JAKARTA, 24 Desember 1966. Hakim Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILUB) mengetuk palu. Vonis hukuman dijatuhkan terhadap terdakwa Omar Dani. Sang pengadil menjeratnya dengan tuduhan berbuat makar.
“Menghukum tertuduh dengan hukuman mati dengan tambahan mencabut haknya atas pemilikan sejumlah tanda jasa, memecat tidak dengan hormat dari pangkat dan segala jabatannya,” demikian putusan hakim.
Bersamaan dengan suara ketokan palu hakim, berdentang bunyi lonceng gereja di samping gedung Mahmilub. Waktu saat itu menunjukan pukul 00.00 tengah malam. Pergantian hari menandai malam natal, malam kudus bagi pemeluk Kristen. Di saat yang sama, bulan itu bertepatan dengan Ramadhan, bulan suci bagi umat Islam untuk menunaikan ibadah puasa.
Baca juga: Kisah Tragis Panglima Sukarnois
Ketika mendengar vonis mati tersebut, Omar Dani hanya mengingat Tuhan. Baginya, pertemuan kekudusan dan kesucian dua agama pada malam itu adalah pertanda kuasa Sang Khalik telah bicara. Meski tahu suatu saat akan berhadapan dengan regu tembak, Dani tetap punya harapan yang menyala.
“Engkau Yang Maha Adil, pergunakanlah hati, pikiran, dan tanganku. Allahu Akbar! Allahu Akbar,” kata-kata itulah yang terbersit di benak Dani. Pengalaman ini dikemudian hari dikenangkan Dani dalam biografinya Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku: Pledoi Omar Dani yang disusun Benedicta Surodjo dan JMV. Soeparno.
Jadi Pesakitan
Petaka itu bermula dari perintah harian yang terbukti keliru. Pada pagi hari 1 Oktober 1965, Omar Dani mengeluarkan pernyataan menyikapi Gerakan 30 September (G30S) yang diumumkan RRI. Dari empat butir perintah, salah satunya berbunyi: “Mendukung Gerakan 30 September yang mengamankan dan menyelamatkan revolusi dan Pimpinan Besar Revolusi (Presiden Sukarno) terhadap subversi CIA.”
“Titik beratnya adalah pada dukungan terhadap gerakan yang melakukan pengamanan dan penyelamatan revolusi dan Pimpinan Besar Revolusi. Bahwa ternyata G-30-S melakukan hal yang sebaliknya, tentu saja itu bukan yang dimaksud oleh Omar Dani untuk didukung,” tulis Benedicta dan Soeparno.
Sejumlah perwira AD yang dipimpin Soeharto kemudian mengidentifikasi Dani sebagai perwira kiri. Bagi mereka, Dani setidaknya adalah loyalis garis keras Presiden Sukarno yang menolak membubarkan PKI. Kesempatan menggulung Dani tiba ketika Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret (Supersemar).
Baca juga: Menggusur Pelindung Bung Besar
Sekembali dari masa tugas di Kamboja, Omar Dani langsung diciduk. Pada 21 April 1966, Dani dikenakan tahanan rumah di Kompleks Peristirahatan AU Cibogo, Bogor. Sebulan kemudian, dia dipindahkan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Nirbaya, Pondok Gede. Keinginan Dani untuk dibela oleh Mr. Sartono dan Mr. Iskak dalam persidangan tidak diizinkan Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu).
Tidak hanya menimpa Dani. Bala politik juga lebih dulu menyasar kesatuan TNI AU. Sejarawan Asvi Warman Adam mencatat AURI menjadi bulan-bulanan sepekan setelah G30S. Beberapa perwira bahkan keluarganya ikut jadi korban kebencian yang ditujukan terhadap AU karena dianggap terlibat bersama PKI dalam G30S.
“Mobil Laksamana Muda Aburachmat, mobil Letnan Udara Satu Wara Chusnul Chotimah dan lain-lain ditabrak oleh jip-jip RPKAD. Ibu-ibu istri anggota AURI yang berbelanja di pasar di luar Halim diejek, juga pasukan karbol (taruna Akademi TNI AU) yang berdiri di pinggir jalan dalam sikap sempurna dan memberi hormat pada iring-iringan jenazah para jenderal korban G30S, diludahi mukanya oleh pasukan AD yang berada di atas panser,” tulis Asvi dalam Menguak Misteri Sejarah.
Masa Penderitaan
Di RTM Nirbaya, Dani tinggal di kompleks penjara Amal, satu dari tiga kompleks penjara di sana. Kamar tahanannya seperti bungalo. Ukurannya 5x6 meter lengkap dengan berbagai fasilitas: kamar mandi, WC, tempat tidur, sofa, meja makan, dan lemari.
Meski menjadi satu-satunya penghuni di situ, Dani dijaga ketat oleh sekompi Yon Para dari Polisi Militer Angkatan Darat. Dia juga diisolasi dari dunia luar. Dani dilarang untuk berbincang dengan sesama tahanan lain. Kesepian menjadi penyakit dalam masa pemenjaraan. Di Nirbaya pula, Omar Dani menerima surat pemecatannya dan pencabutan tanda jasanya yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno – sosok yang begitu dijunjung tinggi oleh Dani.
Baca juga: Sukarno Kecil dari AURI
Beruntung, Teperpu masih membolehkan keluarga untuk menjenguk Dani saban dua pekan sekali. Salah satu teman dekat Dani di Nirbaya adalah Soebandrio, mantan Menteri Luar Negeri, yang kamar tahanannya bersebelahan. Mereka saling menjaga jika salah seorang menderita sakit. Selama di penjara, Dani memang pernah terserang penyakit Hepatitis C. Persahabatan itu terus berjalin ketika Nirbaya ditutup. Mereka lantas dipindahkan ke RTM Budi Utomo dan Lembaga Pemasyarakatan Cipinang.
Sepanjang rezim Orde Baru berkuasa, Omar Dani dinista. Alih-alih dikenang sebagai Panglima AU di masa jaya, sosok Dani lebih ditonjolkan sebagai pengkhianat negara. Kisah klasik tentang bagaimana penguasa melenyapkan nama Omar Dani diungkap oleh budayawan Ayatroehadi.
Dalam sebuah seminar, Ayatroehadi menerangkan pengalaman seorang guru sejarah yang membawa murid-muridnya ke museum Angkatan Udara di Yogyakarta. Di situ terpampang foto-foto pimpinan Angkatan Udara masa ke masa. Ada foto KSAU pertama, Suryadi Suryadarma. Namun anehnya tak ada foto Panglima AU yang kedua. Deretan itu langsung kepada KSAU ketiga, Sri Mulyono Herlambang, dan seterusnya. Foto Omar Dani KSAU kedua diraibkan begitu saja. Menurut Ayatroehadi, cara menghitung Orde Baru memang ajaib: dari satu langsung tiga.
“Demikianlah salah satu cara rezim Orde Baru merekayasa sejarah,” tulis Asvi. Selain itu, catat Asvi, semasa rezim Orde Baru, hubungan antara Presiden Soeharto dengan AURI sebagai sebuah lembaga tampaknya tidak pernah mesra, Soeharto lebih percaya kepada teknokrat seperti B.J. Habibie ketimbang tenaga ahli AURI dalam membangun industri kedirgantaran.
Pada 14 Desember 1982, Omar Dani menerima grasi. Hukumannya diganti menjadi penjara seumur hidup. Akhirnya pada 16 Agustus 1995, Dani dibebaskan karna faktor lanjut usia bersama dengan Soebandrio dan mantan Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Sugeng Sutarto. Selama 29 tahun 4 bulan, Dani menjalani hidupnya dengan meringkus dalam tembok penjara.
Baca juga: Memburu Soebandrio
Menurut sang istri Sri Setiani, dikutip Tempo, 21 Juni 2009, pengalaman hampir 30 tahun terasing dipenjara menyisakan beban traumatis bagi Dani. Namun Dani berbesar hati. Sebelum meninggal, dia sempat berujar dengan nada enteng, “Sudahlah, semua sudah terjadi, lagi pula untuk apa saya dendam, wong dia (Soeharto) dulu juga belum tentu memikirkan saya.”
Pada akhirnya, Omar Dani beristirahat dengan tenang pada 24 Juli 2009. Dalam usia sepuh: 85 tahun, Sang Marsekal kesayangan Sukarno ini meninggal. Dalam damai tanpa dendam. Sementara, rezim yang memenjarakannya telah tumbang lebih dahulu oleh kekuatan rakyat pada 21 Mei 1998. (Selesai)