BEBAS dari penjara, kondisi kesehatan mantan Panglima Kodam Siliwangi Letjen (purn.) H.R. Dharsono memburuk. Pak Ton –panggilan akrab Dharsono– jadi rentan penyakit. Sewaktu di penjara, paru-parunya terkena bronkitis yang disebabkan lembabnya ruang penjara. Melihat koleganya yang terbaring lemah, Letjen (purn.) M. Jasin datang menjenguk ke rumah Dharsono di Bandung.
“Sin, kalau dapat memutar sejarah, sebenarnya saya ingin menarik dukungan tertulis kepada Soeharto yang ikut saya berikan tahun 1967, karena dukungan itu mencelakakan saya!” kata Dharsono kepada Jasin. Dharsono mengatakannya sambil menitikkan air mata. Perjumpaan itu dikenang Jasin dalam otobiografinya M. Jasin “Saya Tidak Pernah Minta Ampun Kepada Soeharto”: Sebuah Memoar.
Baca juga artikel mengenai H.R. Dharsono: Akhir Tragis Mantan Loyalis dan Jenderal Terpidana
Jasin dan Dharsono larut dalam nostalgia masa lalu. Haru menyeruak saat keduanya mengenang memori ketika menjadi panglima di Jawa Barat dan Jawa Timur. Senada dengan Dharsono, Jasin pun ikut menyesal. Namun dia hanya bisa menyemangati Dharsono agar lekas sembuh. Tak lama setelah pertemuan itu, Dharsono meninggal pada 5 Juni 1996.
Sumpah Yogya
Dukungan tertulis yang disebut Dharsono bermula dari “Sumpah Yogya” pada 7 Juli 1967. Hari itu, di Istana Yogyakarta bertabur bintang dari kalangan perwira tinggi TNI AD. Para jenderal Panglima Kodam se-Jawa sedang berkumpul. Mereka antara lain: Panglima Siliwangi, Mayjen H.R. Dharsono, Panglima Kodam Jaya, Mayjen Amir Machmud, Panglima Diponegoro, Mayjen Surono Reksodimedjo, Panglima Brawijaya, Mayjen M. Jasin, Panglima Kostrad, Mayjen Kemal Idris, dan Komandan RPKAD (kini Kopassus), Brigjen Widjojo Sujono. Apa gerangan yang terjadi?
“Dengan label ‘Panglima se-Jawa” pada 1967, kami pernah sama-sama menyatakan dukungan tertulis atas kepemimpinan Soeharto sebagai presiden yang sedang melaksanakan koreksi total atas Orde Lama-nya Sukarno,” sebut Jasin.
Pertemuan itu berlangsung tak lama setelah Sidang Umum MPRS ke-IV. Hasil sidang menetapkan pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Sukarno. Sidang itu sekaligus mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden. Maka para panglima tadi berikrar untuk melakukan pengawalan menyukseskan ketetapan MPRS.
Baca juga: Omar Dani, Panglima yang Dinista
Rapat koordinasi yang dihadiri para penglima se-Jawa itu sepakat mendukung Jenderal Soeharto menegakkan Orde Baru. Mereka kemudian bermufakat untuk merumuskan tindakan bersama. Sebuah pernyataan kebulatan tekad pun diikrarkan. Isinya: mengambil tindakan tegas terhadap siapapun atau golongan manapun yang ingin mengembalikan kekuasaan pimpinan Orde Lama: Sukarno. Setelah ditandatangani, piagam “Sumpah Yogya” dilaporkan kepada Soeharto.
Meski tanpa instruksinya, Soeharto sangat menyetujui langkah taktis yang diputuskan para panglima se-Jawa. “Dalam waktu singkat, kebulatan tekad tersebut akan diambilalih oleh Jenderal Soeharto,” tulis Tim Dokumentasi Presiden RI dalam Jejak Langkah Pak Harto 01 Oktober 1965 – 27 Maret 1968 suntingan G. Dwipayana dan Nazarudin Sjamsuddin.
Baca juga: Kritis terhadap Soeharto hingga Akhir Hayat
Menggulung Rezim Lama
Persekutuan diantara para jenderal itu terbilang efektif menggalang kekuatan menggulung rezim Sukarno. Keesokan harinya, Kepala Staf Kodam Jaya menyatakan telah menangkap 14 orang di Jakarta. Sedangkan di daerah-daerah diadakan pembersihan.
Massa Kesatuan Aksi Jakarta sebagaimana dilansir Sinar Harapan, 22 Juli 1967, menyatakan dukungannya terhadap pernyataan Panglima se-Jawa. Aksi berlangsung di halaman Fakultas Kedokteran UI, di Jalan Salemba 6, Jakarta. Ratusan demonstran mengadakan apel kebulatan tekad menolak kembalinya Orde Lama Sukarno.
Baca juga: Menggusur Pelindung Bung Karno
Menurut jurnalis Jerman O.G. Roeder yang menulis biografi Soeharto, Sumpah Yogya mengandung enam tuntutan yang bunyinya lebih keras daripada ketetapan MPRS. Tuntutan ini sekaligus jadi legitimasi melakukan tindakan keras di daerah-daerah. Tak hanya kepada anasir PKI, tapi juga terhadap basis pendukung Sukarno seperti PNI.
“Cabang-cabang PNI di daerah-daerah telah ‘dibekukan’, ‘ditangguhkan’, atau ‘buat sementara’, ataupun ‘buat selama-lamanya’ dibubarkan,” tulis Roeder dalam Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto.
Baca juga: Jenderal Widodo Disingkirkan Soeharto
Tokoh PNI Manai Sophiaan mengakui, tekad para Panglima se-Jawa mengobarkan sikap TNI yang anti Sukarno. Dampaknya berimbas ke tengah masyarakat. Arus de-Sukarnoisasi bergerak kencang dan masif.
“De-Sukarnoisasi cepat sekali merebak seperti epidemik yang menyerang kemana-mana. Semua ajaran Bung Karno dinyatakan dilarang! Sampai-sampai dasar negara Pancasila yang dirumuskan Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, harus diperlakukan sebagai bukan hasil pemikiran Bung Karno,” ujar Manai dalam Kehormatan bagi yang Berhak: Bung Karno tidak Terlibat G30S/PKI.
Para Jenderal Bersimpang Jalan
Rezim Sukarno akhirnya terjungkal. Soeharto naik ke tampuk kekuasaan sebagai presiden. Para panglima se-Jawa yang mencetuskan Sumpah Yogya tampil sebagai para pendekar Orde Baru. Namun seiring waktu, tak semua jenderal itu sejalan dengan kepemimpinan Soeharto.
Tiga jenderal bernasib baik. Amir Machmud yang paling dipercaya Soeharto menjadi menteri dalam negeri selama tiga periode. Surono menduduki posisi penting berturut-turut sebagai menteri kesejahteraan rakyat dan menteri koordinator politik dan keamanan. Sementara Widjojo Soejono pernah menjabat kepala staf Kopkamtib – organ pusat keamanan dan stabilitas Orde Baru. Sisanya terdepak dari arena kekuasaan.
Baca juga: Nasib Jenderal Pembangkang di Era Soeharto
Kemal Idris “didubeskan” karena intrik politik. Jasin dicekal karena aktif beroposisi di kelompok Petisi 50. Dharsono mendekam dalam bui akibat tuduhan berkomplot dengan gerakan Islam radikal dalam kasus pemboman BCA.
“Politik atau sejarah rupanya memang mirip dengan drama kehidupan. Beberapa tokoh yang menandatangani penyataan kebulatan tekad akhirnya harus berhadapan dengan rezim yang dulu dibangun bersama. Dan mereka harus menghadapi akibat-akibatnya,” ujar Jasin.*