Johny Indo, mantan narapidana kakap kasus perampokan kurun 1970—1980-an, meninggal dunia di Jakarta pada 26 Januari 2020. Dia sempat mendapat vonis hukuman penjara selama 14 tahun untuk menebus laku kriminalnya. Dia kesohor lantaran sepak terjangnya di dunia kriminal begitu licin, cerdik, dan berpegang pada kode etik buatannya sendiri.
Kelar menjalani hukuman penjara, Johny menempuh laku agamis. Dia menjadi pendeta Serani, lalu beralih lakon sebagai pendakwah Islam. Jelang akhir hayat, dia kembali lagi sebagai penganut Serani. Untuk mencapai keputusan itu, dia telah mengalami hidup penuh pergulatan batin. Tegangan-tegangan antara menjadi perampok, bintang film, suami, dan ayah.
Johny Indo terlahir dengan nama Johanes Hubertus Eijkenboom dari pasangan lelaki Belanda dan perempuan Indonesia. Ayah Johny bernama Mathias Eijkenboom, seorang serdadu Belanda. Dia datang ke Indonesia selama kurun Agresi Militer Belanda I, Juli—Agustus 1947.
Mathias seharusnya bertugas meringkus perlawanan kaum Republiken, tetapi malah bersimpati kepada orang-orang itu, lalu jatuh cinta dengan Sophia, perempuan setempat. Mereka menikah. Kemudian Johny lahir di Garut pada 6 November 1948. Kelahiran Johny ikut memperkuat ikatan Mathias dengan Indonesia. Dia memilih berada di sisi kaum Republiken
Baca juga: Trauma Serdadu Belanda
Keputusan Mathias tidak mudah diterima oleh siapapun, baik dari tentara Belanda maupun dari kaum Republiken. Rekan-rekan Belandanya menganggap Mathias layaknya pengkhianat, sedangkan segelintir orang-orang Republik mencurigainya sebagai mata-mata. Mathias mesti kerja keras membuktikan kesungguhannya. Istrinya turut membantu agar orang-orang Republik percaya kesungguhan Mathias.
"Orangtuanya yang berdarah Indonesia dan Belanda tidak mau begitu saja menyerah dengan keadaan," catat Aktuil, 14—28 Juni 1982, dalam "Johny Indo Mulai Dari Ransel, Thomson, Mouser, Sampai Nusa Kambangan".
Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. Tentara Belanda berangsur pulang ke negeri asalnya. Mathias tetap tinggal dan diterima masuk ke Kesatuan Siliwangi dengan pangkat Letnan Satu Tituler. Dia bertugas di Garut dan Bandung, Jawa Barat, hingga mengundurkan diri pada 1960.
Indo Minder
Mathias sekeluarga pindah ke Mangga Dua, Jakarta, untuk memulai hidup baru. Usaha bengkel jadi tumpuan hidup keluarga kecil itu. Di lingkungan baru, Johny kecil bergaul dengan anak-anak sepantarannya. Salah satunya juga bernama Johny. Untuk membedakan keduanya, warga menyebut Johny anak Mathias sebagai Johny Indo.
Bagi Johny anak Mathias, panggilan Indo tidak menyenangkan. Sebab orang-orang memanggilnya Indo untuk mengolok-ngolok fisiknya. "Ia lalu bertumbuh menjadi anak yang pemalu, minder karena mempunyai hidung yang mancung dan bermata biru," catat Willy A. Hangguman dalam Johny Indo Tobat dan Harapan.
Kepercayaan diri Johny mulai tumbuh kala dia bertemu dengan Stella, teman sekelasnya di Sekolah Menengah Pertama. Rumah mereka pun bersebelahan. Saban kali Johny mencari tahu keberadaan Stella. Tiap hari pula dada Johny sesak oleh keinginan mengungkapkan perasaannya. Dia tak tahan lagi, lalu menyatakan cintanya pada Stella di tengah jalan. Tapi Stella menampik cintanya.
Johny pulang ke rumah. Hatinya patah. Kepalanya serasa mau pecah. Dia enggan makan dan belajar. Hari-harinya habis di kamar. Mathias melihat gelagat ini. Anaknya lagi patah hati.
Baca juga: Sukarno dan Johny Indo Menemukan Tuhan di Penjara
Mathias mengatakan kepada Johny, "Anak lelaki tak boleh cengeng!" Singkat. Tapi membuat Johny bangkit hari demi hari. Lukanya memang masih terbuka, tapi sakitnya sudah hilang. Dia kembali mengejar Stella. Dan kali ini, Stella menerima cintanya.
Johny dan Stella menikah pada usia muda, 16 tahun. Keduanya lekas memperoleh anak hingga empat. Johny menanggung lima orang. Dia bekerja dari pagi sampai malam sebagai montir di bengkel ayahnya, lalu lanjut sebagai sopir truk trailer.
Di tengah-tengah kerja itu, Johny kadang menyesal. “Mengapa saya harus menikah muda? Sampai badan dan tulang rontok untuk cari uang.” Padahal teman-temannya masih bisa bermain atau melanjutkan sekolah.
Kegalauan Johny bertambah kuat ketika dia menerima kabar ayahnya meninggal dunia pada 1973. Johny terpukul. Tapi sedih itu pribadi. Dia tak mau berbagi dengan siapapun. Dia ingat ucapan ayahnya, “Anak lelaki tak boleh cengeng!”
Menjadi Kriminal
Sepeninggal sang ayah, Johny harus menanggung ibu dan adik-adik angkatnya. Jauh hari sebelumnya, sang ayah mengambil empat anak sebagai anak angkatnya.
Johny berganti-ganti profesi untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Dari menjadi sopir, pegawai katering, model foto, sampai ujungnya jadi bintang iklan dan film.
Wajah Indo ternyata laris-manis di dunia hiburan pada dekade 1970-an. Padahal semasa kecil dulu di lingkungan rumahnya, Johny diolok-olok karena wajah Indonya. Kemudian zaman berputar. Orang-orang mulai suka dengan wajah Indo.
Johny pun beroleh untung dari wajah Indonya. Dia masuk dunia hiburan. Uang mudah singgah padanya, tapi gampang pula pergi darinya.
Baca juga: Kisah Pelarian Johny Indo dari dari Penjara
Johny menyisihkan sebagian penghasilannya untuk keluarga. Sisanya dia pakai untuk membeli pistol, mengunjungi klub malam, dan bermain gila dengan perempuan lain tanpa diketahui oleh istrinya. Menabung dan berhemat tak pernah terlintas di pikirannya. Hingga suatu hari dia menyadari dirinya benar-benar bokek. Saat itu pula teman-temannya datang bertamu.
Kepada Johny, seorang teman curhat tentang kesulitan hidupnya. Tak punya pekerjaan, tak ada uang, tak cukup keahlian. Mirip dengan keadaan Johny. Tawaran main iklan dan film sedang seret. Dia menganggur sementara waktu, bokek, dan enggan kembali menggunakan keahlian lamanya sebagai montir dan sopir.
"Bagaimana kalau kita merampok saja?" kata teman Johny.
Johny pikir itu ide gila. Tapi diam-diam dia mengiyakan. Sejak lama, Johny telah membaca banyak buku detektif karya Nick Carter. "Dari buku tersebut dia mendapat 'ilmu maling'," terang Hangguman.
Johny adalah pembaca rakus buku-buku sejarah, spionase, cowboy, perang, dan silat Tiongkok. Semua buku itu membawanya ke imajinasi liar tentang perampok berkelas. Baginya, merampok bukannya tidak boleh, melainkan harus pilih-pilih. Jangan nanggung. Sekali dapat, banyak uangnya.
Johny akhirnya menempuh laku kriminal itu. Dia merencanakan strategi, taktik, persenjataan, dan hari-hari beraksinya. Dia juga membuat kode etik untuk diri dan komplotannya. Tak boleh melukai, membunuh, dan memperkosa. Jika seseorang melanggar, Johny akan menghajarnya.
Masa-masa 1978—1979, warga Jakarta gempar dengan perampokan toko emas berturut-turut. Selang waktunya berbeda-beda. Jumlah rampokannya besar-besar. Tapi korban nyawa dan luka minimal benar. Polisi kewalahan mencari pelakunya. Itulah aksi Johny dan komplotannya.
Johny lolos berkali-kali. Dia bangga juga akan aksinya. Tapi hati kecilnya tak bisa bohong. Ada rasa bersalah pada ibu, istri, dan anak-anaknya. Bagaimana kalau nanti tertangkap? Nasib ibu, anak, dan istri memenuhi pikiran Johny.
Seorang Johny juga punya rasa takut. Saban kali dia naik bus, matanya mendelik dan waspada. Kalau-kalau ada orang yang mengikuti, dia akan sigap menarik pistol dari pinggangnya.
Suatu hari istri Johny pulang ke rumah naik angkutan umum. Johny bertanya macam-macam kepada istrinya. Apa ada orang yang bertanya-tanya tentang Johny? Siapa saja yang diajak ngobrol di dalam bus? Seperti apa tampang orang yang duduk di samping istrinya? Dan seterusnya.
Penyesalan Johny
Stella tak mengerti pertanyaan Johny. Dia menganggapnya sebagai bentuk perhatian. Dia baru tahu mengapa Johny bertanya seperti itu ketika polisi mendatangi rumahnya jelang Subuh, 18 April 1979. Suaminya adalah seorang kriminal paling dicari polisi.
Aksi-aksi Johny dan komplotannya akhirnya terendus polisi. Satu per satu komplotan itu ditangkap. Johny yang terakhir. Dia ditangkap polisi di Cisaat, Sukabumi, Jawa Barat, dalam goa persembunyiannya pada 26 April 1979. Warga bersorak dan berteriak. "Mampus saja, kau!"
Dunia Johny berubah total. Cakrawalanya sebatas ruang penjara. Makanannya lebih cocok untuk bebek. Pakaiannya cuma dua setel. Bersama itu, anak kelima Johny lahir. Harusnya dia berada di sisi istrinya. Tapi pilihannya menjadi rampok telah membawanya ke sel sempit. Jauh dari keluarga.
Baca juga: Penjara Tak Bikin Tobat
Keluarga Johny menghadapi hari-hari berat. Lingkungan sekitar mencemooh mereka. Anak-anak Johny enggan berangkat sekolah. Mereka malu. Johny tahu itu dari surat-surat anaknya. Dia dibekap rindu pada keluarga. Dia sangat menyesal. Matanya banjir.
"Kita tidak akan selamanya hidup sengsara. Ada saatnya yang segera datang untuk kebahagiaan kita," tulis Johny dalam suratnya tertanggal 11 April 1982, seperti termuat di Aktuil. Pada bagian lain, Johny berjanji kepada anak-anaknya akan terus memperbaiki diri di dalam penjara dan saat keluar penjara nanti. Surat itu membesarkan hati anak-anak. Mereka masuk sekolah lagi.
Johny menyelesaikan masa hukumannya pada 27 Februari 1988. Dia pulang ke keluarganya dan berupaya menunaikan janjinya. Dia menjadi lebih relijius hingga nyawanya terbang ke pangkuan Tuhan pada 26 Januari 2020.