PULAU Corsica sejak awal Juni 1793 sudah membara. Revolusi Prancis yang digadang kaum Republik untuk menumbangkan monarki sedang memasuki tahun keempatnya. Gejolaknya yang dibuat pelik “Rezim Teror” menjalar ke berbagai wilayah hingga ke Ajaccio dan kota-kota lain di Corsica yang jadi pulau kelahiran seorang perwira artileri muda bernama Napoleone di Buonaparte.
Sang perwira muda itu sejak awal memilih keberpihakannya pada kaum revolusioner Prancis, seperti Antoine Christophe Saliceti –yang juga kelahiran Corsica– dan Augustin Robespierre, adik pemimpin revolusi Maximilien Robespierre. Akibatnya, Napoleone terpaksa bermusuhan dengan mentor politiknya, Pasquale Paoli, yang menghendaki Corsica berpihak pada Inggris demi bisa merdeka dari Republik Prancis.
Imbasnya, tulis Robert Harvey dalam The War of Wars: The Epic Struggle Between Britain and France, 1789-1815, Napoleone sempat ditangkap pengikut Paoli di kota Corsacci. Beruntung ia ditolong beberapa temannya sehingga bisa melarikan diri ke Ajaccio dan kemudian ke Bastia untuk minta bantuan Saliceti.
Baca juga: Penyair Prancis Jadi Serdadu di Salatiga
Tetapi Paoli membuat perhitungan tanpa ampun. Para pendukungnya membakar Casa Buonaparte, kediaman keluarga Napoleone, dan menghancurkan lahan pertanian keluarganya di Ajaccio. Maria Letizia Ramolino, ibu Napoleone, dan anak-anaknya sampai bersembunyi untuk menyelamatkan diri.
“Dibantu Saliceti, Napoleone datang dengan 400 pasukan ekspedisi Prancis. Sementara pasukannya menyerang para pengikut Paoli, Napoleone menjemput ibu dan para saudaranya menuju Calvi. Sayangnya di sana pasukan Napoleone dikalahkan dan lolos secara dramatis dari penangkapan Inggris. Pada 10 Juni 1793, keluarganya bisa dibawa berlayar ke Toulon dengan kapal kargo,” terang Harvey.
Baca juga: Ketika Inggris Membumihanguskan Keraton Yogya
Setibanya di kota pelabuhan Toulon keesokan harinya, perwira muda itu mengganti identitasnya dengan nama yang lebih berbau Prancis: Napoléon Bonaparte. Di Toulon pada medio Agustus itu kaum federalis dan royalis mulai berontak kepada kaum republik. Para pemberontak bahkan menyambut musuh lama, Inggris, dengan tangan terbuka kala armada Inggris pimpinan Laksamana Samuel Hood tiba.
Hal itu mendorong militer Prancis mengonsolidasi 19 ribu pasukannya dari sekitar Touloun. Namun, pasukan itu kekurangan perwira lapangan lantaran para pemimpin mereka sebelumnya yang berasal dari golongan bangsawan banyak melarikan diri akibat revolusi. Komandan pasukan itupun hanya dipimpin Jenderal Jean-François Carteaux yang sebelumnya hanya pelukis tanpa pengalaman militer.
Lebih runyam lagi ketika komandan artileri di pasukan itu, Kolonel Elzéar Auguste Cousin de Dommartin, terluka dalam perjalanan di Ollioules saat hendak menggabungkan diri ke induk pasukan. Saliceti yang sudah jadi wakil Corsica di Konvensi Nasional Republik di Paris akhirnya merekomendasikan Napoléon jadi penggantinya.
Merebut Toulon
Memasuki Agustus 1793, kota Toulon praktis sudah dikuasai kaum pemberontak yang disokong Inggris, Spanyol, Kerajaan Napoli, dan Kerajaan Sardinia. Selain dilindungi tembok kota, pertahanan Toulon disokong belasan benteng yang diperkuat 2.000 pasukan Inggris, masing-masing 6.000 prajurit Spanyol dan Napoli, 800 kombatan Sardinia, serta didukung 74 kapal perang gabungan yang standby di pelabuhan.
Napoléon yang resmi diangkat jadi komandan artileri pada 16 September 1793 dalam rangka Pengepungan Toulon, prihatin pada kondisi pasukannya. Unit artilerinya hanya dilengkapi tak lebih dari selusin meriam dan kekurangan amunisi serta kru. Padahal saat mengamati posisi-posisi pertahanan musuh, Napoléon berkeyakinan artileri akan memegang peranan terbesar dalam merebut Toulon.
“Seseorang bisa bertahan 24 atau jika diperlukan 36 jam tanpa makan, namun tidak satupun orang bisa bertahan dalam tiga menit tanpa bubuk mesiu,” ungkap Napoléon dalam The Corsican: A Diary of Napoleon’s Life in His Own Words yang dirangkum Robert Matteson Johnson.
Baca juga: Sejarah Laïcité, Dasar Falsafah Sekularisme Prancis
Napoléon pun bergerak cepat mengumpulkan kekuatan unitnya hanya dalam tiga hari. Ia meminta sejumlah bantuan meriam beserta amunisinya dari pasukan-pasukan Prancis di Marseille dan Avignon hingga akhirnya memiliki 100 meriam. Ia juga meminta bantuan tambahan pasukan infantri dari Jenderal Carteaux untuk dilatih kilat jadi kru meriam. Para perwira menengah lapangan yang pensiun dipaksa bertugas lagi lewat bantuan surat perintah Saliceti dan Robespierre. Tak lupa ia juga mengatur jalur transportasi untuk pengiriman 100 ribu kantong pasir dari Marseille. Pasir itu digunakan untuk membangun baterai-baterai baru guna mengepung Toulon dengan 100 artileri meriam, howitzer, dan mortir yang diawaki 1.500 personel dan dipimpin 64 perwira lapangan.
“Meriam-meriam inilah yang akan merebut benteng-benteng itu. Tiga hari setelah saya tiba, pasukan sudah punya artileri yang terorganisir,” kata Napoléon.
Baca juga: Kolberg, Film Perang di Tengah Perang
Napoléon memulainya dengan membangun dua baterai di Bukit Saint-Laurent dan Pantai Brégallion di timur laut Pelabuhan Toulon. Akibatnya, sejumlah kapal Inggris yang merapat di pesisir Benteng l’Eguilette di selatan lokasi baterai-baterai Napoléon, terpaksa menyingkir ke Pelabuhan Toulon. Napoléon berupaya merebut Benteng l’Eguilette agar bisa menempatkan meriam-meriamnya. Selain lebih dekat, dari sana meriam-meriam itu lebih leluasa membombardir Toulon.
Tetapi, ia butuh tambahan pasukan infantri untuk memukul garnisun Inggris di Bukit Mont Caire sebelum bisa merebut Benteng l’Eguilette. Maka ia minta bantuan Jenderal Carteaux tambahan 3.000 infantri untuk bisa menyerang bukit itu. Namun, Carteaux ternyata hanya membantu 400 prajurit pimpinan Mayjen Henri François Delaborde. Akibatnya, rencana serangan Napoléon pada 22 September gagal. Sialnya, dalam dua hari Inggris berhasil memperkuat Mont Caire dengan membangun Benteng Mulgrave berikut puluhan meriamnya.
Jenderal Jacques François Dugommier, atasan Carteaux, yang mendengar keluhan Napoléon, lantas memecat Carteaux. Ia pegang sendiri pasukannya pada medio November. Melihat konsolidasi Inggris-Napoli di Mont Caire, Dugommier mempercayakan semua rencana penyerangan pada Napoléon yang baru dipromosikan jadi mayor. Semua sumber daya pun dikerahkan sesuai strategi yang dicanangkan Napoléon.
“Hanya ada satu rencana yang memungkinkan –rencananya Bonaparte,” tulis Dugommier kepada Kementerian Perang di Paris, dikutip Frank McLynn dalam Napoleon: A Biography.
Baca juga: Aliansi Amerika-Jerman di Pertempuran Kastil Itter
Napoléon membangun lagi dua baterai yang posisinya sangat dekat dengan Benteng Mont Caire. Pada 30 November, dua baterai itu diserang pasukan Inggris-Napoli yang dikomando Jenderal Charles O’Hara. Namun, Dugommier dan Napoléon bisa mumukul mundur lagi bahkan melukai O’Hara hingga membuatnya menyerahkan diri pada Napoléon. Ironisnya, 12 tahun sebelumnya di Yorktown ia juga ditangkap dan menyerahkan diri kepada George Washington dalam Perang Kemerdekaan Amerika Serikat.
Napoléon yang dipromosikan jadi kolonel lalu mendesain serangan ke Benteng Mulgrave dengan menggunakan 32 ribu personel, 12 ribu di antaranya pasukan infantri Jenderal Dugommier dan lima ribu pasukan baru pimpinan Jenderal Jean François Cornu de La Poype.
Diiringi hujan deras pada 16 Desember malam, pasukan Prancis menyerang serentak dan Napoléon terjun langsung pada serangan gelombang kedua. Derasnya hujan membuat meriam dan senapan jadi tak berguna selain sebagai alat pukul dan serangan bayonet. Tak ayal pertarungan jarak dekat antara pasukan Prancis dengan Inggris-Napoli berlangsung sengit. Napoléon bahkan terluka kena bayonet di pahanya walau tetap bertahan memimpin serangan.
Lepas dini hari 17 Desember, Prancis akhirnya menguasai Benteng Mulgrave. L’Eguilette dan Tour de la Balaquier menyusul jatuh menjelang pagi. Siangnya, Napoléon langsung menempatkan 10 meriamnya menghadap Pelabuhan Toulon.
Laksamana Samuel Hood pun panik. Ia buru-buru mengevakuasi pasukan gabungan dan melarikan puluhan kapalnya dari pelabuhan. Belasan ribu warga Toulon yang sebelumnya memberontak berusaha ikut kabur kapal-kapal Inggris. Toulon praktis jadi kota terbuka untuk direbut Napoléon.
Baca juga: Kisah Plakat Pelantikan Raja Inggris
Akibatnya, warga yang hendak kabur namun tertinggal jadi korban balas dendam pasukan Prancis. Pembantaian mulai terjadi pada 18 Desember pagi. Pasukan Prancis yang gelap mata menghabisi sekira 200 jiwa per hari hingga dua pekan berikutnya.
Kabar kemenangan gemilang di Toulon itu –jadi kemenangan pertama Napoléon yang membuatnya mulai dikenal kalangan militer maupun politisi republik– sampai ke kota-kota lain. Republiken dalam waktu sekejap merebut kembali beberapa wilayah yang dikuasai pemberontak. Revolusi Prancis terselamatkan.
“Saya menjanjikan Anda kesuksesan yang brilian, dan, seperti yang Anda lihat, saya telah memenuhi janji saya,” tukas Napoléon dalam suratnya kepada Kementerian Perang, dikutip David P. Jordan dalam Napoleon and the Revolution.
Baca juga: Nasib Tragis Raja Inggris yang Dimakzulkan