Masuk Daftar
My Getplus

Perayaan Ulang Tahun Bung Karno pada Masa Revolusi

Kemeriahan peringatan hari lahir seorang presiden dari Republik muda yang sedang mengalami masa pancaroba kekuasaan.

Oleh: Muhammad Yuanda Zara | 06 Jun 2020
Sukarno (1901-1970).

Selalu ada perayaan setiap kali 6 Juni tiba, hari kelahiran Ir. Sukarno, presiden pertama Republik Indonesia. Beragam bentuk acaranya, mulai dari ucapan selamat hingga penerbitan tulisan mengenang kelahiran sang proklamator kemerdekaan. Pada 1965, hari ulang tahun (HUT) Sukarno dirayakan bersamaan dengan Hari Kanak-Kanak Nasional yang meriah di Taman Surapati, Jakarta. Di masa selanjutnya, beberapa buku diterbitkan guna merayakan ulang tahun Sukarno, seperti buku kumpulan tulisan yang mengupas pemikiran Sukarno, 80 Tahun Bung Karno, yang diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan tahun 1981 dan buku yang berisi berbagai tulisan berisi kenangan pribadi dengan Sukarno maupun ulasan tentang gagasan dan kiprah Sukarno dari orang-orang di sekitar Sukarno dalam rangka memperingati seabad Sukarno, Bung Karno, Bapakku, Guruku, Sahabatku, Pemimpinku: Kenangan 100 Tahun Bung Karno (2001).

Momen hari ulang tahun adalah waktu yang spesial bagi banyak orang. Pada kesempatan ini, orang yang berulang tahun, ataupun keluarga dan koleganya, mengingat kembali tentang perjalanan hidup yang telah dilalui. Masa-masa penting yang menyenangkan dihidupkan kembali, baik untuk memperlihatkan pencapaian di masa silam maupun sebagai teladan bagi generasi yang lebih muda. Doa dan harapan baik dikemukakan guna memberi semangat kepada pihak yang berulang tahun agar bisa terus berkarya dan berkontribusi dalam kehidupannya. Pendeknya, perayaan ulang tahun bukan hanya tanda bertambahnya usia seseorang, tapi secara sosial merupakan pengakuan atas peranan dan kiprahnya selama setidaknya setahun terakhir bagi komunitas yang lebih besar.

Bila dilacak lebih jauh, sebenarnya acara perayaan hari ulang tahun Sukarno dalam konteks yang lebih luas daripada perayaan suatu momen yang penting secara personal maupun dari perspektif keluarga Sukarno saja telah dilakukan sejak masa Indonesia merdeka.

Advertising
Advertising

Ulang tahun pertama Sukarno di masa Indonesia merdeka dirayakan pada tanggal 6 Juni 1946. Ada beberapa catatan penting dalam HUT Sukarno kali ini. Pertama, ini adalah HUT pertama Sukarno di masa ketika apa yang dicita-citakan olehnya dan para pejuang kemerdekaan lainnya sejak dua dekade sebelumnya akhirnya terwujud, walau masih belum sempurna: suatu Indonesia yang bebas dari penjajahan asing. Kedua, pada HUT-nya yang ke 45 ini, Sukarno belum genap setahun menyandang status baru: Presiden Republik Indonesia.

Setahun sebelumnya, atau pada HUT-nya yang ke-44 tanggal 6 Juni 1945, status Sukarno masih merupakan salah satu dari 67 anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang dibentuk oleh Jepang. Lima hari sebelum HUT-nya tahun 1945 itu Sukarno menyampaikan ceramahnya yang berisi rumusannya tentang lima dasar negara yang kemudian dinamakannya sebagai Pancasila. Kini, 1 Juni diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. Ketiga, saat berulang tahun di tahun 1946 itu, ia berada di Kota Yogyakarta, ibukota RI, suatu tempat yang jauh dari tempat kelahirannya sekitar empat dekade sebelumnya, Surabaya.

Baca juga: Ini Bukti Otentik Sukarno Lahir di Surabaya

Dalam autobiografinya yang terbit di Amerika Serikat tahun 1965, Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams, Sukarno menyebut-nyebut tentang kepindahannya dari Jakarta yang sudah tidak aman ke Yogyakarta, yang ia sebut sebagai “the city of pilgrimage”. Sukarno menceritakan pada Cindy Adams tentang berbagai macam kesulitan dan tantangan yang dihadapi Republik baru ini di kota itu, tapi ia tidak menyebut tentang ulang tahunnya, yang jatuh pada masa sekitar lima bulan setelah ibukota pindah dari Jakarta ke Yogyakarta.

Walaupun demikian, bukan berarti hari lahir Sukarno itu terlewatkan begitu saja. Adalah surat kabar pro-Republik yang terbit di Yogyakarta, Kedaulatan Rakjat, yang mengingatkan publik Indonesia dan juga dunia internasional (via wartawan asing yang diposkan di kota itu) tentang pentingnya tanggal 6 Juni 1946 itu. Pada edisi Kamis Wage 6 Juni 1946 itu, Kedaulatan Rakjat memosisikan HUT Presiden Sukarno sebagai suatu momen penting tak hanya bagi Sukarno sebagai individu tapi terutama sekali Sukarno sebagai seorang pemimpin suatu negara baru bernama Indonesia.

Berita utama pada edisi itu sebenarnya bukan tentang Sukarno, melainkan tentang keinginan Menteri Luar Negeri Inggris Ernest Bevin untuk menarik pasukan Inggris dari Indonesia (tajuknya: “Bevin Ingin Tentera Inggeris Lekas Ditarik dari Indonesia”). Tapi di sebelah berita utama itu, ada satu foto Presiden Sukarno dalam ukuran yang cukup besar. Sukarno dalam foto dari kepala hingga pinggang itu tampak sangat rapi dan berwibawa. Ia memakai kemeja putih dengan dasi dan jas panjang berwarna gelap. Kepalanya ditutup peci hitam. Perawakan dan pandangannya tidak lurus ke depan, melainkan agak ke samping, suatu gestur yang menyimbolkan perspektifnya yang jauh ke depan. Di sebelah foto itu tertulis (ejaan dan jenis huruf dibiarkan sebagaimana aslinya):

 6-6 HARI LAHIR PRESIDEN SOEKARNO

Hari ini tg. 6-6-’46 Presiden Indonesia P.J.M. Soekarno genap beroesia 45 tahoen.

SELAMAT BERDJOEANG DAN PANDJANG OESIA!

Inilah untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia seorang presiden Indonesia dirayakan ulang tahunnya.

Setahun kemudian, pada 6 Juni 1947, Kedaulatan Rakjat kembali memberikan ucapan selamat ulang tahun kepada Presiden Sukarno. Foto sang presiden kembali terpampang di halaman pertama koran ini pada edisi Jumat Wage 6 Juni 1947 (17 Rejeb Je 1878 dalam penanggalan Jawa) itu. Mengingat nama Sukarno sudah jauh lebih dikenal publik dan telah semakin banyak problem maupun perkembangan di pihak Indonesia yang harus disampaikan, pada edisi kali ini Kedaulatan Rakjat menampilkan foto Sukarno dalam ukuran yang lebih kecil. Namun, ide tentang keteraturan, intelektualitas, kemampuan dan optimisme kembali dapat ditangkap pembaca yang menyaksikan Soekarno dalam balutan kemeja putih, dan dasi, jas, dan peci hitamnya di foto itu.

Redaksi Kedaulatan Rakjat juga menyampaikan doa dan harapan baiknya untuk sang presiden. Kali ini ucapan selamat tersebut jauh lebih elaboratif daripada setahun sebelumnya:

                        Hari 6 Djoeni ini Presiden kita genap 46 th. oesianja.

Moedah2an oleh Jang Maha Koeasa dikeroeniai rachmat jang berlimpah, dan semoga pandjanglah oesia lambang persatoean bangsa Indonesia jang sedang ditengah2 perdjoeangan mahabesar itoe.

Toedjoeh poeloeh djoeta ra’jat, bergembiralah dalam prihatin!

Ucapan yang lebih panjang ini bukan sekedar kata-kata, dan harus diletakkan dalam konteks sosial-politik di Indonesia pada sekitar Juni 1947 itu. Ucapan itu mencerminkan problem-problem besar yang sedang terjadi di Indonesia saat itu dan harapan agar Sukarno dapat menyelesaikannya. Frasa yang terpenting di sini ialah Sukarno sebagai “lambang persatuan bangsa Indonesia”. Kata “persatuan” adalah kunci karena pada pertengahan 1947 itu Indonesia tidak lagi hanya menghadapi musuh-musuh eksternal seperti sebelumnya (walaupun perlawanan terhadap Belanda masih keras pada fase ini). Salah satu masalah besar yang dikhawatirkan kaum Republiken ialah perpecahan internal di dalam negeri, di antara sesama bangsa Indonesia.

Manifestasinya adalah dengan kesediaan sebagian dari pemimpin lokal Indonesia untuk menerima usulan Belanda guna membentuk negara federal. Selama setahun terakhir, proyek federalisme Belanda berjalan dengan sokongan sejumlah raja lokal, sebagaimana tampak dalam konferensi dan kelahiran negara federal, misalnya Konferensi Malino (16-22 Juli 1946), Konferensi Denpasar (7-24 Desember 1946), pembentukan Negara Indonesia Timur (27 Desember 1946) dan berdirinya Negara Sumatra Timur (27 Desember 1946). Eksistensi negara federal berarti melemahnya dukungan pada RI dan ini menjadi tantangan terbesar untuk gagasan “persatuan”-nya pemerintah RI. Padahal ide “persatuan” ini adalah suatu elemen penting untuk negara baru seberagam dan seluas Indonesia. Di sinilah peran Presiden Sukarno sebagai “lambang persatuan bangsa Indonesia” diharapkan hadir dan diutarakan kembali dalam momentum HUT-nya.

Baca juga: Kisah Lain Pergantian Nama Kusno Jadi Sukarno

Barangkali perayaan HUT yang paling berkesan bagi Presiden Sukarno di masa revolusi adalah dalam kesempatan peringatan ulang tahunnya yang ke-47 tahun, yang jatuh pada tanggal 6 Juni 1948. Sementara dalam dua ulang tahun sebelumnya ia berada di Pulau Jawa, tepatnya di Yogyakarta, di HUT tahun 1948 itu ia berada di tempat yang berada di luar konteks budaya dan geografi Jawa dari mana ia berasal, yakni di Payakumbuh dan di Bukittinggi, dua tempat yang merupakan inti kulturalnya Minangkabau di Sumatra bagian tengah.

Membayangkan Wakil Presiden RI Mohamad Hatta berada di Sumatra Barat dan mendapat dukungan luas di sana tentu sudah sewajarnya, di antaranya karena Hatta lahir dan besar di Bukittinggi dan antara Juni 1946-Februari 1948 Hatta memimpin rakyat Sumatra melawan Belanda dari kota kelahirannya tersebut. Tapi bagi Presiden Sukarno, kehadirannya di Sumatra Barat, dan khususnya momentum HUT-nya di sana akan memberi kesempatan bagi publik Indonesia (dan tentunya bagi musuh Republik, dalam hal ini Belanda) untuk melihat telah betapa besarnya jangkauan pengaruh Sukarno bahkan hingga ke luar Jawa.

Sejak awal Juni hingga awal Juli 1948 Presiden Sukarno mengadakan perjalanan keliling Sumatra. Berangkat dari Yogyakarta pada 3 Juni 1948, Sukarno berkunjung ke berbagai tempat di Sumatera, termasuk di Aceh, Sumatera Timur (antara lain di Sibolga dan Tarutung), Sumatera Barat (antara lain di Pariaman, Bukittinggi, Payakumbuh dan Maninjau), Pekanbaru, Jambi, Bengkulu, Lubuklinggau dan Tanjung Karang.

Mengapa sang presiden sampai harus sebulan di pulau itu? Menurut Saafroedin Bahar dalam bukunya, Etnik, Elite dan Integrasi Nasional: Minangkabau 1945-1984. Republik Indonesia 1985-2015 (2018: 85), Sumatera adalah pulau yang amat penting bagi Indonesia, dan bahkan di pertengahan 1948 itu perlu diperhatikan dengan sangat serius. Sebabnya, tulis Bahar, ialah karena Sumatera “ukurannya lebih besar dari Pulau Jawa, dengan kualitas jaringan jalan yang lebih buruk, jumlah etnik yang lebih banyak, dan merupakan daerah pangkalan kedua dari Republik”. Di samping itu, konflik internal di Sumatera terjadi di antara sesama kaum Republiken.

Berbagai usaha telah dilakukan sebelumnya oleh pemerintah pusat RI untuk menyatukan dan memperkuat dukungan terhadap pemerintah, di antaranya dengan mengirim Wakil Presiden Mohamad Hatta (yang juga menjabat sebagai menteri pertahanan) ke Sumatera pada pertengahan 1947. Untuk memperkuat fondasi yang telah dibangun Hatta di sana, Sukarno turun langsung ke Sumatera sejak awal Juni 1948.

Dalam momen kunjungannya ke Sumatera, khususnya ke Sumatera Barat, itulah Presiden Sukarno merayakan HUT-nya yang ke-47. Kegiatan Soekarno di Sumatera Barat dimulai pada 4 Juni, dengan menghadiri parade tentara di Lapangan Kantin, Bukittinggi, dan menyampaikan pidato di Solok serta Padang Panjang. Sambutan rakyat Sumatera Barat semarak benar; rapat umum di Bukittinggi dihadiri ribuan rakyat, sementara di Batu Taba (dekat Bukittinggi), rombongan Sukarno dihentikan masyarakat sekitar yang, menurut laporan Antara, “sangat berhasrat melihat wadjah kepala negaranja”, sedangkan di Padang Panjang Sukarno disambut oleh para ninik mamak dan para putri Minangkabau yang berpakaian adat serta, tulis Antara, “lautan rakjat jang memekikkan ‘merdeka’”.

Baca juga: Menengok Kisah Masa Kecil Sukarno dan Soeharto

Pada tanggal 6 Juni 1948, atau tepat di HUT-nya yang ke-47, Sukarno singgah ke Payakumbuh, dan berpidato di muka rakyat Payakumbuh yang menyambutnya dengan meriah. Pada sore dan malam hari, acaranya dilanjutkan dengan menghadiri acara pertunjukan kanak-kanak dan pemberian wejangan dan kursus politik kepada para pemuda setempat. Selepas ia menyelesaikan tugasnya untuk rakyatnya di Payakumbuh ini, barulah ia berkesempatan untuk merayakan hari ulang tahunnya, kali ini di tempat yang berjarak setidaknya 2000 km dari tanah kelahirannya. Sebagaimana dicatat dalam buku yang mengenang Residen Sumatra Barat di awal revolusi, Sutan Mohammad Rasjid, Rasjid 70 (1981), acara ramah tamah untuk memperingati HUT Presiden Sukarno malam itu dipusatkan di Istana Wakil Presiden di Bukittinggi.

Ada nuansa perayaan yang kompleks di sini, yang melibatkan sentimen kebangsaan, pengenangan kembali dan pengakuan peran Sukarno dalam perjuangan kemerdekaan, pertunjukan soliditas antara pimpinan sipil dan militer, serta, sebagaimana acara ulang tahun pada umumnya, suasana yang relaks, dalam HUT sang presiden yang ke-47 tahun ini. Antara, sebagaimana dikutip oleh surat kabar Kedaulatan Rakjat tanggal 7 Juni 1948, menulis:

Selesai memberikan kursus Bung Karno merajakan hari ulang tahun beliau jang ke-47. Hadlir dalam perdjamuan itu para pembesar tentera, sipil dan wakil badan2 perdjuangan.

Paginja  Presiden mengundjungi perlombaan kuda di Bukit Ambatjang.

Acara pacuan kuda itu diadakan di gelanggang pacuan kuda Bukit Ambacang, Nagari Gadut, Kota Bukittinggi, arena pacuan kuda yang masih dipakai hingga kini. Dalam suasana HUT Presiden Sukarno dan terutama kehadirannya sebagai presiden RI di Sumatra Barat, acara pacuan kuda itu menarik minat banyak warga Bukittinggi dan sekitarnya untuk datang. Para joki dan kudanya berpacu sekencang mungkin dalam memenangi perlombaan itu untuk memperebutkan Piala Presiden Sukarno. Sebagaimana dilaporkan oleh Antara, dalam acara hiburan rakyat ini, pemenangnya adalah “Surja”, yang berhasil melibas trek pacuan kuda sepanjang 1.600 m di Bukit Ambacang dalam waktu 2 menit 3 detik saja.

Penulis adalah staf pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta.

Kumpulan tulisan Muhammad Yuanda Zara bisa dibaca di sini.

TAG

sukarno

ARTIKEL TERKAIT

Nasib Pelukis Kesayangan Sukarno Setelah 1965 Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Supersemar Supersamar Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Kemaritiman Era Sukarno Obrolan Tak Nyambung Sukarno dengan Eisenhower D.I. Pandjaitan Dimarahi Bung Karno