SETELAH resmi menjadi menteri, Trimurti mulai bekerja. Dia senang karena ternyata banyak teman lama berada di kementeriannya. Wilopo, seorang ahli hukum yang pernah jadi ketua Komisi Perburuhan lalu kepala Jawatan Perburuhan, menjabat menteri muda perburuhan. Sekjennya, Mr. Sumarno, juga sudah dikenalnya sejak di Indonesia Muda.
Soal gaji yang minim bukanlah soal. Sebagai menteri, Trimurti mendapat gaji Rp750 per bulan. Padahal sebagai penulis, dia bisa mengumpulkan Rp 3.000 untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya selama sebulan. Jelas sekarang dia tak bisa lagi melakukan pekerjaan sambilan. Untuk mencukupinya, dia terpaksa menjual barang-barang untuk keperluan hidup.
Baca juga: SK Trimurti, Menteri Perburuhan Pertama
Meski sudah jadi menteri, Trimurti tidaklah berubah. Dia tetap tampil sederhana. Kesederhanaan Bu Menteri terlihat ketika, sebagai menteri perburuhan, dia memberikan kursus politik di “presidenan” Yogya. Seperti dikutip Tjiptoning dalam Apa dan Siapa, Trimurti berjalan ke muka dengan langkah besar-besar. Dia naik podium dan angkat bicara: “Saudara-saudara kaum wanita yang bersandal dan tidak bersandal!... walaupun saya kebetulan bersandal.”
Dia juga menolak ketika mendapat tawaran sebuah rumah besar yang berlokasi di muka Istana Pakualaman. Sebuah tawaran yang menurutnya tak pantas di tengah situasi politik dan ekonomi yang gawat karena agresi militer Belanda. Trimurti menolak.
“Saya sudah punya rumah di Pakuningratan, kenapa mesti pindah. Saya pikir-pikir nanti nyapunya juga repot,” ujar Trimurti kepada Erwiza Erman, dalam proyek sejarah lisan Arsip Nasional.
Baca juga: Sayuti Melik-SK Trimurti: Kisah Asmara Sepasang Pejuang
Trimurti juga mendorong organisasi-organisasi buruh untuk memperkuat diri agar siap menghadapi segala kemungkinan. “Pergerakan buruh harus dibawa ke front perjuangan nasional karena beberapa pabrik dan onderdil pabrik telah dirusak dan diangkut pergi oleh orang-orang Belanda dan Jepang, maka produksi di Indonesia menjadi sangat berkurang,” ujarnya, dikutip Soeloeh Rakjat, 17 Juli 1947.
Perpecahan di kalangan organisisasi buruh menjadi perhatiannya. Perpecahan itu, terkait sikap pro-kontra mengenai Linggarjati, juga perbedaan aliran politik, sudah begitu parah, bahkan menjurus ke tindakan intimidasi dan culik-menculik. Modalnya, pengalamannya menyatukan buruh swasta dalam GASPI. Dia turun ke lapangan untuk menangani soal perburuhan yang riil.
“Kaum buruh dalam kelompoknya masing-masing tentu ingin mendesakkan kepada pemerintah supaya kemauan mereka dituruti. Dan kemauan itu tidak sama. Kalau kemauan itu bertentangan satu sama lain, pemerintah harus lebih berhati-hati lagi memberikan keputusan,” ujar Trimurti seperti dikutip dalam biografinya.
Baca juga: Dua Buku Buruh Karya Menteri Buruh SK Trimurti
Trimurti juga sadar bahwa Kabinet Amir Sjarifuddin sangat lemah dan butuh dukungan besar dari rakyat. Untuk masa itu, yang memungkinkan adalah dukungan dari kelompok buruh. Tak heran jika Trimurti turun ke lapangan untuk meyakinkan kelompok buruh agar mendukung pemerintah.
“Dalam arti tertentu, S.K. Trimurti jadi corong bagi Amir untuk cari dukungan dari organisasi buruh,” ujar Jafar Suryomenggolo, peneliti sejarah buruh pada Kajian Asia Tenggara di Universitas Kyoto, Jepang.