Ambisi Jan Pieterszoon Coen Membangun Koloni di Batavia
Jan Pieterszoon Coen berambisi membangun sebuah koloni yang beradab di Batavia. Ia membawa istrinya untuk memperkenalkan peradaban.
SELAIN mendirikan berbagai bangunan dan infrastruktur, Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen menyadari bahwa Batavia yang ia bangun usai menghancurkan kota Jayakarta, juga memerlukan warga yang akan menghuni kota. Oleh karena itu, Coen mengajukan ide kolonisasi Eropa untuk Batavia.
Peneliti dan akademisi Susan Blackburn menulis dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun bahwa menurut Coen hal itu merupakan cara terbaik mendapatkan penduduk yang setia dan terampil serta dapat melakukan pekerjaan penting seperti akuntansi dan pembangunan kapal untuk VOC. Tak hanya itu, para penduduk Eropa di Batavia nantinya juga dapat bertindak sebagai garnisun lokal sehingga VOC dapat menghemat pengeluaran untuk pertahanan.
Namun, gagasan Coen terkait koloni Eropa di Batavia tak menarik minat penduduk di Eropa. “Sedikit sekali orang Eropa yang ingin datang ke Batavia, sedangkan yang sudah ada di sana, mayoritas adalah ‘sampah masyarakat’ dalam pandangannya,” tulis Susan.
Baca juga: Batavia dalam Litografi
Menurut pengarang asal Amerika Serikat, Willard A. Hanna dalam Hikayat Jakarta, demi memuluskan rencananya, Coen sering kali mengajukan permohonan kepada Heeren XVII agar dikirimi petani-petani Belanda yang jujur, rajin, beragama, dan rendah hati, berikut keluarga mereka untuk menciptakan golongan baru yang cemerlang di Hindia. “Akan tetapi, para Heeren XVII tak berkepentingan pada pemukiman yang menetap, maka burgerij (warga kota) berasal dari persediaan yang ada,” sebut Hanna.
Coen mejelaskan kepada para direktur VOC yang kikir bahwa sebuah koloni akan menghemat uang. Para imigran yang menetap akan menyediakan generasi pekerja untuk VOC yang dapat dijadikan tentara maupun pekerja kantor.
Akademisi dan sejarawan Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia mengungkapkan bahwa Coen menyarankan agar penduduk koloni diambil dari anak-anak panti asuhan di Belanda. “Coen yakin bahwa para yatim piatu yang tidak memiliki keluarga, kekayaan, atau ikatan apapun, tidak akan memiliki keinginan untuk pulang ke Belanda,” tulis Taylor.
Baca juga: Nama Batavia Diresmikan
Selain itu, Coen yang dikenal puritan dan memegang teguh ajaran Calvinis, ingin membangun koloni dengan orang-orang yang “menikah dan baik-baik”. Oleh karena itu, ia memohon kepada para direktur VOC untuk mengirim para perempuan muda yang memiliki perilaku baik.
Pada 1620, para direktur VOC memutuskan untuk mendukung visi Coen menciptakan masyarakat Belanda di Asia. “Tahun itu juga mereka menyampaikan berita yang sangat menggembirakan kepada Coen bahwa tiga keluarga dan beberapa gadis akan berlayar ke Batavia dengan kapal Mauritius,” sebut Taylor.
Para gadis itu mendapatkan satu setel pakaian dari VOC –nantinya ini menjadi kebiasaan untuk memberikan setiap perempuan mas kawin sebelum mereka menikah. Gadis-gadis itu menandatangani kontrak seperti pegawai VOC tetapi tidak menerima gaji. Kontrak tersebut mengikat mereka untuk menetap selama lima tahun di Asia. Jika mereka sudah menikah diwajibkan tinggal selama 15 tahun. VOC juga memberikan jaminan pakaian dan uang ekstra. Selain itu pemerintah Batavia berkewajiban menyiapkan tempat tinggal yang pantas dan bantuan lainnya untuk para keluarga pionir ini.
Enam gadis pertama disiapkan dengan baik agar tiba di Batavia pada 1622. Mereka disebut “para anak gadis VOC”. Menurut Taylor, sebutan itu melekat dengan konotasi negatif yang tidak pernah luntur meski banyak di antara mereka kemudian melakukan lompatan sosial yang besar karena menikah dengan para pedagang.
Para gadis yang dikirim ke Batavia kebanyakan anak yatim piatu atau anak dari keluarga sangat miskin, walau seiring berjalannya waktu beberapa perempuan dari keluarga baik-baik juga melakukan perjalanan ke Hindia Belanda. Biasanya mereka datang sebagai istri para pegawai senior VOC.
Perjalanan menuju Hindia Belanda cukup berat bagi para wanita Eropa. Meski mereka mampu bertahan dalam perjalanan laut dan dari berbagai penyakit yang merebak di Batavia, mereka masih menghadapi sejumlah tantangan dan bahaya, khususnya para gadis muda tanpa ikatan.
“Surat-surat dari para pegawai senior VOC memberikan sedikit gambaran tentang kondisi yang harus dihadapi oleh para imigran perempuan di pemukiman koloni di awal abad ke-17. Termasuk terjerumus ke dalam pelacuran dan kehilangan hak untuk dipulangkan,” tulis Taylor.
Baca juga: Batavia Koloni Tanpa Perempuan
Di sisi lain, Coen tak hanya meminta para direktur VOC mengirimkan para perempuan muda untuk mewujudkan visinya membangun koloni yang beradab di Batavia. Ia juga meminta izin mengambil seorang istri yang akan dibawa ke Batavia sebelum ia diangkat menjadi gubernur jenderal untuk kedua kalinya.
George Masselman dalam The Cradle of Colonialism menulis, Coen menjatuhkan pilihan kepada Eva Ment dari keluarga terpandang di Amsterdam. “Sudah pasti Coen ingin memberi contoh bagi orang lain –para orang penting yang dengan keluarga dan modal– dapat dibujuk untuk menjadikan Hindia Timur sebagai rumah baru mereka,” tulis Masselman.
Setelah menikah di Belanda pada 8 April 1625, Coen membawa Eva Ment yang berusia jauh lebih muda darinya, berlayar menuju Batavia pada 1627. Arsiparis Frederik de Haan dalam Oud Batavia Volume 1 menulis, dalam pelayaran tersebut Eva didampingi oleh saudara perempuan dan laki-lakinya. Menurut Taylor, Eva yang kala itu masih berusia 21 tahun berlayar ke Batavia dengan tugas “memperkenalkan peradaban”.
Bersama dengan saudara perempuannya, Lijsbeth yang kemudian menikah dengan Pieter Vlack, anggota Dewan Gereja Hindia, Eva menjalani hari-harinya di Batavia sebagai wanita Eropa terpandang. Sebagai istri gubernur jenderal, Eva menolak dievakuasi dan memilih tetap tinggal di kastil mendampingi suaminya di tengah pengepungan kota Batavia oleh pasukan Mataram. Tak hanya berupaya memenuhi kebutuhan sang suami, menurut Joyce Tulkens dalam Jan Pieterszoon Coen: de Bedwinger van Indie, Eva juga membantu anak buahnya dan mengikuti pertempuran dengan begitu cermat.
Kehidupan Eva berubah setelah Coen meninggal dunia pada malam hari menjelang tanggal 21 September 1629, tiga hari setelah ia melahirkan anak perempuan yang diberi nama Johanna. Setelah melalui masa berkabung, Eva dan putrinya kembali ke Belanda, namun Johanna meninggal dunia di tengah pelayaran.
Matthijs Antonius van Rhede van der Kloot dalam De gouverneurs-generaal en commissarissen-generaal van Nederlandsch-Indië, 1610–1888 menyebut Eva Ment menikah lagi dengan Marinus Louwissen pada 29 September 1632. Namun, suami kedua Eva juga meninggal setelah menjadi ayah dari seorang anak laki-laki bernama Michiel Louisse. Setelah kematian suami keduanya, Eva menikah lagi dengan seorang lulusan hukum bernama Isaacq Buys. Eva yang di masa mudanya dikenal sebagai salah satu wanita Eropa pertama yang melakukan pelayaran ke Batavia tutup usiatahun 1652.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar