Masuk Daftar
My Getplus

Penjara Tak Bikin Tobat

Dari tempat penyiksaan, penjara diupayakan jadi tempat yang lebih humanis. Dirusak oleh pegawainya sendiri.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 26 Jul 2018
Narapidana antre makanan di penjara Malang tahun 1921-1932. (Tropenmuseum).

PENJARA jadi bahan gunjingan khalayak lagi. Kemarin lalu perkara rusuh napi teroris di Mako Brimob, Depok, Jawa Barat, sekarang perilaku cemar pegawai penjara dengan napi rasuah di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung.

Boro-boro berupaya menjadi manusia susila di dalam penjara, para napi malah melanggar pidana lagi dengan menyogok pegawai supaya tetap hidup nyaman di lapas. Pegawai pun enteng saja menerima sogokan. Perilaku dua kelompok ini jauh dari tujuan awal pengelolaan penjara nasional setelah kemerdekaan.

Penjara berasal dari sistem hukuman Eropa abad ke-17 untuk menggantikan hukuman badan dan mati. “Pidana penjara adalah pidana pencabutan kemerdekaan,” ungkap R.A. Koesnoen dalam Politik Pendjara Nasional.

Advertising
Advertising

Penjara masuk ke Hindia Belanda pada abad ke-19. Sistem hukuman ini tegak di atas landasan formal pasal 10 Wetboek van Stafrecht voor de Inlanders in Nederlansch Indie atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbitan 1872.

Baca juga: Dari Tapa ke Penjara

Koesnoen menambahkan, asal-usul kata “penjara” berasal dari bahasa Jawa, penjoro, yang berarti “tobat”. “Dipenjara berarti dibikin tobat,” tulis Koesnoen. Caranya, para pegawai penjara menekan, meneror, dan menggiring narapidana untuk bertobat atau kapok secara lekas. Ternyata penjara tak menghilangkan hukuman badan, melainkan justru melestarikannya.

Menurut Koesnoen, sistem penjara Hindia Belanda hanya bertujuan membuat narapidana bertobat atau kapok. “Memang tujuan penjara kolonial, maksud utama untuk melaksanakan pidana, agar jangan berbuat melanggar hukum lagi bukan karena baik, tetapi karena kapok,” tulis Koesnoen. Padahal, lanjutnya, tidak dapat seorang narapidana menjadi baik karena dibikin tobat.

Baik di sini berarti berperilaku sesuai dengan pandangan hidup masyarakat tempat dia berada saat itu. Ketika Indonesia telah mencapai kemerdekaannya pada 1945, pandangan hidup masyarakatnya berubah: dari masyarakat terjajah yang memandang segala sesuatu berdasarkan panduan kolonialis menjadi masyarakat merdeka yang memandang segala sesuatu berdasarkan adat, budaya, dan hukum bangsa sendiri.

Baca juga: Cerita dari Balik Jeruji Besi

Kemerdekaan turut pula memperbarui orientasi penjara. “Tugas kepenjaraan bukanlah hanya dengan cara pasif saja menyimpan orang-orang yang telah melakukan kejahatan, lalu menunggu saat mereka harus dikeluarkan dari penjara terjerumus lagi dalam jurang kejahatan,” tulis Suara Buruh Kependjaraan, Mei-Juni 1954.

Penjara juga bertugas memperbaiki tabiat para narapidana agar sesuai dengan asas dan tujuan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan hukum turunannya. Tujuannya agar mereka kembali menjadi bagian dari masyarakat (resosialisasi) luar penjara. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah membentuk satu jawatan khusus kepenjaraan.

Jawatan Kepenjaraan wajib membentuk tatanan masyarakat penjara yang terdiri atas sekumpulan hukum dan cara berperilaku penghuninya (pegawai dan narapidana). Koesnoen menyebut semua upaya untuk mengubah sistem penjara kolonial ke sistem penjara nasional disebut politik penjara nasional.

Politik Penjara Nasional

Politik penjara nasional menempatkan pegawai penjara sebagai ujung tombak perbaikan tabiat narapidana. “Tiap pegawai harus turut serta dengan aktif dan penuh semangat cinta-kasih membimbing para narapidana menjadi seorang manusia Indonesia susila,” catat Koesnoen.

Pegawai penjara mesti berupaya keras menjadi teladan bagi para narapidana. Keteladanan mereka berpangkal pada perbuatan keseharian yang baik di dalam penjara.

“Terutama sekali kita harus menghindarkan tindakan-tindakan yang koruptif, main suap, main sogok, dan tahu-sama-tahu, dengan keinsyafan yang akibatnya sangat merugikan, tidak saja negara dan jawatan tetapi juga yang dididik, dan pihak lainnya,” catat Suara Buruh Kependjaraan, Juni-Agustus 1955.

Politik penjara nasional juga membebankan tugas pada narapidana. “Antara narapidana dengan para pegawai harus ada kerjasama dalam berjuang mencapai cita-cita politik penjara,” tulis Koesnoen.  

Baca juga: Penjara untuk Perempuan Kriminal

Para narapidana berperan selayaknya murid sekolah. Mereka mempunyai serangkaian kegiatan dan pendidikan selama masa penahanan. Guru-guru mereka ialah para pegawai penjara. Hubungan keduanya setara, tetapi berbeda dalam tugas. Tak heran jika muncul anggapan bahwa penjara telah menjelma rumah pendidikan negara pada dekade 1950-an. Tapi anggapan ini lantas disanggah oleh perwakilan serikat pegawai penjara.

“Penjara itu tidak diganti dengan RPN (Rumah Pendidikan Negara), tetapi penjara tempat melatih yang maksudnya mendidik, melatih, memperbaiki orang-orang terpenjara dengan jalan berusaha bagaimanakah agar mereka itu kembali ke dalam masyarakat akan menjadi orang yang berguna dan bermanfaat bagi nusa dan bangsanya,” tulis Suara Buruh Kependjaraan, Maret-Mei 1957.

Lembaga Pemasyarakatan

Perubahan orientasi penjara nasional terjadi lagi pada 1962. Istilah lembaga pemasyarakatan mulai bergaung dari pidato Menteri Kehakiman Sahardjo di Blitar. Sahardjo menegaskan kembali gagasannya di hadapan Senat Guru Besar Universitas Indonesia pada 1963.

Sahardjo mengemukakan tentang apa itu lembaga pemasyarakatan melalui dua kalimat pidatonya. Pertama, “Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum dia dipenjarakan.” Kedua, “Tidak boleh selalu ditunjukkan pada narapidana bahwa dia itu penjahat.”

Dua kalimat tadi membawa penjara kepada orientasi perlakuan yang kian humanis terhadap para narapidana. Gagasan ini memperoleh perdebatan luas di ranah pemerintahan dan kalangan ahli hukum. Tapi akhirnya konsep ini resmi diterima oleh pemerintah sebagai orientasi baru politik penjara nasional.

 “Istilah pemasyarakatan secara resmi dipergunakan sejak 27 April 1964 melalui amanat Presiden Republik Indonesia sehubungan dengan adanya Konferensi Dinas Kepenjaraan untuk seluruh Indonesia yang diadakan di Lembang dekat Bandung dari tanggal 27 April sampai tanggal 7 Mei 1964,” tulis Bahrudim Suryobroto dalam “Pemasyarakatan, Masalah dan Analisa” termuat di Prisma, 5 Mei 1982.

Baca juga: Ketika Sipir Berserikat di Dalam Penjara

Selain mengubah orientasi politik penjara nasional, Konferensi Dinas Kepenjaraan juga mengeluarkan prinsip pengelolaan penjara. Antara lain kerjasama triumvirat pegawai penjara, para narapidana, dan masyarakat; kegotongroyongan dan penghayatan dari pegawai penjara dalam mewujudkan pemasyarakatan; tidak menjadikan bangunan penjara sebagai tujuan pemasyarakatan, melainkan hanya sarana; dan tujuan akhir dari pemasyarakatan adalah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Tapi gagasan ini tak selalu jalan. Ada saja pegawai penjara dan narapidana yang keluar dari gagasan pemasyarakatan. “Masyarakat penjara adalah miniatur masyarakat luar,” tulis Koesnoen. Di luar penjara ada perilaku korup, begitu pula di dalam penjara. Suap-menyuap atau tahu-sama-tahu antara pegawai penjara dan narapidana. Kongkalikong sindikat bohong kadung lumrah di penjara.

Koesnoen dulu telah mengusulkan, “Jadi rentetan instansi-instansi tersebut bukannya bertugas memberantas kejahatan, tetapi mendidik penjahat-penjahat. Jika demikian keadaanya lebih baik semua instansi tersebut dibubarkan.”

Menengok perbuatan pegawai penjara dan narapidana rasuah di Lapas Sukamiskin sekarang, masih aktualkah saran Koesnoen?*

TAG

penjara

ARTIKEL TERKAIT

Ketua PSI Meninggal di Sukamiskin Secuplik Kisah Salah Tangkap Sengkon dan Karta Tak Bisa Bayar Utang Dipenjara di Ruang Bawah Tanah Para Penguasa Penjara Cipinang Legendaris Cerita Bob Hasan di Nusakambangan Tak Ditangkap Polisi, Sayuti Melik Dongkol Sukarno di Usia 29 Di Balik Keindahan Nusa Penida Ulah Sukarno Pasca Dibui Sang Orator Keluar dari Penjara