ZARIMA Mirafsur, Sheila Marcia, dan Jennifer Dunn. Tiga nama tenar yang punya satu kesamaan. Mereka pernah terperosok ke bui lantaran tindak kriminal terkait narkoba. Letak penjara mereka berlainan, tapi sama-sama khusus untuk perempuan. Tidak banyak penjara khusus perempuan di Indonesia. Lebih sedikit lagi tentang sejarahnya.
Gagasan penjara khusus untuk perempuan kasus kriminal berkembang dalam kurun berbeda di pelbagai belahan dunia. R.A. Koesnoen dalam Politik Pendjara Nasional mencatat negeri Belanda telah menerapkan pemisahan antara narapidana laki-laki dan perempuan pada 1597, disebut penjara spinhuis.
“Mereka ditempatkan sendiri-sendiri dalam kamar masing-masing siang-malam dan terdiri dari pencuri, perampok, pengemis, pelacur, dan pemalas kerja,” tulis Koesnoen. Artinya mereka berada dalam satu bangunan, tetapi menempati sel berbeda. Belum secara khusus ada bangunan penjara untuk perempuan.
Baca juga: Penjara Tak Bikin Tobat
Di Amerika Serikat, pemisahan napi perempuan dan laki-laki terjadi pada 1830-an. Tapi tidak semua negara bagian menerapkannya. Penjara khusus perempuan pertama di AS terletak di New York. Bertipe seperti spinhuis, penjara ini terdiri atas sel-sel tunggal napi perempuan dan lelaki dalam satu bangunan.
“Kompleks lingkungan dengan populasi berlebih dan tanpa kemanusiaan di mana perempuan kerapkali jadi bahan serangan dan hinaan,” tulis Nicole Hahn Rafter dalam “Prisons of Women, 1790-1980”, termuat dalam Crime and Justice, Volume 5, 1983.
Pemisahan napi perempuan dan lelaki pada kompleks terpisah berlangsung di negara bagian Indiana pada 1870. Pemisahan kompleks penjara perempuan dan laki-laki untuk mencegah serangan fisik dan penularan penyakit dari napi lelaki kepada napi perempuan. Bersama itu pula muncul gagasan pemisahan napi anak-anak dari orang dewasa.
Jatuh Cinta Antar Napi
Di Hindia Belanda, penjara pertama khusus untuk perempuan kasus kriminal terletak di Bulu, Semarang. Napi perempuan di sini menjalani hukuman bersama napi anak-anak. Kebijakan ini berlandaskan pada Gestichten Reglement (Peraturan Penjara) 1917, Surat Edaran Kepala Djawatan Kepenjaraan 10 Maret 1926 No. G 1/88/21, dan Surat Edaran Direktur Justisi 23 April 1935 No. G 1/82/23.
Pemerintah kolonial telah menyadari dampak buruk pencampuran napi perempuan dan laki-laki dalam satu kompleks. Antara lain serangan seksual napi lelaki terhadap perempuan dan kemungkinan penularan penyakit di penjara. Pemerintah kolonial juga memandang penting untuk memperlakukan perempuan sesuai dengan keperempuanannya.
“Jadi laki-laki dipisahkan dari wanita-wanita, tidak cukup bahwa asal tidak berhubungan saja, tapi juga, jika mungkin, harus dijaga jangan sampai dapat saling melihat atau mendengar,” tulis Koesnoen.
Baca juga: Cerita dari Balik Jeruji Besi
Tetapi pemerintah kolonial tidak punya cukup biaya untuk mendirikan penjara khusus untuk perempuan kriminal di banyak wilayah. Praktik di lapangan menunjukkan pemerintah kolonial masih sering mencampur napi perempuan dan lelaki dalam satu kompleks. Mereka hanya terpisah oleh blok dan dinding setinggi tiga meter.
Dalam keadaan napi perempuan dan lelaki bercampur begitu, ternyata bukan hanya pencabulan dan penularan penyakit yang terjadi, melainkan juga kadangkala cinta bersemi di kalangan mereka. Dinding setinggi tiga meter tak membatasi keluarnya cinta antara sejumlah napi perempuan dan lelaki.
Hubungan khayal ini kebanyakan bermula dari suara. Napi perempuan dan lelaki bisa saling sahut. Jika seorang napi mendengar suara merdu dari seberang, hati langsung meleleh. “Secarik kertas dengan sekadar tulisan pada suatu saat, melayanglah dari blok laki-laki melalui atas tembok ke blok wanita,” tulis Koesnoen.
Baca juga: Para Pelarian dari Penjara
Pertumbuhan cinta antar napi ini dianggap kurang baik. Sebab banyak napi telah memiliki keluarga. “Dapat bikin keluarga dua belah pihak menjadi berantakan dan kocar-kacir,” ungkap Koesnoen. Maka gagasan pemisahan napi perempuan dan lelaki dalam kompleks berbeda terus berlanjut.
Setelah Indonesia merdeka, Djawatan Kependjaraan menggelar Konferensi Dinas Kepenjaraan di Nusakambangan pada 1951. Hasilnya antara lain menegaskan kembali pentingnya pembangunan, pemisahan, dan pengelompokan penjara laki-laki, perempuan, dan anak-anak.
Sepanjang dekade 1950-an, Indonesia telah mempunyai tiga penjara khusus napi perempuan. Letaknya di Bulu, Semarang; Malang, Jawa Timur; dan Bukitduri, Jakarta. Menurut Wanita No. 7-8, 15 April 1955, jumlah napi perempuan di tiga penjara tersebut mencapai 547 napi.
Baca juga: Tangga Lagu tentang Penjara
Jumlah tersebut sebenarnya sangat kecil dibandingkan dengan jumlah napi perempuan yang mencapai ribuan di seluruh Indonesia. “Di kota-kota lain yang belum terdapat penjara-penjara wanita, di dalam penjara setempat selalu disediakan blok khusus untuk hukuman-hukuman atau tahanan-tahanan perempuan,” tulis Wanita. Bloknya terpisah dari blok lelaki dan pegawai penjaranya pun harus perempuan pula.
Kegiatan sehari-hari para napi perempuan tak jauh beda dari napi lelaki. Mereka punya jadwal ketat sedari tidur, apel pagi-siang-sore, kerja bakti, sampai istirahat lagi. Ada pula kursus pemberantasan buta huruf, menjahit, menenun, membatik, membordir, olahraga, dan ceramah agama.
Napi perempuan sesekali dapat kunjungan organisasi perempuan. “Kadang-kadang wanita-wanita malang itu dikunjungi serta dihibur pula oleh organisasi wanita setempat, misalnya Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia),” tulis Wanita.
Rasio antara kapasitas dan penghuni penjara khusus itu masih memadai. Misalnya penjara Malang dan Bulu masing-masing berkapasitas 400-an orang, sedangkan penghuninya 200-an orang.
Kebanjiran Tapol
Keadaan berubah drastis pada 1966. Tiga penjara khusus napi perempuan kelimpahan penghuni. Peristiwa G30S tahun 1965 jadi pangkal perkaranya. Tuduhan mengarah ke PKI dan Gerwani sebagai dalang peristiwa G30S. Tentara, polisi, dan massa anti-PKI dan Gerwani main kasar setelah peristiwa itu.
Penangkapan besar-besaran menyasar anggota Gerwani dan simpatisan PKI. Tak ada kesempatan membela diri dan pengadilan untuk membuktikan apakah mereka bersalah atau tidak. Salah tangkap juga banyak terjadi. Mereka yang tertangkap disamakan dengan para pelaku kriminal. Bahkan diperlakukan tak manusiawi: disiksa dan diperkosa. Demikian terungkap dalam Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan karya Amurwani Dwi Lestariningsih.
Baca juga: Tujuh Tahanan Politik Perempuan di Kamp Plantungan
Untuk mengurangi kelebihan penghuni penjara khusus perempuan kasus kriminal, pemerintahan Soeharto mendirikan penjara khusus perempuan tahanan politik (tapol) di Plantungan, Jawa Tengah pada 1971. Pemerintah memindahkan semua tapol dari penjara khusus perempuan kasus kriminal ke Kamp Plantungan. Di sini petugas lelaki terus-menerus menginterogasi, menyiksa, dan melecehkan perempuan tapol. Sebagian besar tapol bebas pada 1979. Tapi ingatan mereka masih mendekam di tempat tersebut.
Orde Baru telah rebah pada 1998. Tak ada lagi penjara khusus untuk perempuan tapol. Kamp Plantungan kini menjelma Lembaga Pemasyarakatan Pemuda Kelas 2B. Pemerintah kini justru giat memperbanyak penjara khusus perempuan pelaku kriminal. Sebab pelaku-pelaku kriminal terus bertambah.*