Masuk Daftar
My Getplus

Menonton Eksekusi Hukuman Mati di Batavia

Pada zaman Belanda, eksekusi hukuman mati menjadi tontonan banyak orang. Para pedagang memanfaatkan keramaian itu untuk mendapatkan uang.

Oleh: Amanda Rachmadita | 16 Feb 2023
Tjoe Boen Tjiang alias Impeh dihukum mati dengan cara digantung di lapangan Stadhuis (Balai Kota) Batavia pada 1896. (Tropenmuseum).

HUKUMAN mati tengah menjadi perbincangan masyarakat usai mantan Kepala Divisi Propam Polri, Ferdy Sambo divonis hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (13/2). Sambo dinyatakan bersalah dalam kasus pembunuhan berencana dan perintangan penyidikan terkait kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.

Berbeda dengan masa kini di mana eksekusi hukuman mati dilakukan secara tertutup, pada zaman Belanda pelaksanaan hukuman mati justru dilakukan di ruang terbuka dan dihadiri banyak orang. Lapangan Stadhuis (Balai Kota) di Batavia, yang kini dikenal dengan Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah, menjadi lokasi dilangsungkannya eksekusi hukuman mati.

Menurut sejarawan Alwi Shahab dalam Batavia Kota Hantu, kala Jakarta masih bernama Batavia, hukum pancung alias tebas leher bukan sesuatu hal yang baru bagi para penduduknya selama dua setengah abad. “Tampaknya, pelaksanaan hukuman yang memisahkan leher dari badan ini menjadi hiburan dan ditonton banyak orang,” tulis Alwi.

Advertising
Advertising

Baca juga: Gubernur Jenderal VOC Dijatuhi Hukuman Mati

Kala itu, karena belum ada pengeras suara, pengumuman waktu eksekusi hukuman mati diberitahukan melalui corong. Para pesuruh pengadilan mendatangi kampung-kampung di sekitar Glodok dan Pasar Ikan. Tak hanya menjadi lokasi eksekusi hukuman mati, pada abad ke-17 dan ke-18 area depan Stadhuis juga menjadi tempat orang-orang yang tengah menjalani hukuman.

“Orang-orang dipasung di lapangan berlantai batu di depan Balai Kota merupakan pemandangan yang biasa terlihat pada masa itu,” tulis Susan Blackburn dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun.

Eksekusi hukuman di ruang terbuka itu dilaporkan seorang Eropa yang berkunjung ke Batavia. Pada suatu hari di tahun 1676, ia melihat empat orang dipenggal, enam orang disiksa di atas roda, satu orang digantung, serta delapan orang dicambuk dan dicap.

Baca juga: Kepala Kampung Jawa di Batavia Dihukum Mati dengan Keji

Penduduk Batavia ramai-ramai mendatangi lapangan Stadhuis untuk menyaksikan proses eksekusi hukuman mati. Jalannya eksekusi itu tergambar dalam laporan seorang Barat yang datang ke Batavia pada akhir abad ke-19. Kala itu yang menjadi terpidana mati adalah Tjoe Boen Tjiang alias Impeh karena merampok dan membunuh dua orang wanita secara keji beberapa bulan sebelumnya. Ia dihukum gantung pada 1896.

Demi menyaksikan eksekusi hukuman mati tersebut, para penduduk dari berbagai tempat berdatangan ke lapangan Stadhuis dengan naik trem uap. Bahkan, tak jarang terlihat pedagang makanan, buah-buahan, dan minuman yang memanfaatkan keramaian itu untuk mendapatkan uang. Menurut Alwi, jumlah penonton yang memadati lapangan lokasi eksekusi hukuman mati itu mencapai ribuan orang dari segala penjuru.

Baca juga: Daendels Hukum Mati Pelaku Korupsi

Pada pukul tujuh pagi ketika eksekusi hukuman mati hendak dijalankan, bunyi genderang mulai terdengar. Massa yang telah ramai memenuhi lapangan mulai maju ke depan saat narapidana mendekati lokasi eksekusi hukuman mati. Pada masa VOC, menurut Alwi, pengadilan biasanya baru berlaku baik kepada para tahanan setelah mereka hendak dieksekusi, termasuk memberikan makanan yang enak-enak. Pada masa itu lazim para tahanan mendapat siksaan.

Hukum pancung bukan satu-satunya cara eksekusi hukuman mati bagi terdakwa. Hukuman mati di tiang gantungan juga beberapa kali dilakukan, salah satunya menimpa Oey Tamba Sia, putra seorang pedagang kaya di Batavia yang dikenal playboy, suka berjudi, dan menghisap madat.

Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik menulis, pada 1851 Oey Tamba Sia menjalani hukuman gantung sampai mati yang dilaksanakan pada saat fajar. Eksekusi ini dilakukan di lapangan di muka Balai Kota.

Baca juga: Pemberontakan Pieter Erberveld yang Gagal di Akhir Tahun

Eksekusi hukuman mati yang tak kalah keji juga dialami Pieter Erberveld. Ia dituduh hendak memberontak dan mengadakan pembunuhan massal warga Belanda di Batavia pada akhir tahun 1721.

Alwi Shahab dalam Saudagar Baghdad dari Betawi mencatat hukuman mati yang dialami Pieter Erberveld, “Pengadilan hari Rabu tanggal 8 April 1722 memutuskan bahwa ia bersama temannya Rd Kartadirja akan diikat pada sebuah salib. Kemudian tangan dan lengannya dipotong, kaki dan dada dijepit dengan jepitan panas hingga kepingan dagingnya terlepas. Badan keduanya kemudian akan dirobek dari bawah hingga atas. Kemudian jantung keduanya dilemparkan kemuka masing-masing.”

Selain itu, hukuman sampai mati juga diberikan kepada empat orang wanita yang dituduh melakukan perzinaan dan guna-guna tahun 1639. Salah satu terpidana, Catrina Casembroot, janda pengusaha di Batavia Nicolas Cassembroot, dibenamkan hingga mati ke dalam tong berisi air. Ia dituduh melakukan perzinaan baik ketika suaminya masih hidup maupun setelah meninggal dunia. Sementara tiga orang wanita lainnya oleh pengadilan diputuskan akan diikat pada tiang yang kemudian satu per satu dicekik hingga tewas. Wajah mereka dicap dan harta mereka disita.*

TAG

hukum hukuman mati

ARTIKEL TERKAIT

Produk Hukum Kolonial Terekam dalam Arsip Gubernur Jenderal VOC Dijatuhi Hukuman Mati Hukuman Kasus Pembunuhan di Masa Sultan Hamengkubuwono VI Dari Lapangan Berujung Penembakan Yap Thiam Hien Membela Soebandrio Jenderal Ibrahim Adjie Tembak Mati Perampok Jenderal Polisi Divonis Mati Mengadili Jenderal Polisi Bripda Djani Dikorbankan Kini Bharada E Dulu Bripda Djani