Sayuti Melik bukan hanya pengetik naskah Proklamasi. Sejak 1923, ia sudah menulis di berbagai surat kabar dari Islam Bergerak, Penggugah, hingga Sinar Hindia. Tulisan-tulisannya seringkali mengkritik pemerintah kolonial dan membuatnya selalu diawasi oleh pemerintah.
Ketika usianya baru 16 tahun pada 1924, Sayuti Melik dipenjara di Ambarawa atas tuduhan menghasut rakyat. Kemudian pada 1926, ia ditangkap karena dituduh terlibat pemberontakan 1926. Ia dipenjara di Banyumas dan pada 1927 dibuang ke Boven Digul. Ia baru keluar dari Digul pada 1933.
Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia, Volume 3, menyebut pasangan suami istri Sayuti Melik dan S.K. Trimurti seringkali bergiliran masuk keluar penjara akibat tulisan mereka yang kritis terhadap pemerintah.
Baca juga: Sayuti Melik Mengubah Beberapa Kata dalam Naskah Proklamasi
"Sayuti sebagai bekas tahanan politik yang dibuang ke Boven Digul selalu dimata-matai oleh dinas intel Belanda, PID (Politieke Inlichtigen Dienst). Trimurti sampai pernah melahirkan anaknya di penjara," tulis Rosihan.
Keluar dari Digul, Sayuti kembali ditahan karena tulisannya. Kali ini oleh polisi rahasia Inggris DSB (Detective Special Branch) di Singapura pada 1936. Selama satu tahun ia meringkuk dipenjara di Singapura. Ia keluar setelah diusir dari wilayah kolonial Inggris itu dan ketika tiba di Jakarta, ia langsung dimasukan ke Penjara Gang Tengah (Salemba).
Di Penjara Gang Tengah, Sayuti Melik merasakan hal berbeda dari pengalaman dipenjara sebelumnya. Ia merasa bebas dari pikiran macam-macam dan merasakan ketenangan. Saat itu ia juga tak berkabar kepada keluarga dan kawan-kawan agar mereka juga tidak merasa cemas.
Sayuti Melik tinggal sendirian di dalam sebuah sel. Ia tidak mempunyai kegiatan apa-apa selain hanya membaca buku-buku yang dipinjamnya dari penjara. Kadang-kadang ia juga berolahraga.
Baca juga: Sayuti Melik-SK Trimurti: Kisah Asmara Sepasang Pejuang
"Di situlah saya benar-benar sempat memikirkan soal filsafat hidup. Terus terang, selama di Penjara Gang Tengah itu saya merasakan kenikmatan hidup, merasa bebas merdeka seperti ajaran yang pernah saya kenal dari Ki Ageng Suryomentaram," ungkap Sayuti Melik dalam Wawancara dengan Sayuti Melik.
Ajaran Ki Ageng Suryomentaram dikuti oleh banyak pejuang pada dekade awal 1930-an. Ajarannya terkenal dengan sebutan Ngelmu Begjo atau Ilmu Bahagia. Asasnya adalah nrimo atau menerima.
Kala itu, menurut Sayuti Melik, suhu perjuangan tengah mengalami penurunan. Tokoh-tokoh perjuangan berusaha menyeimbangkan sukma dengan mempelajari Ngelmu Begjo tersebut. Sementara ia sendiri merasa ajaran tersebut tidak cocok di tengah perjuangan.
"Saya anggap ajaran tersebut melemahkan perjuangan dan bertentangan dengan pikiran saya yang selalu menginginkan bagaimanakah perjuangan itu tetap ada derapnya," kata Sayuti Melik.
Baca juga: Kisruh Penandatanganan Naskah Proklamasi
Namun, Penjara Gang Tengah yang membuat Sayuti Melik merasakan kesunyian dan ketenangan mengubah pandangannya empat tahun yang lalu ketika baru keluar dari Boven Digul.
"Jadi begitulah, ajaran yang empat tahun sebelumnya saya sangkal kebenarannya kemudian saya mengakui kebenarannya," jelasnya.
Sayuti Melik merasa bahwa ajaran Ki Ageng Suryomentaram juga penting untuk keseimbangan. Selepas dari Penjara Gang Tengah, Sayuti Melik tetap bisa kembali menulis dan melanjutkan perjuangannya untuk kemerdekaan.