikahannya dengan Romain Gary (suami kedua Seberg) yang punya cerita menarik sendiri. Saya merasa film ini jadi ajakan buat semua orang untuk mengenalnya lebih dekat,” imbuhnya.
Tanpa mengetahui Jean lebih dekat, mustahil dapat memahami mengapa FBI sampai memasukkan namanya menjadi salah satu target COINTELPRO hingga membuat jiwanya terguncang dan akhirnya bunuh diri pada usia 40 tahun.
Lahir di Marshalltown, Iowa, Amerika Serikat pada 13 November 1938, Jean Dorothy Seberg justru memilih merintis kariernya di Eropa setelah debut di film Saint Joan. Namanya melejit lewat film À Bout de Souffle (Breathless dalam versi bahasa Inggris) garapan sineas Jean-Luc Godard. Film rilisan tahun 1960 itu meledak di pasaran dan jadi titik pijak new wave sinema Prancis.
Hingga akhir hayatnya, Seberg membintangi 37 film baik semasa berkiprah di Prancis maupun setelah pulang ke Amerika menembus Hollywood. Di Prancis, Seberg dua kali menikah. Yang pertama dengan pengacara, François Moreuil, namun hanya berjalan dua tahun (1958-1960). Kedua, dengan novelis cum sutradara Romain Gary, di mana bahtera pernikahannya juga hanya bertahan delapan tahun (1962-1970).
Baca juga: Mengenang Sineas Legendaris Bernardo Bertolucci
Dalam otobiografinya Chien Blanc (White Dog), Gary mengungkapkan, simpati Seberg terkait isu-isu HAM bukan barang baru bagi sang istri. Isu itu sudah jadi perhatian Jean sejak belia dan sebelum masuk industri film.
“Seberg sudah ikut organisasi HAM sejak dia baru 14 tahun dan masih tinggal di Marshalltown, Iowa. Idealisme dia, seperti tipikal orang Amerika, tak bisa menyisakan masalah tanpa menyelesaikannya. Namun, di Eropa karakter seperti ini sering disalahartikan sebagai kemunafikan. Sampai akhirnya hal ini menimbulkan masalah dalam pernikahan kami,” ungkap Gary yang punya seorang putra, Alexandre Diego Gary, dari hasil pernikahannya dengan Jean.
Pada 1960-an di Prancis mulai timbul gerakan-gerakan HAM yang puncaknya berupa protes massal yang berujung kerusuhan Mei 1968. Kepeduliannya pada soal sosial-politik turut dibawanya kala kembali ke Amerika di tahun yang sama. Ia
masuk ke gerakan politik anti-diskriminasi berkat perkenalannya dengan Hakim Jamal. Jean ingin menjadi agen perubahan di mana tak semua kaum selebritas apatis terhadap diskriminasi yang terjadi di sekitar mereka.
Namun, simpati Jean kepada kelompok perjuangan kulit hitam membabi-buta. Padahal, dia sudah diperingatkan Hakim untuk tidak bersimpati ke kelompok yang lebih radikal seperti Partai Black Panther. Akibatnya, langkah Jean menarik perhatian FBI. Los Angeles Times, 6 Januari 1980 memberitakan, FBI sudah mengintai Jean sejak 1969 dan memasukkan namanya jadi sasaran COINTELPRO pada Desember 1970. Dari pengintaian sejak Juni 1969, diketahui Jean pernah memberi cek senilai USD5 ribu kepada Hakim Jamal yang aktif di Yayasan Malcolm X. Ditambah, Jean juga salah satu donatur aktif Partai Black Panther. Sepanjang 1970, Jean menyumbang total 10.500 dolar.
Baca juga: Darah Aktivis Kamala Harris
FBI cabang Los Angeles, di bawah perintah direktur pusat J. Edgar Hoover, akhirnya melancarkan rencana COINTELPRO untuk “menetralisasi” Jean Seberg. Via memo dari markas besar FBI di Washington DC ke Los Angeles tertanggal 27 April 1970, restu mempublikasi gosip dan berita bohong diberikan kepada agen yang selama ini mengintai Seberg, Jack Solomon.
“Meminta izin biro (pusat) untuk mempublikasi kehamilan JEAN SEBERG, aktris film ternama, oleh…Partai Black Panther (BPP)…dengan menyarankan kolumnis gosip Hollywood di area Los Angeles. Dirasa bahwa kemungkinan publikasi tersebut akan menyebabkan aib dan merendahkan imejnya di mata publik,” demikian potongan memo tersebut.
Akibat publikasi itu, jiwa Jean terguncang. Ia bahkan sampai melahirkan secara prematur pada 23 Agustus 1970. Bayinya yang dinamai Nina Hart Gary dua hari kemudian meninggal. Dalam upacara pemakaman Nina, peti matinya sampai dibuka untuk menunjukkan bahwa Nina berkulit putih, bukan hitam sebagaimana hoaks yang disebarkan FBI melalui kolom-kolom gosip.
Efek pembunuhan karakter oleh FBI itu terus menyiksa batin Jean. Bahkan ketika dia sudah tinggal berpindah-pindah di Swiss dan Italia, FBI masih menguntitnya lewat kontak silang “FBI Legat” yang bekerjasama dengan sejumlah atase hukum kedutaan Amerika di Paris dan Roma.
Sepuluh hari menghilang, Jean akhirnya ditemukan dengan jasad sudah membusuk di dalam mobilnya di Paris, 8 September 1979. Ayahnya, Edward Waldemar Seberg, amat terpukul mendengar kabar putrinya meninggal karena diduga bunuh diri.
Baca juga: The Two Popes, Dua Paus dalam Sejarah Kelam
“Jika benar (jadi target FBI), kenapa mereka tak menembaknya saja, ketimbang terus-menerus membuatnya menderita. Saya punya bendera (Amerika) ini di sudut ruangan yang selalu saya kibarkan di halaman setiap pagi dan sejak saat itu saya tak pernah mau lagi mengibarkannya,” kata sang ayah saat diwawancara Mike Wallace dalam program “The Wallace Profiles” yang ditayangkan CBS, 17 November 1981.
Kabar meninggalnya Jean jadi berita heboh di media massa Amerika. Time sampai membuat judul “The FBI vs Jean Seberg” untuk artikel investigasinya soal masalah Seberg.
FBI setelah terpojok mengakui telah menyebar hoaks bahwa Seberg dihamili aktivis Black Panther. Atas desakan Senat berdasarkan Freedom of Information Act (FOIA), FBI bersedia membuka berkas-berkas tentang pengintaian dan penyadapan Seberg. COINTELPRO sebagai metode FBI lantas dihapus pada April 1971.
Data Film:
Judul: Seberg | Sutradara: Benedict Andrews | Produser: Marina Acton, Fred Berger, Kate Garwood, Stephen Hopkins, Brian Kavanaugh-Jones-Bradley Pilz, Alan Ritchson | Pemain: Kristen Stewart, Antony Mackie, Zazie Beetz, Jack O’Connell, Margaret Qualley, Vince Vaughn, Colm Meaney | Produksi: Automatik, Bradley Pilz Produtions, Phreaker Films, Ingenious Media| Distributor: Amazon Studios, Universal Pictures | Durasi: 102 Menit | Rilis: 20 Januari 2020.