Masuk Daftar
My Getplus

Tak Bisa Bayar Utang Dipenjara di Ruang Bawah Tanah

Penjara di ruang bawah tanah gedung Balai Kota Batavia tak hanya menampung tahanan budak dan kriminal. Mereka yang tak bisa bayar utang juga mendekam di sana.

Oleh: Amanda Rachmadita | 12 Sep 2023
Litografi Stadhuis atau Balai Kota di Batavia antara tahun 1881 dan 1889. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons).

MUSEUM Fatahillah di kawasan Kota Tua, Jakarta, merupakan bangunan bersejarah yang tak pernah sepi dikunjungi wisatawan. Bangunan yang memiliki nama resmi Museum Sejarah Jakarta itu didirikan pada 1707 di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal VOC Joan van Hoorn (menjabat 1704–1709).

Proses pembangunan gedung bertingkat dua itu, yang di masa silam disebut Stadhuis atau Balai Kota, memakan waktu lima tahun. Meski begitu, dua tahun sebelumnya pada 1710, bangunan tersebut sudah diresmikan oleh Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck (menjabat 1709–1713), putra Jan van Riebeeck, pendiri Capetown, kota tertua di Afrika Selatan.

Bangunan itu sesungguhnya bukan Balai Kota pertama yang dibangun VOC di Batavia. Menurut sejarawan Adolf Heuken SJ dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta, balai pertama didirikan secara tergesa-gesa pada 1620, tak lama setelah Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen merebut dan mendirikan kota baru bernama Batavia. Namun, bangunan itu hanya bertahan selama enam tahun. Setelahnya pembangunan Balai Kota kedua dilakukan pada 1626 yang berlokasi di tempat yang sama dengan gedung Stadhuis yang kini populer dengan panggilan Museum Fatahillah berdiri.

Advertising
Advertising

“Jadi, bangunan sekarang ini menggantikan balai kota kedua (1627–1707) yang lebih kecil serta sederhana, dan dianggap tidak pantas lagi bagi suatu kota yang begitu termasyhur dan kaya seperti Batavia,” sebut Heuken.

Baca juga: Dibuang Gara-gara Menagih Utang

Pada masa silam gedung ini tak pernah sepi dari pengunjung yang mengurus berbagai keperluan. Mulai dari mendaftarkan pernikahan, memperjuangkan hak-hak mereka dalam ruang-ruang pengadilan, memeroleh perlindungan bagi anak-anak yatim piatu, beribadah pada hari Minggu, hingga dijebloskan ke dalam penjara untuk menjalani hukuman.

Wartawan Tanu Trh menulis dalam “Fatahillah dengan Kisah-kisah Seram” yang termuat dalam Kisah Jakarta Tempo Doeloe, sepanjang abad ke-18 penjara yang ada di bagian bawah gedung Balai Kota selalu penuh oleh tahanan. Pada 1736 misalnya, tercatat 437 orang yang ditahan, 64 orang di antaranya dipenjara karena tidak membayar utang.

Bagi penduduk Batavia, kasus utang-piutang yang tak terselesaikan dibawa ke lembaga pemerintahan kota, salah satunya College van Schepenen yang bertugas menangani semua perkara perdata dan pidana yang melibatkan warga bebas kota Batavia dan orang-orang asing. Lembaga ini menyelesaikan perkara-perkara khususnya perdata seperti utang yang tak dibayar, pertikaian suami-istri, perbuatan zina, penghinaan, larinya budak laki-laki dan perempuan, hingga perjudian.

Baca juga: Menonton Eksekusi Hukuman Mati di Batavia

Sebelum abad ke-18, hukuman penjara bagi mereka yang tak bisa membayar utang memiliki masa hukuman yang tidak terbatas. Oleh karena itu, tak sedikit orang yang mencoba kabur dan mencari perlindungan ke daerah lain. Contohnya kisah pelarian Letnan Guo Baoge. Menurut Sejarawan Leonard Blussé dan Nie Dening dalam The Chinese Annals of Batavia, The Kai Ba Lidai Shiji and Other Stories (1610–1795), Guo Baoge dijebloskan ke penjara karena utang pada 1 April 1692, tetapi pada bulan Juni berikutnya ia melarikan diri ke Semarang, di mana ia kemudian bergabung dengan para pemberontak Tionghoa yang ingin menyerahkan kota itu kepada Susuhunan.

Menjalani hari-hari di penjara tentu tak menyenangkan, bahkan bagi sebagian besar orang sebagai mimpi buruk. Tak hanya kondisi penjara yang penuh sesak oleh tahanan, ancaman penyakit juga menghantui mereka. Heuken menyebut penjara paling buruk terdapat di bawah lantai dasar gedung Balai Kota. “Hampir tidak ada ventilasi dalam ruang-ruang rendah di bawah tanah yang amat pengap itu,” sebutnya.

Baca juga: Hukuman Bagi Pelaku Perselingkuhan

Menurut arsiparis Frederik De Haan dalam Oud Batavia Volume 1, di bawah Balai Kota terdapat ruang bawah tanah yang keberadaannya mendahului pembangunan Balai Kota yang baru, dan mungkin merupakan “lubang gelap” atau “doncker gat” yang disebutkan pada 1640. Ketika Balai Kota dibangun kembali, ruang bawah tanah ini juga dibuat semakin kokoh. Di tempat itulah para tahanan menjalani masa hukuman dan hanya diberi makan nasi dengan air. Hukuman itu diberikan agar mereka dapat merenungkan kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.

 

Sementara itu, menurut arsiparis Mona Lohanda dalam The Kapitan Cina of Batavia, 1837-1942, hukuman yang diberikan kerap kali diskriminatif. Sebagai orang Kristen, orang mardijker memiliki lebih banyak hak istimewa daripada orang non-Kristen. Sebagai contoh diskriminasi tersebut, sebuah peraturan pada 1642 mengatakan bahwa pembayaran untuk orang non-Kristen yang dijual sebagai budak karena utang harus lebih kecil dari jumlah utangnya. Meski peraturan konyol ini kemudian dihapus pada 1766, peraturan tersebut kembali dikeluarkan tahun 1778.

“Dan setelah tahun 1770, orang-orang Kristen yang terjerat utang tidak lagi diborgol, atau dirantai sama sekali setelah tahun 1773. Bahkan di penjara orang Kristen menerima makanan yang lebih baik daripada orang non-Kristen,” tulis Mona.

Baca juga: Pembunuhan yang Menggemparkan Hindia Belanda

Seiring berjalannya waktu, masa hukuman tidak terbatas atau seumur hidup mulai direvisi. Sejak tahun 1763 masa tahanan untuk mereka yang tak bisa membayar utang dibatasi hingga enam tahun, namun pada 1778 pembatasan ini dicabut lagi untuk orang-orang non-Kristen. Tak hanya masa hukuman yang berkurang, jumlah tahanan yang mendekam di penjara akibat tak bisa membayar utang pun kian menyusut. Seperti pada 1774 dilaporkan hanya dua orang yang dipenjara karena utang, sementara kebanyakan tahanan yang dipenjara adalah budak.

Meski begitu, walau masa tahanan tak berlangsung lama, namun dampaknya tak bisa dibilang kecil. Seperti terjadi pada Tan Boen Sok, seorang perwira Tionghoa yang pernah menjabat sekretaris kedua Dewan Tionghoa pada 1856. Atas perintah Dewan Kehakiman, pada 5 Agustus 1870 ia dinyatakan bangkrut dan berutang 3.000 gulden. Untuk melunasi utangnya, ia dipenjara selama empat bulan.

Namun, bila biasanya mereka yang dipenjara diberhentikan sementara, Tan Boen Sok justru dipecat dari jabatannya. Selepas menjalani masa tahanan, ia tak dikembalikan ke posisinya. Masa depannya kian sulit karena ia dianggap “tidak ramah” dan memiliki kecenderungan untuk memusuhi pihak berwenang. “Seorang pejabat tinggi dari Divisi C, yang mengawasi urusan Tionghoa, menduga bahwa Tan Boen Sok hanyalah korban dari permusuhan penguasa Batavia,” tulis Mona.*

TAG

penjara utang batavia voc

ARTIKEL TERKAIT

Arsip Merekam Anak Yatim Zaman Kolonial Tuan Tanah Bikin Rel Kereta di Selatan Jakarta Bohl Tuan Tanah Senayan dan Matraman Tionghoa Nasionalis di Gelanggang Bulutangkis Tuan Tanah Menteng Diadili Tanujiwa Pendiri Cipinang dan Bogor Prabowo Berenang di Manggarai Saat Peti Laut jadi Penanda Pangkat Pegawai VOC Perantau Tangguh yang Menaklukkan Batavia Susunan Pemerintahan VOC