TERIAKAN orang kesakitan terdengar dari penjara Nusakambangan, Jawa Tengah, pada 7 Oktober 1959 pukul 14.00. Seorang sipir ambruk terkena sabetan parang narapidana. Seorang sipir lainnya mencoba menghentikan upaya pelarian narapidana itu. Kalah cepat menekan picu senapan, sipir itu tertembak dan tewas. Narapidana berhasil kabur. Para sipir berduka.
Besoknya para sipir melepas kepergian rekannya. Mereka minta perhatian serius dari pemerintah untuk memperbaiki kehidupan para sipir di penjara. Sebab risiko pekerjaan mereka sangat tinggi. “Tiap-tiap detik ada kemungkinan berjumpa dengan malaikat el maut,” tulis Suara Buruh Kependjaraan, Oktober-November 1959.
Kehidupan sipir jarang tersorot, terhalang oleh ketebalan dan ketinggian tembok penjara. Pada masa kolonial Belanda, para sipir bumiputera tak punya kedudukan berarti. “Pekerjaan hanya terbatas pada penjagaan keamanan di dalam lingkungan, aspirasi untuk mencapai sesuatu yang lebih tinggi tidak ada, karena kesempatan untuk itu tidak diberikan,” tulis Suara Buruh Kependjaraan, Desember 1954-Februari 1955.
Pendudukan Jepang pada 1942 mengubah nasib sipir bumiputera. “Semua jabatan di dalam Jawatan Kepenjaraan dapat diduduki oleh bangsa Indonesia.” Hidup mereka pun terjamin. Pakaian dan urusan perut tak jadi masalah. “Aku katakan subur makmur dan teratur,” kata seorang bekas sipir kepada Suara Buruh Kependjaraan, Maret-Mei 1957.
Jepang mempunyai alasan menaikkan taraf hidup para sipir. Jepang ingin menjaga kesetiaan para sipir pada Jepang. Seperti Belanda, Jepang mempunyai kebijakan penjara sebagai tempat untuk menyiksa dan membunuh demi terciptanya ketertiban dan keteraturan. Di sini para sipir bumiputera kerap dilema karena menghadapi sesama anak bangsa.
Muak dengan kebijakan Jepang, para sipir bumiputera mulai tak nyaman bekerja. Mereka berselisih dengan sipir Jepang. Puncaknya pada Agustus-September 1945. Sipir bumiputera bentrok dengan sipir Jepang di penjara Sragen, Jawa Tengah.
Kemerdekaan pada 1945 mengganti kebijakan pemerintah terhadap penjara: dari tempat untuk menyiksa dan membunuh menjadi tempat untuk mendidik orang-orang terhukum. “Berusaha membangkitkan kembali jiwa orang-orang hukuman kepada kehendak yang kuat,” tulis Suara Buruh Kependjaraan, Juni-Agustus 1955.
Sipir bumiputera memandang kekejaman dan kebengisan di dalam penjara bukan cara tepat untuk melawan kejahatan. Gagasan ini menyatukan para sipir di antero negeri. Mereka berkumpul di Sala pada 17 Januari 1946 dan mendirikan Serikat Sekerdja Kependjaraan (SSK). Kemudian SSK bergabung ke SOBSI pada akhir 1946.
SSK tegas menyatakan diri tak berafiliasi ke partai politik apapun. SSK berusaha memperjuangkan nasib para sipir. SSK percaya bahwa perbaikan nasib para sipir bisa menciptakan kehidupan penjara berkualitas. Orang-orang terhukum bakal berdaya guna ketika kembali ke masyarakat.
SSK berganti nama menjadi Serikat Buruh Kependjaraan (SBK) pada Kongres IV di Palembang pada 1954. Melalui kongres ini, SBK menetapkan sejumlah program perbaikan untuk memperbaiki para sipir. Antara lain dengan kursus perihal kepegawaian dan pelatihan teknis.
Terhadap perkembangan buruh di luar penjara, SBK berusaha terlibat. Misalnya saat kenaikan harga-harga menjelang Konferensi Asia-Afrika dan Pemilihan Umum 1955. Upah buruh tetap dan pemerintah belum berencana mengeluarkan peraturan tentang upah buruh. SBK pun menekan pemerintah agar menaikkan upah buruh demi mengimbangi kenaikan harga.
Menjelang kongres VIII pada 1960, SBK kembali menyoroti nasib sipir. Terutama setelah terbunuhnya sipir di Nusakambangan pada Oktober 1959.
Menurut Dewan Pengurus SBK, sipir di Indonesia berjumlah 10.000 orang pada 1960. Dari jumlah itu, 90 persen sipir bergabung ke SBK. Keadaan mereka memprihatinkan. Gaji ludes pada tengah bulan, rumah dinas tak tersedia, jaminan kesehatan amat minim, dan tunjangan kematian belum diatur.
Tapi di masa-masa sulit itu, peran SBK justru surut. Majalah terbitan mereka menghilang. Organisasi pun luntur.
[pages]