Masuk Daftar
My Getplus

Para Pelarian dari Penjara

Kisah pelarian napi dari penjara Nusakambangan. Dari seorang diri sampai massal. Apa penyebabnya?

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 04 Agt 2018
Para napi di penjara pada masa kolonial. Tangan dan kaki mereka terikat. Sipir memegang rotan. Tekanan dan kekerasan santapan sehari-hari mereka. (Wikipedia/Tropenmuseum).

HIDUP dalam penjara tidak pernah enak. Saban hari menyantap makanan itu-itu saja: nasi, sayur asem, sop, ikan asin, telur.

“Sudah itu saja. Tiap hari diselang-seling dan dijatah. Nasinya setaraf makanan bebek,” ungkap Ibrahim, mantan narapidana kasus kepemilikan narkoba kepada Historia.

Cakrawala napi sebatas kompleks penjara selama berbulan-bulan, bahkan tahunan. Rasa bosan dan rindu akan keluarga mudah hinggap. Kekerasan dan penularan penyakit sering menimpa napi. “Penjara itu neraka dunia. Tak banyak kebebasan,” lanjut Ibrahim. Beberapa napi tak tahan dan berupaya kabur.   

Advertising
Advertising

Percobaan napi untuk kabur dari penjara telah mengada sejak pemerintah kolonial Belanda memberlakukan sistem penjara pada abad ke-19. Menurut R.A. Koesnoen dalam Politik Pendjara Nasional, alasan utama napi kabur tersebab tekanan dari sipir dan poorman, napi tukang pukul.

“Makin keras tekanan, makin keras mendidihnya gerak daya tersebut. Akibatnya pelarian atau pembunuhan. Ibarat bensin yang direbus. Makin keras ditutup, makin keras tekanan keluar,” tulis Koesnoen.

Koesnoen tak menyebut contoh kasus pelarian napi secara detail. Tapi dia mencatat ada aturan tentang kepenjaraan muncul dari sejumlah kasus pelarian para napi. Aturan itu termaktub dalam Surat Edaran Kepala Djawatan Pendjara, 15 September 1932, No. G. 1/278/4.

“Narapidana yang suka melarikan diri dikirim ke penjara yang ada pekerjaan dalam penjara atau dipekerjakan dalam tambang batubara di Sawahlunto,” demikian sepenggal isi surat tersebut.

Penyebab Napi Kabur

Kemerdekaan Indonesia pada 1945 mengubah orientasi pengelolaan penjara. Pemerintah berupaya menjadikan penjara tempat resosialisasi napi ke masyarakat. Artinya, perlakuan terhadap napi tak harus selalu condong pada tekanan dan kekerasan. Ada pembinaan spiritual, jasmani, dan keahlian untuk mempersiapkan mereka kembali ke masyarakat.

Tapi gagasan penjara sebagai tempat resosialisasi bukanlah bermaksud menjadikan napi betah di penjara. Apalagi sampai hidup enak-enakan. Hidup dalam penjara tetaplah keras dan terbatas. Terlebih lagi sebagian besar penjara Indonesia menempatkan napi bersama-sama dalam satu sel.

“Dengan adanya mereka bersama-sama dalam kamar mudahlah mereka mengadakan permufakatan-permufakatan jahat. Baik untuk pemberontakan dan pelarian besar-besaran maupun untuk perusakan tembok atau pelarian sendirian,” tulis Koesnoen.

Maka, kasus pelarian napi tetap tersua. Majalah Suara Buruh Kependjaraan, gawean organisasi Serikat Buruh Kependjaraan, edisi Oktober-Desember 1959 mencatat dua kasus pelarian napi selama dekade 1950-an di kompleks penjara Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Penjara Nusakambangan berada di sebuah pulau. Sekelilingnya hutan lebat. Ia terbagi atas tiga kompleks: Permisan, Karang Tengah, dan Batu. “Sebagian besar penghuninya narapidana berat dan ditambah dengan narapidana ringan yang berasal dari sekitarnya,” tulis Koesnoen.

Peristiwa pelarian pertama terjadi di Permisan pada 9 September 1957 dan peristiwa kedua di Karang Tengah pada 7 Oktober 1959. Peristiwa pertama meminta dua nyawa pegawai penjara dan beberapa rekannya terluka parah. Peristiwa kedua makan satu nyawa pegawai penjara gugur dan satu rekannya kena sabetan parang. 

Napi dalam peristiwa kedua berhasil merebut parang dan senapan mauser dari lemari penyimpanan pada siang hari. “Adapun cara narapidana tersebut mengambil senjata yang berada di dalam almari senjata tersebut dengan jalan merusak gembok sehingga patah karena dibetel,” tulis Suara Buruh Kependjaraan.

Usai melumpuhkan dua pegawai penjara, napi pelarian mendapat serangan balasan dari pegawai penjara lainnya. Sebuah peluru bersarang di tubuhnya, tapi tak cukup membuatnya rebah. Dia mampu bertahan dari rasa sakit dan keluar dari bangunan penjara. Dia masuk ke hutan sekitar kompleks penjara.

Sore hari bantuan untuk pegawai penjara datang dengan persenjataan lengkap. “Pasukan Korps Keamanan Nusakambangan (KKN) telah siap di Karang Tengah bersama dengan kepolisian untuk menghadapi peristiwa tersebut dan mengadakan operasi di dalam hutan mencari pemberontak tadi,” tulis Suara Buruh Kependjaraan.

Napi pelarian tak berdaya menghadapi belasan pasukan dan luka menganga di tubuhnya. “Pada jam 18.00 lebih dari pihak KKN bersama dengan pihak kepolisian telah berhasil membekuk batang lehernya pemberontak tersebut,” catat Suara Buruh Kependjaraan.

Tapi ini bukanlah akhir dari upaya pelarian napi di penjara kelas berat Nusakambangan. Zaman kemudian berganti. Dan pelarian di Nusakambangan melibatkan napi dalam jumlah yang lebih besar.

Pelarian Massal

Johny Indo, perampok ulung toko emas di Jakarta, telah menjalani masa hukuman hampir 15 bulan di penjara Permisan. Awal Mei 1982, dia menerima surat dari anaknya. Surat itu bercerita tentang keadaan Stella, istrinya. Sudah banting tulang, penghasilannya hanya cukup untuk beberapa hari. Di bagian lain surat, anaknya juga mengabarkan ibu kandung Johny sedang sakit keras.

“Surat itu sungguh membangkitkan rindu pada rumah, rindu pada istri, anak-anak, dan ibunya,” tulis Willy A. Hangguman dalam Johny Indo Tobat dan Harapan. Johny merenungkan isi surat beberapa hari. Di sesela perenungan, dia melihat gelagat mencurigakan dari rekan-rekannya. Dia tahu mereka merencanakan pelarian.

Suatu Minggu, Johny mengikuti kebaktian di dalam penjara. Pikirannya tertuju lagi pada surat anaknya. Dia juga teringat rencana pelarian rekan-rekannya. Niat ikut melarikan diri pun tumbuh.

Johny menghampir ke rekan-rekannya, mengatakan dia akan turut pelarian. Rekannya tak langsung menyambut niat Johny. Mereka para bajingan. Tidak gampang percaya satu sama lain. Kalau bukan karena ingin mencapai kebebasan, mereka biasanya berkelahi untuk membuktikan siapa paling jago. Tapi sekarang mereka berusaha percaya satu sama lain, biarpun pelan-pelan.

Setelah meyakinkan rekan-rekannya bahwa dirinya bukan pengkhianat, Johny mendapat kepercayaan. Dia mengusulkan cara pelarian. Kontak fisik dengan sipir tak mungkin dihindari. Tapi Johny tak suka perebutan senjata. “Ini kan bukan zaman revolusi lagi,” kata Johny. Sebagian napi menolak usul Johny, beberapa lainnya mengiyakan. Tak ada kesepakatan.

Hari Kamis, 20 Mei 1982, Permisan sepi dari penjagaan. Sebagian besar sipir berwisata dengan keluarga. Hanya ada empat sipir berjaga. Salah satunya berusia setengah baya. Para napi baru saja makan siang. Sebagian besar bermalas-malasan di suatu ruangan.

“Tiba-tiba narapidana yang sedang menjalani hukuman penjara 13 tahun (dan baru akan habis tahun 1988 mendatang), ditambah lagi 17 tahun penjara untuk kejahatan lain, menyerang sipir penjara setengah baya itu sehingga terjadi pergulatan,” tulis Subagyo PR dkk. dalam Rekaman Peristiwa 1982.

Johny ambil bagian mengeroyok sipir. Belasan narapidana kemudian menyasar ruang penyimpanan senjata. Tiga sipir kewalahan menghadapi mereka, dan akhirnya roboh.

Para napi menguasai ruang penyimpanan senjata. Mereka membuka gerbang. Puluhan narapidana yang tadinya tak terlibat dalam rencana pelarian, jadi ikut-ikutan kabur. Tercatat 34 narapidana kabur menuju hutan lebat, mencari bibir pantai, mengharap kebebasan.

Berita pelarian menyebar ke penduduk sekitar penjara. Mereka mengungsi. Napi kabur merupakan hal biasa di penjara. “Dimana-mana narapidana dengan berbagai cara pasti ingin bebas dan keluar. Ini menunjukkan mereka masih manusia normal,” kata Ahmad Arif, Direktur Jenderal Pemasyarakatan ketika itu. Tapi lain cerita jika puluhan napi kabur bersamaan. Maka, ketakutan segera menyebar.

Ratusan petugas berdatangan. Mereka tidak semua masuk hutan. Sebagian berjaga di pinggir pantai. Mereka tahu hutan Nusakambangan begitu liar. Ada ular, macan kumbang, dan binatang buas lainnya.

Napi pelarian melawan banyak hal di hutan. Kegelapan, binatang buas, kelaparan, dan tembakan petugas. Satu per satu napi pelarian kandas. Johny juga menyerah pada 1 Juni 1982. Upaya pelarian 34 napi itu gagal. Ada yang mati diterjang timah panas petugas, ada yang menyerah, ada pula yang diterkam binatang buas.

Berhari-hari cerita pelarian napi ini menyita halaman depan surat kabar nasional. Persoalan tentang pengelolaan penjara muncul lagi. Pejabat menjawab dengan mengatakan bahwa hukum tetap akan mengejar yang berbuat salah kemana pun. Mereka juga berjanji memperbaiki keadaan penjara untuk mencegah napi kabur dan peristiwa berdarah terulang.

Baca juga: 

Penjara Tak Bikin Tobat
Penjara untuk Perempuan Kriminal
Ketika Sipir Berserikat di Dalam Penjara
Sukarno dan Johny Indo Menemukan Tuhan di Penjara

TAG

penjara nusakambangan johnyindo narapidana pelarian

ARTIKEL TERKAIT

Ketua PSI Meninggal di Sukamiskin Secuplik Kisah Salah Tangkap Sengkon dan Karta Tak Bisa Bayar Utang Dipenjara di Ruang Bawah Tanah Para Penguasa Penjara Cipinang Legendaris Cerita Bob Hasan di Nusakambangan Tak Ditangkap Polisi, Sayuti Melik Dongkol Sukarno di Usia 29 Di Balik Keindahan Nusa Penida Ulah Sukarno Pasca Dibui Sang Orator Keluar dari Penjara