KASUS sel penjara mewah mencuat lagi. Kali ini menimpa narapidana (napi) tindak pidana korupsi (tipikor) di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sukamiskin, Bandung. Ada microwave, sepeda, kasur empuk, televisi, dan kloset duduk di sel mereka.
Ibrahim (30 tahun), mantan narapidana kasus kepemilikan narkoba, bercerita luwes kepada Historia tentang pengalamannya di penjara. Dia masuk penjara selama delapan bulan dan berpindah penjara tiga kali. “Di dalam sana banyak fenomena, banyak keganjilan. Yang nyata dilihat mata, tapi tidak masuk oleh akal,” lanjutnya.
Ibrahim masuk penjara pertama pada 2012. Sebuah sel kecil di Polres Jakarta Selatan. “Ini penjara untuk menunggu penyelesaian Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh polisi ke kejaksaan,” terangnya.
Luas sel Polres sekira 30 meter persegi. Sudah termasuk kamar kecil di dalamnya. Ibrahim bersama belasan tahanan kasus kriminal lain menunggu dua bulan di sini. Dunianya tiba-tiba menyusut. Dari biasa menyua gunung, kali, dan gedung, dia cuma bisa melihat dinding penjara, teralis besi, dan teman satu sel. Tak ada jendela, tak ada matahari.
Baca juga: Penjara Tak Bikin Tobat
Setelah BAP kelar, Ibrahim dipindahkan ke penjara kedua, yaitu Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Pusat. Di sini dia mengenal dunia keras penjara. “Ada Masa Pengenalan Lingkungan (Mapenaling) untuk ‘kijang baru’ (tahanan baru) selama sebulan,” katanya.
Ibrahim bertemu dengan beberapa kepala lapak selama Mapenaling. “Mereka itu napi juga. Tapi bertugas minta OT (uang) ke sesama napi,” ungkapnya. Sebagian uangnya buat setoran ke sipir. Siapapun tak bisa menolak OT. Kalau berani melawan, brengos (napi tukang pukul) akan menghajarnya. “Yang benar-benar tidak punya uang, terima nasib jadi corvee atau budak,” katanya.
Penjara ketiga Ibrahim adalah Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang. “Saya menghabiskan sisa tahanan di sini,” kenangnya. Dia sempat bertemu napi tipikor kasus Badan Urusan Logistik (Bulog). “Mantan pengurus PSSI. Dia punya kebun binatang mini di koridor selnya,” katanya.
Binatang kepunyaan napi tipikor itu antara lain burung kakatua, burung jalak, iguana, dan arwana. Kandangnya berderet, dari ujung koridor ke ujung lainnya. “Aneh, kan? Mungkin kalau masih muat, dia juga taruh buaya di situ,” canda Ibrahim.
Itu tadi sedikit gambaran tentang keseharian napi di penjara sekarang. Bagaimana dengan penjara lampau?
Tempat Eksploitasi
Penjara sebagai sistem hukuman pencabutan kemerdekaan untuk para pelaku kriminal sudah ada di Hindia Belanda sejak abad ke-19. Ia tegak di atas pasal 10 Wetboek van Stafrecht voor de Inlanders in Nederlansch Indie atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbitan 1872.
Penjara merupakan miniatur masyarakat jajahan saat itu. “Ada masyarakat penjajah yang penuh hak dan ada masyarakat terjajah yang penuh wajib,” tulis Koesnoen dalam Politik Pendjara Nasional. Penindasan kaprah terjadi dalam alam kolonial. Begitu pula dalam penjara.
Kebanyakan pucuk pegawai penjara berkebangsaan Belanda. Orang-orang tempatan menempati posisi pegawai rendahan. Pegawai rendahan menghamba pada kata atasannya. Mereka bakal kena semprot atasannya jika salah bertugas sedikit saja.
“Jika berani bersandar apalagi duduk, dipotong gaji. Atau paling mujur disemprot dengan kata-kata kerbau dan babi atau anjing,” tulis Koesnoen.
Baca juga: Penjara untuk Perempuan Kriminal
Pegawai rendahan meneruskan gaya penindasan itu kepada napi. “Pegawai kepenjaraan di saat zaman penjajahan pada berlomba-lomba menunjukkan sifat akan kekejamannya. Dengan kata yang pendek kami sebutkan di sini: menindas,” tulis Suara Buruh Kependjaraan, Juni-Agustus 1955.
Antara pegawai dan napi ada kelompok informal bernama poorman. Dia turut menjadi mata rantai kekerasan penjara. Poorman biasanya napi paling lama dan berani. “Dapat menjilat ke atas dan menginjak ke bawah… Tugas tersebut diadakan pada zaman Hindia Belanda,” tulis Koesnoen. Poorman juga tak segan memeras napi lain.
Keseharian Napi
Para napi hidup berjejal dalam sel. Sistem penempatan bersama dalam satu sel seperti itu berdasarkan Gestichten-Reglement (Peraturan Penjara) 1917. Napi akan masuk sel perorangan hanya dalam situasi khusus seperti terserang penyakit menular dan bahaya.
Selama di penjara, kepala para napi dicukur plontos. Mereka memperoleh dua setel pakaian: satu untuk bekerja di luar sel, satu lagi buat beristirahat di sel.
Para napi membuka pagi dengan minum teh. “Dan dengan uang sendiri dapat bikin air kopi,” catat Koesnoen. Dia juga mengungkap menu makan napi pada masa kolonial. Antara lain beras, daging sapi, ikan asin, telur bebek, kacang kedelai, kacang hijau, kacang tanah, kelapa, sayur segar, terasi, lombok segar, garam, gula kelapa, minyak kelapa, ubi-ubian, dan pisang.
Kelihatannya lezat. Tapi porsinya kecil. Tak imbang dengan kerja para napi. “Di Majalengka, pekerjaan orang hukuman itu ialah mengangkut batu yang besar-besar dari Sungai Cideres, dibawanya ke halaman penjara dengan jarak lebih kurang dua kilometer dari penjara,” tulis Suara Buruh Kependjaraan, Maret-Mei 1957.
Baca juga: Tangga Lagu tentang Penjara
Para napi tak boleh beristirahat semaunya selama jam kerja. “Begitu pula kalau mereka kelihatan merokok sambil mengobrol. Tak ada teguran, langsung rotan melayang,” tulis Suara Buruh Kependjaraan.
Para napi kembali ke sel jelang gelap. Mereka boleh mengobrol di dalam sel sampai pagi. Tema obrolannya berkisar pada pengalaman kejahatan mereka.
“Tiap sore 10 sampai 15 cerita kejahatan baru dengan segala seluk-beluk taktik dan teknik kejahatan,” tulis Koesnoen. Penjara justru membuat mereka mengetahui taktik dan teknik baru kejahatan. “Tidaklah salah bahwa ada sebutan penjara adalah sekolah tinggi kejahatan,” lanjut Koesnoen.
Sebagian napi memilih main kartu untuk mengisi waktu ketimbang mengobrol. Kartu dilarang dalam penjara, tapi para napi selalu punya cara menyelundupkannya. Dengan kartu, mereka mengadakan bermacam-ragam taruhan: uang hasil kerja, rokok, lauk-pauk, sampai pijat. “Siapa yang kalah harus memijatnya untuk beberapa jam menurut daftar pertaruhan,” terang Koesnoen.
Selain eksploitasi tenaga napi, pemerasan, dan perjudian, hal keseharian lain di penjara adalah hubungan seksual sejenis. “Siapa tidak tahu tentang adanya homo seksualitas, tidak hanya di penjara untuk laki-laki, juga di penjara untuk perempuan, dan perbuatan onani,” tulis Koesnoen. Penjara wanita pada masa kolonial terletak di Bulu, Semarang.
Tak Banyak Berubah
Kemerdekaan membawa pengaruh pada perubahan orientasi penjara. Pemerintah berupaya mengubahnya menjadi tempat pendidikan narapidana sebelum kembali ke masyarakat. Kemudian pada 1962 muncul konsep Lembaga Pemasyarakatan.
Tapi keseharian di penjara tak banyak berubah. Pemerasan, kekerasan, perjudian, dan hubungan seksual sejenis tetap langgeng. Hanya eksploitasi tenaga agak berkurang.
Penyelundupan berbagai jenis barang juga tetap marak. Tak jarang melibatkan sipir penjara. “Untuk mendapat keuntungan banyak dijual minuman keras pada narapidana, dan segala cara penyelundupan baik barang maupun manusia,” tulis Koesnoen.
Baca juga: Sukarno dan Johny Indo Menemukan Tuhan di Penjara
Johny Indo, mantan napi kakap LP Cipinang dan Nusakambangan, mengisahkan pengalamannya mengenal ganja di penjara. “Johny Indo merasa heran bagaimana mungkin benda haram tersebut bisa lolos masuk LP Cipinang,” tulis Willy A. Hangguman dalam Johny Indo: Tobat dan Harapan.
Sampai sekarang pun narkoba masih jamak beredar di penjara. “Lebih gampang dapat narkoba di dalam,” terang Ibrahim. Karena penjara telah menjelma ladang bisnis yang melibatkan banyak elemen di dalamnya, dia tak heran napi punya ponsel, TV, kasur empuk, dan barang mewah lainnya.
“Tapi ya namanya penjara tetap saja gak enak, kan. Barang-barang itu tak bisa membeli kebebasan,” tutup Ibrahim.*