KASUS perselingkuhan menjadi pembahasan yang tak ada habisnya digunjingkan oleh masyarakat. Begitu pula di media sosial, perselingkuhan ramai dibahas warganet hingga trending topic.
Konflik asmara melibatkan lebih dari dua orang kerap terjadi di zaman kolonial Belanda. Pelaku perselingkuhan dan perzinaan tak hanya mendapat sanksi sosial, tetapi juga terancam hukuman berat.
Menurut sejarawan Barbara Watson Andaya dalam The Flaming Womb: Repositioning Women in Early Modern Southeast Asia, orang-orang Belanda Calvinis cenderung menunjukkan sikap keras dan tegas dalam menentang perbuatan asusila maupun kejahatan seksual yang terjadi di dalam koloninya. Dewan Gereja secara teratur meninjau kondisi moral umatnya dan tak segan memberikan hukuman bagi pelaku pelanggaran seksual, perzinaan, pergundikan, dan perceraian yang melanggar hukum dengan mengucilkan para pelakunya dari persekutuan. Tak hanya itu, lembaga hukum VOC pun kerap memberikan hukuman cambuk, cap, maupun mempertunjukan pelaku asusila di depan umum.
“Di Batavia awal abad ke-17, misalnya, seorang gadis berusia dua belas tahun dan seorang pemuda berusia tujuh belas tahun dituduh memiliki hubungan gelap; sang pemuda dieksekusi, sementara si gadis ditelanjangi dan dipukuli,” tulis Andaya.
Baca juga: Skandal Putri Gubernur Jenderal VOC
Tak hanya diterapkan di Batavia, hukuman itu juga diberlakukan di wilayah koloni Belanda lainnya, seperti yang terjadi di Ambon pada 1672. Seorang pria muslim dan wanita Kristen dinyatakan bersalah melakukan hubungan seksual dan dihukum cambuk serta bekerja dengan dirantai. Si pria dihukum dua tahun, sementara si wanita satu tahun.
Selain dihukum cambuk dan dipertontonkan di depan umum, sejarawan Leonard Blussé dan Nie Dening dalam The Chinese Annals of Batavia, the Kai Ba Lidai Shiji and Other Stories (1610-1795) menyebut bahwa pelaku zina juga umumnya dihukum penjara. “Mereka yang melakukan zina dengan wanita Belanda atau Tionghoa ketika ketahuan akan ditempatkan di penjara. Namun pria dan wanita akan ditempatkan di penjara yang berbeda,” tulis Blussé dan Dening.
Kasus perselingkuhan dan perzinaan tak jarang dibawa ke meja hijau. Contohnya kasus yang dialami Anna Maria Kepelaar dari Batavia, istri Gouert Christiaan van Draame, yang dilaporkan melakukan perzinaan dengan Alexander van Bougies, budak Justinus Vink pada 1735 dan 1736.
Baca juga: Menonton Eksekusi Hukuman Mati di Batavia
Menurut Kerry Ward dalam Networks of Empire, Forced Migration in the Dutch East India Company, kasus perselingkuhan yang melibatkan Anna Maria merupakan salah satu kejahatan yang sangat keji yang pernah terjadi di seluruh permukiman Kompeni. “Bukan hanya kekasih yang berasal dari status sosial yang berbeda, tetapi juga tiga budak perempuan yang memfasilitasi hubungan terlarang itu, yakni Cassandra van Batavia, Isindra van Sumbawa, dan Sitti van Boegis, semuanya merupakan budak milik suami yang dikhianati,” tulis ward.
Kasus perselingkuhan yang dituduhkan kepada Metta Christina Woordenberg, istri pengusaha Elso Sterrengberg, juga menjadi sorotan. Ia dituduh melakukan hubungan seksual yang mendekati bigami. Akibatnya, pernikahan Metta pun berakhir dan ia dijatuhi hukuman 50 tahun penjara di Tuchthuis, penjara wanita di Batavia yang juga dikenal sebagai Spinhuis, sebuah hukuman yang berat di sebuah kota dengan tingkat kematian yang tinggi. Tak hanya itu, Metta juga mendapat kecaman dari gereja. Hukuman berat dijatuhkan kepada Metta dianggap sebagai upaya untuk menindak tegas pelaku pelanggaran norma sosial, sementara informasi hukuman atau tindakan kepada kekasih gelapnya justru tidak ditemukan.
Baca juga: Ambisi Jan Pieterszoon Coen Membangun Koloni di Batavia
Hukuman berat juga dijatuhkan kepada Catrina Casembroot dan teman-temannya yang berdarah Asia karena terlibat skandal yang menghebohkan pada 1639. Sejarawan Leonard Blussé dalam Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC menulis bahwa Catrina, janda Nicolaes Casembroot, pedagang merdeka di Batavia, terlibat sengketa hukum imbas keterlibatannya dalam peristiwa perzinaan dengan beberapa laki-laki, baik ketika suaminya masih hidup maupun sesudah meninggal dunia.
Tak hanya dituduh melakukan perzinaan, menurut Peter Lee dalam Sarong Kebaya, Peranakan Fashion in an Interconnected World, 1500–1950, Catrina juga dituduh melakukan praktik sihir, mencari nafkah dengan mencuri barang, serta meracuni seorang wanita Belanda bernama Grietgen Bartholomeus dan memberikan ramuan cinta beracun kepada suami Grietgen, yakni Andries Cramers. Catrina melakukan perbuatan tersebut dibantu teman-temannya. Oleh karena itu, ia dan kaki tangannya ditangkap untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
“Beberapa kaki tangannya juga diadili: Lucia de Coenja, karena memberikan racun dan ramuan cinta kepada pasangan itu; Paula de Silva, karena menyediakan racun dan ramuan; serta Annika da Silva karena melakukan perzinaan dengan beberapa orang, menggunakan ramuan ajaib, meracuni suaminya, dan memasok ramuan ke Catrina Casembroot,” tulis Peter Lee.
Baca juga: Pembunuhan yang Menggemparkan Hindia Belanda
Setelah dengan teliti mempertimbangkan surat-surat dan bukti-bukti kuat yang dikemukakan di persidangan, khususnya pembuktian yang dikemukakan oleh Dewan Legislatif, maka diputuskan Catrina dan teman-temannya dieksekusi di tempat yang lazim bagi hukuman kejahatan.
“Catrina akan dibenamkan di dalam tong berisi air, sementara tiga orang lainnya akan diikat pada tiang dan satu demi satu dicekik sampai mati, dan kemudian akan dicap pada wajah mereka serta disita semua harta milik mereka,” tulis Blussé.
Hukuman dalam kasus perselingkuhan dan perzinaan berbeda kala pelakunya pria Eropa. Menurut Kerry Ward, hal ini terjadi karena seks yang dilakukan seorang wanita burgher (penghuni kota) dengan seorang budak dihukum sebagai kejahatan perzinaan karena merupakan perilaku yang tak lazim sehingga tak dapat diterima.
“Sedangkan pelecehan seksual terhadap budak wanita oleh tuannya diam-diam dimaafkan oleh masyarakat kolonial dan jarang dihukum,” tulis Ward. Hubungan gelap yang marak terjadi antara tuan dan budak perempuan itu pula yang menumbuhkan cemburu dan curiga para nyonya Belanda. Kecurigaan berlebihan bahkan membuat para wanita Belanda tak segan bertindak keji seperti melakukan kekerasan kepada budak-budak perempuan mereka.*