Pada Mei 1923, belasan ribu buruh kereta api dan trem di seluruh Jawa mogok massal. Penyebabnya, gaji mereka dipangkas dan penghapusan tunjangan karena resesi ekonomi. Serangkaian pemogokan pun dilakukan dari Semarang, Solo, Yogyakarta, Bandung hingga Batavia.
Di Solo, Sayuti Melik turut serta bersama para buruh menyebarkan pamflet-pamflet pemogokan. Ia masih berusia 15 tahun. Namun, ia kerap mendatangi rapat-rapat aksi dan urun bicara di berbagai forum.
Saat itu, seorang kawan Sayuti Melik ditangkap polisi karena tertangkap basah menyebarkan pamflet propaganda. Namun, Sayuti Melik justru dibiarkan saja. Ia hanya ditanya, “Nopo niku, gus?” atau “apa itu, gus” oleh seorang polisi merujuk pada pamflet yang dibawanya.
Meski membawa pamflet seperti yang lain, Sayuti Melik tak dicurigai sama sekali karena tubuhnya yang terbilang kecil. Ia dianggap masih anak-anak.
“Saya mendongkol,” kata Sayuti seperti dikutip majalah Minggu Pagi, 11 Maret 1951.
“Saya sudah berasa pemimpin kok cuma dipanggil gus saja!” katanya lagi.
Panggilan “gus” merujuk pada “cah bagus” yang biasa dipakai untuk menyebut anak lelaki. Sayuti tentu kesal. Namun, memang begitulah ia. Bahkan namanya “Melik” juga berkaitan dengan perawakannya yang kecil.
Baca juga: Sayuti Melik Mengubah Beberapa Kata dalam Naskah Proklamasi
Sayuti Melik tidak lahir dengan nama Sayuti Melik. Orang tuanya memberi nama Mohammad Ibnu Sayuti. Ketika kecil, ia kerap disapa Sayuti atau Yuti. Nama Melik, baru dipakainya sebagai nama samaran sebagai “Penjaga-Pojok” pada majalah Pesat sekira tahun 1938.
“Kata ‘Melik’ artinya ‘Kecil’. Dalam bahasa Jawa ada kata ‘melik-melik’ artinya kecil tapi tampak dari jauh,” jelas Sayuti Melik dalam Wawancara dengan Sayuti Melik.
Selain itu, tambahan “Melik” di belakang namanya juga berguna untuk membedakan dua Sayuti. Sayuti yang satu lagi wartawan De Locomotief. Karena memakai kacamata, dia dipanggil Sayuti Melok. Sementara Sayuti yang lebih “kecil” dan juga bermata cenderung lebih kecil, dipanggil Sayuti Melik.
Nama samaran pada majalah yang ia terbitkan di Semarang itu kelak begitu melekat padanya. Ia sebenarnya punya nama samaran lain, seperti Si Kecil, mBah Sodrono, dan sebagainya. Tapi Melik-lah yang kemudian abadi bersama Sayuti menjadi Sayuti Melik.
Baca juga: Sayuti Melik-SK Trimurti: Kisah Asmara Sepasang Pejuang
Meski tak ikut ditangkap polisi pada 1923, Sayuti Melik di kemudian hari justru sering masuk bui.
Pada 1924, Sayuti Melik dipenjara di Ambarawa karena dituduh menghasut rakyat. Ia kemudian ditangkap karena terlibat pemberontakan komunis 1926 dan dipenjara di Banyumas. Pada 1927, ia kemudian diasingkan ke Boven Digul, Papua, dan baru dibebaskan pada 1933.
Tiga tahun bebas dari Boven Digul, Sayuti Melik bekerja sebagai kerani pabrik karet di Singapura. Namun, karena tak bisa lepas dari aktivitas politiknya, ia kembali ditangkap di Singapura karena tulisannya dan dituduh terlibat pemogokan di wilayah koloni Inggris itu. Ia ditangkap polisi rahasia Inggris DSB (Detective Special Branch) di Singapura pada 1936.
Setahun dipenjara di Singapura, Sayuti Melik kemudian dikirim ke Hindia Belanda dan langsung dijebloskan ke Penjara Gang Tengah (Salemba) hingga 1938. Lepas dari Penjara Gang Tengah, Sayuti ke Semarang dan mendirikan majalah Pesat. Karena majalahnya memuat tulisan yang dianggap berbahaya, ia kembali dijatuhi hukuman penjara selama 20 bulan. Kali ini di penjara Sukamiskin, Bandung dan baru keluar pada 1941.
Baca juga: Sayuti Melik Merasa Bebas di Dalam Penjara
“Belum lama saya mengenyam kebebasan, pada 1942 saya ditangkap oleh Jepang dan disiksa, kemudian tahun 1943 diadili di depan Koto Hoin. Tahun 1943 itu juga saya divonis 3 tahun penjara, ditempatkan di penjara Ambarawa,” ungkap Sayuti Melik.
Pasca kemerdekaan, Sayuti Melik yang berperan mengetik naskah Proklamasi, ternyata belum lepas dari bayang-bayang jeruji besi. Ia terlibat kudeta terhadap Kabinet Sutan Sjahrir II pada 3 Juli 1946. Ia kemudian ditahan di Kepatihan, Yogyakarta.
Sayuti Malik sempat kabur dari penjara ketika terjadi Agresi Militer Belanda I, bersama Adam Malik, Chaerul Saleh, dan kawan-kawan lainnya. Ia justru pulang ke rumah sehingga kembali dijemput polisi. Tapi enteng saja, Sayuti Melik berkata, “Baik, saya teruskan mandi dulu!” Usai mandi, Sayuti Melik digelandang ke penjara Wirogunan dan baru keluar pada 1948.
Terakhir, pada Agresi Militer Belanda II, Sayuti Melik ditangkap oleh Belanda dan dipenjara di Ambarawa. Ia baru dibebaskan pasca Konferensi Meja Bundar (KMB).