KEDUA remaja ini kerap bertukar pikiran dan perdebatan. Yang dibahas bukan soal sepele; teori, strategi, dan siasat perjuangan. Kadang sengit. Masing-masing mempertahankan pendapatnya. Tak mau kalah atau mengalah. Tapi masing-masing menghargai pendapat lawan.
“Saya senang sekali bertukar pikiran dengannya, dan terus terang, tak pernah terpikir bahwa dialah yang akan menjadi suami saya di kemudian hari,” tulis Trimurti.
Suatu ketika, mereka kembali berdebat. Tiba-tiba Yuti, panggilang akrab Sayuti Melik selain Si Kecil dan Mbah Sodrono, berkata: “Kalau begitu, saudara dapat bekerja sama dengan saya. Sebaiknya saudara menjadi istri saya saja.”
Spontan Trimurti terkejut. Dia belum berpikir soal perkawinan. Terlebih dengan Yuti, lelaki yang belum lama dikenalnya. Karenanya dia tak langsung memberikan jawaban. “Nanti saya pikirkan dulu.”
Setiba di rumah, Trimurti memikirkan ajakan Yuti.
Ini pinangan kali kedua yang menghampirinya. Pada 1930-an, seorang perjaka yang jadi pegawai PID dan bertugas mengawasi kegiatan politiknya, jatuh cinta padanya. Dia bertandang ke rumah dan mengungkapkan perasaannya: “Jika Anda bersedia menerima cinta kasih saya ini, saya pun juga bersedia meninggalkan pekerjaan dan masuk menjadi anggota Partindo.”
Baca juga: SK Trimurti, Menteri Perburuhan Pertama
Kala itu urusan asmara belum mampir dalam pikiran Trimurti. Dia lagi dimabok politik, bergabung dengan Partindo di bawah kepemimpinan Sukarno. Terlebih dia hanya ingin menikah dengan orang pergerakan agar bisa memahami aktivitas dan pemikirannya serta sama-sama berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Trimurti menolaknya. Kini, pinangan itu datang dari orang pergerakan.
Trimurti berkenalan dengan Yuti pada 1937. Saat itu Trimurti bekerja sebagai pembantu tetap harian Sinar Selatan, terbit di Semarang, yang dipimpin orang Jepang bernama Tsuda Kan dan Hiraki Isamu namun kerja redaksi sehari-hari ditangani redaktur Mashud Hardjokusumo, berusia 20 tahunan dan pernah belajar di Tokyo. Yuti menulis artikel untuk harian itu. Meski baru mengenalnya, nama Sayuti Melik tidaklah asing di telinga Trimurti. Sudah lama dia mendengar sepakterjang Yuti dari teman-teman seperjuangannya.
Janji Berjuang
Sayuti Melik lahir di Sleman, Yogyakarta, pada 25 November 1908, anak kedua dari lima bersaudara. Nama aslinya Mohamad Ibnu Sayuti. Ayahnya, Abdul Mu′in, seorang bekel jajar atau kepala desa di Sleman, sedangkan ibunya bernama Sumilah.
Menurut Dawam, putra dari Siti Hanjariah, adik Sayuti Melik, Abdul Mu’in pernah bekerja sebagai pokrol atau pengacara kaum tani yang tanahnya dikontrak perusahaan-perusahaan Belanda untuk perkebunan tebu dan tembakau. Suatu hari ada tanah petani yang sudah habis masa kontraknya, tapi oleh pengontrak masih ditanami tembakau. Maka ramai-ramai petani mencbuti tanaman tembakau. Terjadilah perkara.
“Pak Abdul Mu’in sebagai pembelanya dan berhasil menang. Jadi di masa penjajahan Belanda dia bisa mengalahkan orang Belanda. Dia terkenal di Yogya Utara,” ujar Dawam.
Ayahnya mengenalkan keberpihakan pada wong cilik sedari Yuti kecil. Namun, Yuti tak suka dengan gaya hidup ayahnya. “Bapak sangat menghormati ibunya tapi benci dengan ayahnya karena dianggap tak bertanggungjawab sebagai suami, dan katanya suka minum dan judi,” ujar Heru Baskoro, anak kedua dari pasangan Sayuti Melik dan S.K. Trimurti, yang kini tinggal di Kanada.
“Sejak pergi dari rumah hingga meninggalnya, beliau tidak pernah pulang ke kampungnya,” ujar Dawam.
Yuti belajar soal nasionalisme dari guru sejarahnya, seorang Belanda bernama H.A. Zurink, ketika belajar di sekolah guru di Solo pada 1920. Dia lalu belajar Marxisme dari majalah Islam Bergerak, yang dipimpin K.H. Misbach. Di umur 15 tahun, Yuti sudah terjun ke kancah perjuangan dan menulis di suratkabar dengan nama samaran “Si Kecil”. Dia berkali-kali ditahan karena tulisan-tulisannya. Pada 1926, dia dibuang ke Boven Digul. Sepulang dari pembuangan, setelah sempat ditangkap dan ditahan di Singapura, Yuti berjualan kain untuk menutup kegiatan politiknya sekaligus menyiasati larangan dari pemerintah Hindia Belanda. Dia juga menulis di beberapa suratkabar dengan nama samaran.
Baca juga: Kiprah Trimurti, Menteri Buruh Bersandal Jepit
Tri menimbang. Perbedaan politik bukanlah soal. Yuti memilih Partai Indonesia Raya (Parindra) yang didirikan Dr Soetomo, sementara Tri anggota Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) yang dipimpin Amir Sjarifuddin –kelak, setelah menikah, mereka juga tak pernah membicarakan soal politik di rumah. Pertanyaan terbersit di benaknya: apakah aku mencintainya? Apakah dia mencintaiku?
Setelah berpikir semalaman, Tri menerima lamaran Yuti. “Saya tak menengok lagi apa kata hati saya sehingga saya tak mementingkan segi emosi hubungan kami.”
Namun Mangunsuromo, ayah Trimurti, ingin anaknya menikah dengan seorang pegawai negeri atau lelaki dari keluarga terpandang. Ketika Yuti melamar anaknya, Mangunsuromo langsung menolaknya. “Kakek-nenek saya dari Ibu orangnya penuh tatakrama priyayi Jawa. Sedang ayah saya antifeodalisme dan segala anggah-ungguh. Waktu Pak Sayuti bertandang ke rumah, kakek menanyakan asal-usulnya. Pak Sayuti menjawab bahwa dia berasal dari rakyat biasa. Kakek tersinggung dan tidak menyetujui perkawinan Bu Tri dengan Pak Sayuti,” ujar Heru Baskoro.
Namun Trimurti bersikukuh pada pilihannya.
Pada 19 Juli 1938, Tri dan Yuti menikah di rumah Kartopandoyo, bekas digulis, di Kabangan, Solo. Beberapa teman seperjuangan menghadiri acara pernikahan sederhana itu. Mereka lalu menyewa sebuah kamar di atas loteng rumah seorang kawan, tanpa dapur atau ruang tamu.
Ketika menikah, hanya ada satu janji yang disepakati bersama: “Perjanjiannya? Bersama-sama berjuang,” ujar Tri seperti dikutip Tjiptoning.
Sementara Yuti menganggap perkawinan adalah suatu tingkatan dari perjuangan hidupnya; tadinya berjuang sendiri, sekarang berjuang bersama-sama, suami-istri. Dalam “Kawin untuk Meningkatkan Perjuangan!”, yang masuk dalam serial “Belajar Memahami Sukarnoisme”, dia menulis: “Perjodohan tidaklah berarti pemeliharaan istri atau suami, melainkan jembatan hidup. Bagi kaum pria tidaklah berarti menerima beban baru, dan bagi kaum wanita tidak berarti mendapatkan tuan baru!”
Klop.
“Pasangan yang menarik ini tidak sempat menikmati kehidupan berkeluarga yang tenteram. Sebagian besar hidup mereka terpaksa dijalani dalam penjara. Jika sang suami dibebaskan maka giliran sang istri untuk masuk penjara. Mereka berganti-ganti mengurus rumah tangga mereka dan anak bagi mereka. Mereka masing-masing mempunyai sebuah koper siap dengan pakaian di dalamnya untuk dipakai dalam penjara jika sewaktu-waktu polisi muncul untuk mengambil salah satu dari mereka ke penjara,” tulis Ahmad Subardjo Djojoadisuryo, yang mengenal Yuti sejak 1935 sewaktu dia jadi pengacara di Semarang, dalam Lahirnya Republik Indonesia.
“Dia dan istrinya yang cerdas Trimurti adalah tauladan dari pejuang-pejuang kemerdekaan tanpa pamrih,” tulis Subardjo.
Dari Proklamasi sampai Tiga Daerah
USAI proklamasi, revolusi sosial pecah di sejumlah daerah. Di Karesidenan Pekalongan, yang mencakup Brebes, Tegal, dan Pemalang, pada Oktober 1945 terjadi daulat-mendaulat atas kepala daerah, penculikan, dan pembunuhan yang dikenal sebagai Peristiwa Tiga Daerah. Yuti datang dari Semarang sebagai utusan pemerintah setelah kejadian clash dengan kenpeitai, bersama Subandrio dan Hugeng. Kedatangannya kali kedua, bersama Suprapto (Jaksa Agung), sebagai wakil Gubernur Jawa Tengah Mr Wongsonegoro dan wakil Presiden Sukarno.
“Sayuti Melik terlibat dalam serangkaian peristiwa yang genting dan menentukan, baik bagi kelanjutan revolusi sosial di Tiga Daerah maupun bagi pemantapan hubungan antara unsur-unsur politik bagu yang ingin merebut kekuasaan dari Jepang,” tulis Anton E. Lucas dalam Peristiwa Tiga Daerah.
Kehadiran Yuti tak diterima Gabungan Badan Perjuangan Tiga Daerah (GBP3D) yang berusaha menanamkan kekuasaan di Pekalongan. GBP3D didirikan dan diketuai K. Mijaya, seorang veteran gerakan buruh yang pada 1938 bergabung dengan PKI ilegal di bawah pimpinan Pamudji. Menurut Anton E. Lucas, pertentangan yang tak terdamaikan antara K. Mijaya dan Sayuti Melik timbul karena Sayuti tak menyetujui propaganda antifasis oleh PKI ketika Jepang mendarat dan akibatnya Sayuti dianggap sebagai informan Jepang.
“Usaha-usaha dari pemerintah untuk mengembalikan ketertiban semuanya sia-sia; bahkan Sayuti Melik pun hampir tewas di sana,” tulis Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, jilid 1.
Baca juga: Dua Buku Buruh Karya Menteri Buruh SK Trimurti
Saat itu Tri mendapat tugas dari Komite Nasional Indonesia untuk menyebarluaskan berita proklamasi ke Semarang. Di Semarang, dia mendengar kabar rencana pembunuhan atas suaminya oleh para pemberontak. Saat berada di Tegal untuk berunding, Yuti ditangkap oleh para pemberontak dan diarak ke alun-alun untuk dibunuh. Beruntung ada Suwignjo, eks Digulis, yang berhasil membujuk para penculik untuk membebaskannya. Namun Tri tak tenang. Dengan membawa dua anaknya yang masih kecil, dia menyusul suaminya. Mereka menginap di Hotel Merdeka di Pekalongan.
“Karena Sayuti sebagai utusan pemerintah tidak dapat masuk ke Tiga Daerah itu maka dia yang bukan utusan dan orang biasa saja barangkali masih ada kemungkinan masuk ke daerah tersebut,” tulis Soebagijo I.N.
Di kabupaten Tegal dan Brebes, Tri mendapat informasi bahwa kaum pemberontak berencana menyerbu Pekalongan dan menculik para pembesar di sana, termasuk suaminya. Ketika bertemu suaminya, dia tak menceritakan kabar itu karena tahu watak suaminya. Tri hanya menyarankan suaminya pergi ke Yogya untuk memberikan laporan kepada pemerintah, menyusul Suprapto. Yuti setuju. Ketika rombongan pemuda datang untuk mencari Yuti, mereka tak menemukannya. Selamatlah Yuti.
Dalam biografinya, Tri tak menyebut tujuannya ke Tiga Daerah kecuali menyelamatkan suaminya. Namun nama Trimurti sendiri disebut-sebut dalam rapat GBP3D di Brebes pada 25 November 1945 dengan inisial “S” yang berarti Sosrok atau Susuk. “Sosrok berarti menyingkirkan barang-barang yang dianggap kotor, nyusruk berarti merugikan. Misi S.K. Trimurti adalah melawan Tiga Daerah pada waktu itu,” tulis Anton E. Lucas.
Baca juga: Sayuti Melik Mengubah Beberapa Kata dalam Naskah Proklamasi
Dalam risalah rapat disebutkan Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) yang berpangkalan di Surabaya oleh “mevr. S.” diserahkan kepada Bung Tomo. Tangan-tangannya di Pekalongan, Soewarno Danoesapoetra, sudah janji kepada Weleri dan Kendal akan memberi senjata dan minta dari Tegal, Pemalang, Brebes. Tak jelas kaitan uraian risalah tersebut dengan Peristiwa Tiga Daerah.
Trimurti sendiri kena tangkap anggota BPRI di Solo dalam perjalanan menemui Bung Karno untuk melaporkan situasi Tiga Daerah. Peristiwa ini bagi Trimurti aneh karena dia baru saja berkunjung ke Bung Tomo di Surabaya setelah penghentian tembak-menembak di Semarang antara pemuda dengan Kido Butai.
Dalam risalah itu juga disebutkan bahwa pihak Tan Malaka berusaha agar Widarta bisa merobohkan Sjahrir. Menurut Anton E. Lucas, andaikata terjadi bentrokan fisik antara Tentara Keamanan Rakyat dan Tiga Daerah, ini akan menganggu stabilitas politik pemerintahan Sjahrir. “Ada anggapan bahwa Tan Malaka bergerak di Banten dengan tujuan ini juga. (Kegiatan S.K. Trimurti di Pekalongan mungkin ada hubungannya dengan usaha Tan Malaka tersebut),” tulis Lucas.
Eksperimen komunis di Tiga Daerah akhirnya tamat. K. Mijaya diadili di Pekalongan tapi bebas karena Belanda menyerang kota itu dan kemudian melanjutkan aktivitas politiknya. Sementara Widarta ditahan di Benteng Vredeburg di Yogya bersama puluhan pengikut Tan Malaka yang ditangkap setelah kup 3 Juli 1946. Setelah bebas, dia diadili oleh mahkamah partai (PKI) dan dieksekusi mati karena tuduhan membuat faksi, mendukung Tan Malaka, dan kesalahan-kesalahan politik di Pekalongan.
Trimurti sendiri akhirnya berhasil menemui Bung Karno untuk melaporkan kondisi Tiga Daerah.
Dalam Pusaran Revolusi
SELAMA revolusi, Tri dan Yuti berada di lingkaran dalam Tan Malaka yang mendirikan Persatuan Perjuangan (PP). Namun, sementara Tri tak bisa mengelak dari haluan partainya, PBI, yang dekat dengan Sayap Kiri-Amir Sjarifuddin, Yuti bisa lebih bebas menyampaikan dukungannya. Yuti menulis banyak artikel di Kedaulatan Rakyat –juga mingguan Kawan Rakyat terbitan Kedaulatan Rakyat di mana Yuti jadi redaktur kepala– yang mendukung PP dan mengkritik pemerintah. Karena itulah dia menjadi sasaran penangkapan yang dilakukan pemerintah untuk menggulung kelompok Tan.
Pada 18 Maret 1946, pagi hari, Yuti ditangkap di hotelnya di Madiun tanpa alasan apapun lalu ditahan di Solo. Saat itu ditahan pula Tan Malaka, Subardjo, dan Sukarni, dengan tuduhan kelompok ini berencana menculik anggota-anggota kabinet. Setelah 72 hari, Yuti dibebaskan dan pulang ke rumah sementara istrinya di Yogya.
Pada 27 Maret, terjadi penculikan atas Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan beberapa anggota kabinet oleh orang-orang yang tak dikenal. Atas upaya Sukarno, seluruh korban penculikan dibebaskan. Pada 3 Juli, Mayor Jenderal Sudarsono, pelaku utama penculikan yang sehaluan dengan kelompok PP, menghadap Sukarno dan menyodorkan maklumat yang antara lain berisi pemberhentian Kabinet Sjahrir II dan penyerahan pimpinan politik dari presiden ke Dewan Pimpinan Politik yang diketuai Tan Malaka. Sukarno tak terima dan memerintahkan penangkapan para pengantar maklumat. Setelah itu terjadi penangkapan-penangkapan lainnya.
Baca juga: Tuntutan Persatuan Perjuangan Indonesia Merdeka 100%
Yuti kembali ditangkap pada awal Juli 1946. Pada pukul satu dini hari dia dibangunkan oleh polisi bersenjata, yang bilang presiden mau berbicara. Yuti tak percaya karena panggilan datang tengah malam. Dan biasanya, kalau memang Bung Karno memanggil, cukup dengan telepon. Namun, seperti dikutip Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia jilid 2, “Karena memang sudah langganan ditangkap dan dipenjara, saya terima saja ditangkap,” ujar Yuti.
Polisi memintanya bergegas. Yuti tak mau. Tri bertanya ada surat perintah atau tidak; penangkapan hanya bisa dilakukan jika ada surat perintah. Polisi itu menyodorkan surat. Yuti tak membaca, mempercayakan pada istrinya. Yuti menyiapkan pakaian, selimut, semua keperluan dalam kopor, kemudian berangkat. Bersama sejumlah pengikut Tan, Yuti ditahan di penjara Wirogunan sebelum akhirnya dipindahkan ke Ponorogo. Mereka dituduh berada di balik penculikan Sjahrir, atau biasa disebut Peristiwa 3 Juli 1946, “untuk merebut kekuasaan dengan paksa”.
Tak ada yang bisa dilakukan Tri. Bahkan meski kemudian jadi menteri, dia tak mungkin membebaskan suaminya. Nasib tahanan tahanan 3 Juli tak pernah dibicarakan dalam kabinet, yang bersidang seminggu sekali. Menurut Trimurti, dikutip Poeze dalam bukunya tentang Tan Malaka jilid 3, itu adalah “urusan Amir”. Namun Tri bisa mengatur agar Yuti mendapat mesin ketik; dengan mesin ketik itulah Yuti mengetik manuskrip Tan Malaka di penjara.
Setelah melalui persidangan, Mahkamah Tentara Agung akhirnya menyatakan Yuti tak bersalah karena tak ada bukti tentang pengetahuan dan keterlibatan aktif dalam kegiatan yang terjadi di istana.
Ketika kekuatan PP mulai terkikis, muncul satu tokoh lain yang siap berhadapan dengan pemerintah. Musso, yang tiba di tanah air pada 18 Agustus 1948, segera mempersatukan kekuatan kiri dalam Front Demokrasi Rakyat dengan memperkenalkan resolusi “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”. Tri, yang jadi salah satu pimpinan Partai Buruh Indonesia (PBI), menentang fusi partai-partai kiri ke dalam PKI. Dia pun dituding sebagai Trotkys. Sementara Yuti, lewat artikelnya di Kedaulatan Rakyat, menulis bahwa konsepsi Musso bukan hal baru tapi pengulangan belaka dari program PP.
Baca juga: Peristiwa Madiun untuk Mewujudkan Republik Soviet
Rupanya Musso tak senang dengan sikap Yuti. Dalam percakapan dengan Musso di rumah Setiadjit pada 24 Agustus 1948, seperti dikutip Poeze dalam Madiun Bergerak, Tri harus menjawab pertanyaan kritis tentang pendirian suaminya. Tri membela suaminya dan menyatakan bahwa harus dibedakan pendirian politik antara suami dan istri.
Kekuatan Musso runtuh setelah Peristiwa Madiun. Sebagai pimpinan PBI, yang tergabung dalam FDR, Tri ditangkap di Juwana, ditahan di Pati lalu dipindahkan ke Yogya. Agresi militer Belanda II membebaskannya. Tri lalu ikut bergerilya. Yuti, yang juga ikut bergerilya, terluka. Mereka memutuskan pulang ke rumah, yang sudah mereka kosongkan, untuk mengambil obat-obatan.
Pagi itu, selain mengambil obat-obatan, Tri membakar dokumen-dokumen penting agar tak jatuh ke tangan Belanda. Setelah itu dia pergi. Sementara Yuti masih menyelesaikan urusan di rumah. Setelah Tri pergi, Belanda datang mencarinya. “Nah suami saya ya tolol, ‘Dia sudah pergi, saya suaminya.’ Ya ditangkap. Makanya dia ditahan di Wirogunan,” ujar Trimurti kepada Erwiza Tanjung. Setelah penyerahan kedaulatan, Yuti dibebaskan.
Tak Mau Diparo
PADA 1950, Tri ikut mendirikan Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis) –kemudian namanya diganti menjadi Gerwani– dan menjadi anggota pengurus besar. Sementara Yuti bergiat di Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai anggota dan pemimpin redaksi Suluh Indonesia (Sulindo), organ resmi PNI. Yuti juga menangani majalah Pesat yang kembali terbit dan berkantor di rumah mereka di Jalan Pakuningratan 67 Yogya. Keduanya sama-sama sibuk, sehingga kerap meninggalkan anak-anak mereka.
“Anak-anak saya kan terbiasa ditinggal ayah dan ibunya. Anak masyarakat itu. Persoalannya orang sering menganggap anak harus ditungguin ibu 24 jam. Saya mengajarkan anak-anak saya bisa berdiri sendiri sejak kecil. Jadi gak soal. Dan saya memiliki pembantu rumah tangga yang seperti keluarga sendiri,” ujar Tri kepada Erwiza Tanjung.
Menurut Heru Baskoro, anak Trimurti, ibunya lebih pandai bergaul daripada ayahnya. “Pak Sayuti orangnya kaku, agak temperamen, dan suka berdebat atau berdiskusi. Ibu menghindari perdebatan yang tidak perlu. Tapi di forum resmi Ibu berpegang teguh pada pendiriannya,” ujar Heru Baskoro.
Sikap kaku Yuti terlihat ketika ayahnya, yang dia benci, berkunjung ke rumah di Pakuningratan. “Bapak tidak mau menemuinya; hanya ditemui Ibu. Saya masih berumur 5-6 tahun ketika itu,” ujar Heru. Sikap yang sama ditunjukkan Tri pada akhir 1950-an ketika dia menemui mertuanya di Yogya.
Baca juga: Gerwani dan Hak Anak
Terkadang pasangan ini begitu romantis. Pada pertengahan 1950, Tri berada di Jakarta, sedangkan Yuti di Yogya. Suatu hari Tri menerima kawat: ”Yuti sakit keras, harap lekas datang.” Segeralah Tri pergi ke Yogya. Ternyata Yuti tak sakit. Dia hanya ingin bertemu. Selain itu, ada pekerjaan menumpuk. Jadi, selain melepas kangen, Tri membantu pekerjaan suaminya.
Sebagai pasangan, Tri tak segan berpihak pada suaminya. Ketika Yuti dicerca PKI setelah menulis “Belajar Memahami Sukarnoisme”, dia berada di belakang suaminya. Bahkan Tri memutuskan mundur sebagai anggota Gerwani, organisasi yang ikut dia dirikan. Anaknya juga terkena imbas. “Pada 1966 saya dipecat dari GMNI Ali-Surachman karena ayah saya juga dipecat dari PNI akibat tulisannya,” ujar Heru Baskoro.
Namun, dukungan yang terus diberikan Trimurti rupanya tak cukup untuk mempertahankan perkawinan mereka. Yuti jatuh cinta pada Siti Rancari, janda dengan empat anak. Trimurti bersikap realistis. Dia dan Sayuti pun bercerai pada 8 Juli 1969.
Heru Baskoro, yang kala itu masih SMA, tak tahu perceraian orangtuanya. Begitu juga pembantu dan saudara-saudaranya yang tinggal di Kramat Lontar. “Kami hanya tahu Bapak pindah ke kamar lain. Waktu itu alasannya karena ruang kerja Bapak sangat berantakan, sehingga mereka perlu kamar masing-masing agar dapat bekerja lebih efektif. Pergi ke undangan masih berdua; kalau undangannya berdua. Tapi lebih sering pergi sendiri-sendiri,” ujar Heru.
Heru baru tahu setelah ibunya menjelaskan dan memperlihatkan dokumen perceraian setelah Heru mahasiswa. “Mungkin supaya saya tidak membenci ayah.”
Persoalannya jadi pelik karena Siti Rancari adalah ibu dari Sri Harjanti, mantan istri Musafir Karma Budiman. “Waktu berkenalan dengan Ibu Rancari, ibu dari istri abang saya, Pak Sayuti yang sering dikritik menyeleweng sudah bercerai. Namun Pak Sayuti orangnya acuh saja. Dia tidak merasa perlu menerangkan,” ujar Heru.
“Pak Budiman waktu itu sangat keberatan tapi akhirnya harus menerima keadaan,” ujar Dawam. “Dan ternyata memang Ibu [Siti Rancagi] itulah yang mengurus sampai saat-saat terakhir Pak Sayuti.”
Jauh sebelum perceraian ini terjadi, Tri memang sudah merelakan jika Yuti kelak menikah lagi. Kepada Tjiptoning, dia berujar bahwa, “Mas Yuti saya kira akan lebih bahagia dengan seorang istri yang sepenuh perhatiannya ditumpahkan kepadanya.”
Baca juga: Asal-Usul Batas Usia Minimal dalam UU Perkawinan No.1/1974
Uniknya, setelah menikah lagi, rumah Yuti dan istrinya berdekatan dengan rumah Tri. Mereka tinggal di Gang Areng, di daerah Matraman, sekira 5 km dari Kramat Lontar, sebelum pindah ke Taman Aries. Dan Rancari mencoba mengambil hati Trimurti; mengirimkan kue, membuatkan patron baju, dan lain-lain. Trimurti senang-senang saja. “Hubungan Bu Tri dengan Pak Sayuti tampaknya biasa-biasa saja. Saya tidak tahu dalam hati mereka. Begitu pula hubungan Bu Tri dengan Bu Rancari, yang kemudian disebut Bu Sayuti,” ujar Heru.
Dalam memoarnya, Tri menulis: “Perkawinan adalah bentuk dari sebuah kongsi. Hal yang bisa dikerjakan bersama kami kerjakan. Tapi yang tak mungkin dikongsikan tak usah dipaksakan. Meski sudah bersatu dalam perkawinan, tak berarti harus saling menyesuaikan 100%, masing-masing harus tetap memiliki kedaulatan. Jika tidak, hilanglah kepribadian kita.”
“Yuti dan saya sudah banyak berbagi, sepenanggungan dan sependeritaan. Dari zaman Belanda, zaman Jepang, hingga kemerdekaan. Kami sudah membuahkan dua anak yang gagah. Kami sudah mencoba untuk saling toleransi dalam perbedaan wadah politik kami meski sama-sama menginginkan kemerdekaan. Tapi toh, kami harus mengakhirinya dengan perpisahan.“
“Buat saya, kehidupan tak bisa diparo-paro begitu.”
Selama Orde Baru, Yuti kembali berkibar di kancah politik. Dia menjadi anggota DPR/MPR mewakili Golkar. Pada 27 Februari 1989, dalam usia 80 tahun, Sayuti Melik berpulang. Tri menunggui jenazah mantan suaminya sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tanpa air mata.
“Terus-terang seumur hidup saya belum pernah melihat Ibu menangis. Ibu itu emosinya rata saja, tidak pernah memperlihatkan kesedihan dan kegembiraan yang meluap-luap,” ujar Heru.