Masuk Daftar
My Getplus

Flypass Nekat Montir Pesawat Rayakan HUT RI

Kisah flypass pertama Republik. Dilakoni pilot dadakan dengan pesawat bekas Jepang.

Oleh: Randy Wirayudha | 19 Agt 2021
Flypass jet tempur F-16 TNI AU di langit Jakarta pada HUT RI ke-76 (tni-au.mil.id)

PERINGATAN HUT RI ke-76 tahun ini tak bisa dirayakan dengan meriah karena masih masa pagebluk. Upacara proklamasi di Istana Merdeka pada Selasa (17/8/2021) pun digelar dengan protokol kesehatan ketat. Namun, masyarakat masih bisa berbangga karena pesawat-pesawat TNI AU tetap mengudara di langit ibukota menyunguhkan atraksi sebagai kado HUT RI.

Mengutip keterangan Dispenau di laman resmi TNI AU, Rabu (18/8/2021), sebanyak 14 pesawat dikerahkan untuk beratraksi dalam dua gelombang. Gelombang pertama, Garuda Flight, terdiri dari delapan jet tempur F-16 “Fighting Falcon” berangkat dari Pangkalan Udara (Lanud) Iswahyudi. Gelombang kedua, Nusantara Flight, diperkuat satu helikopter EC-725 “Caracal” dan tiga NAS-332 “Super Puma” dari Lanud Atang Sendjaja serta dua heli NAS-332 L1 “Super Puma” dari Lanud Halim Perdanakusuma.

Tim Nusantara Flight terbang dengan enam helikopter membawa bendera dwiwarna raksasa berkuran 30x20 meter. Sedangkan tim Garuda Flight melakoni flypass, bermanuver bomb burst, dan mengucapkan selamat HUT RI dari angkasa.

Advertising
Advertising

“Kami elang-elang Angkatan Udara penjaga tanah air dari ketinggian 1.000 kaki mengucapkan selamat ulang tahun ke-76 Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 2021. Indonesia tangguh, Indonesia tumbuh, salam Swa Bhuwana Paksa, Merdeka!” ujar flight leader Letkol (Pnb) Agus Dwi Aryanto dari kokpit F-16 kala terbang di atas Istana Merdeka.

Atraksi dalam dua gelombang itu menurut TNI AU merupakan sejarah baru matra udara dalam memperingati HUT RI. Atraksi tersebut mengundang decak kagum warga ibukota lantaran dilakoni oleh para pilot handal yang mempersaipkannya sejak 13 Agustus.

Namun, sejatinya atraksi di udara pernah dilakukan pada masa revolusi fisik. Bertujuan untuk show off force militer dalam memperingati HUT RI pertama, atraksi itu dilakoni secara nekat oleh montir pesawat yang jadi penerbang dadakan.

Baca juga: Sarang Helikopter TNI AU, Lanud Atang Sendjaja

Atraksi "Nusantara Flight" enam helikopter TNI AU yang membawa dua bendera raksasa (tni-au.mil.id)

Aksi Nekat Penerbang Bujangan

Syahdan, pada 16 Agustus 1946 para montir alias kru teknik Tentara Republik Indonesia (TRI) Udara Malang terus-terusan memekikkan kata “merdeka” di markas mereka, Lanud Bugis (kini Lanud Abdulrachman Saleh). Mereka begitu girang komandan mereka, Lettu Hanandjoeddin (kepala bagian teknik Lanud Bugis), dibebaskan dari hotel prodeo.

Bung Anan, begitu sang komandan biasa disapa, sepekan mendekam di sel markas Polisi Tentara Divisi VII/Untung Surapati. Gara-garanya, Anan nekat menghibahkan pesawat pembom lungsuran Jepang Kawasaki Ki-48 “Sokei” yang dinamai Pangeran Diponegoro-II (PD-II) kepada Markas Tinggi TRI Udara di Yogyakarta pada awal Agustus tanpa izin Panglima Divisi VII Mayor Jenderal Imam Soedja’i.

Peristiwa itu merupakan salah satu imbas dari tarik-ulur kepemilikan aset TRI Udara Malang di Lanud Bugis –yang masih berada di bawah naungan TRI Divisi VII/Untung Surapati– dan Markas TRI Udara Yogyakarta. Lanud Bugis sendiri direbut Divisi Untung Surapati dari tangan Jepang pada September 1945. Namun di lain pihak, Anan dan pasukannya merasa sebagai bagian TRI Udara Yogya berdasarkan kompetensi mereka di bidang kedirgantaraan.

“Hari itu (pasca-dibebaskan, red.) Bung Anan mengumpulkan anggota. Ada hal yang ingin disampaikan. Pertama, demi solidaritas personil, Bung Anan menjelaskan permasalahan yang terjadi. Kedua, merundingkan kegiatan memperingati HUT Kemerdekaan RI untuk pertamakalinya,” tulis Haril M. Andersen dalam Sang Elang: Serangkai Kisah Perjuangan H. AS Hanandjoeddin di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI.

Baca juga: Melarikan Pesawat dari Malang ke Yogya

Tak ingin memperkeruh konflik antara Malang dan Yogya, Anan memilih merancang atraksi udara. Selain untuk mengalihkan perhatian anak buahnya dari konflik, atraksi dimaksudkan untuk memperlihatkan kekuatan militer republik kepada masyarakat.

“Saudara-saudara, musuh kita adalah Belanda dan tentara Sekutu yang sewaktu-waktu akan kembali menancapkan kekuasaannya di Indonesia. Karena itu proklamasi kemerdekaan yang harus kita pertahankan sampai titik darah penghabisan. Besok pagi kita perlu adakan demonstrasi dengan pesawat merah putih untuk mengobarkan semangat rakyat,” kata Anan menyerukan, dikutip Haril.

Pesawat Tachikawa Ki-55 "Cukiu" yang ada di Lanud Bugis (kiri) & Kabag Teknik Hanandjoeddin (Dispenau/Repro: Sang Elang)

Hari itu juga mereka bertukar pikiran guna merancang atraksi di langit kota Malang. Rencananya, mereka akan menggunakan pesawat Tachikawa Ki-55 “Cukiu”. Pesawat jenis itu salah satu peninggalan Jepang paling banyak yang terdapat di Lanud Bugis dan sudah dalam keadaan siap terbang.

Namun, ada kendala yang mesti mereka pecahkan bersama: ketiadaan pilot. Sejak September 1945, mengutip Dispersau dalam Sedjarah Pertumbuhan AURI, di Lanud Bugis sangat minim penerbang. Mayoritas yang ada di sana sekadar montir yang sudah bekerja semenjak Jepang masih menguasai lanud.

Penerbang yang ada di Bugis hanya pria yang biasa dipanggil Atmo, eks-pilot Jepang yang biasa menguji setiap pesawat yang selesai diperbaiki. Sayangnya, tak lama kemudian Atmo dipulangkan ke Jepang. Selain Anan, hanya lima montir yang pernah diajari Atmo mengoperasikan pesawat: Sukarman, Idung Sukoco, Mudjiman, Djauhari, dan Bancet Sudarmadji.

Baca juga: Panglima Soedirman Diterbangkan Pilot Jepang ke Bali

Meski sudah diajari, kelimanya tetap ragu menerbangkan pesawat. Rencana atraksi udara pun masih “alot”.

“Jadi bagaimana? Di antara kita siapa yang berani menerbangkan pesawat? Kalau tidak ada yang siap, saya sendiri yang akan terbang besok pagi,” tantang Anan.

“Jangan, Dan! Biar saya saja. Saya siap!” ujar Sukarman menyela.

“Ya, komandan sudah berkeluarga. Kasihan istri dan anak. Kalau Sukarman kan masih bujangan,” timpal montir Mustari.

“Baiklah kalau begitu. Kita percayakan pada saudara Sukarman untuk misi ini. Sebaiknya ditemani saudara Bancet yang sama-sama bujangan,” sambung Anan.

“Siap, Dan!” tandas Bancet.

Anan pun mempersiapkan segalanya, termasuk santunan. Jika terjadi kecelakaan yang mengakibatkan cacat atau meninggal, Anan siap menggalang dana santunan dari gaji masing-masing sebesar Rp2,5 dan dana yang terkumpul akan disumbangkan ke pihak keluarga secara rutin per bulan.

Pesawat Cukiu peninggalan Jepang (kiri) & montir Sukarman (Dispenau/Repro: Sang Elang)

Flypass Berujung Celaka

Hingga 16 Agustus 1946 malam, pasukan Anan masih sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk atraksi keesokan paginya. Rute flypass di sekitar kota Malang, pengecekan komponen-komponen pesawat, hingga pengecatan roundel (tanda pengenal berupa lingkaran merah-putih di badan pesawat) semua diperhitungkan secara masak.

“Pukul 7 pagi tanggal 17 Agustus 1946, suara mesin pesawat terdengar menderu di Lanud Bugis. Sukarman dan Sudarmadji mulai beraksi di kokpit Cukiu. Kedua pemuda nekat ini siap melakukan penerbangan ‘bunuh diri’ dengan misi mengobarkan semangat rakyat Jawa Timur, khususnya kota Malang,” sambung Haril.

Anan lega. Tahap awal misinya berjalan lancar. Kedua pilot melakukan lepas landas zonder masalah. Sukarman sang pilot lantas terbang selama 30 menit melintasi beberapa titik ramai kota Malang sesuai rute yang direncanakan.

“Sorak-sorai masyarakat melihat pesawat merah putih yang terbang begitu rendah di atas pasar dan alun-alun kota Malang. Begitu beraninya Sukarman bermanuver terbang rendah. Saking rendahnya, nyaris saja menyambar puncak atap gereja,” lanjutnya.

Baca juga: Tarik-Ulur Lanud Bugis Antara Yogya dan Malang

Beruntung Sukarman masih bisa mengendalikan pesawat sehingga ketika terbang rendah lagi dia lebih hati-hati. Penduduk kota yang mulai riuh melihat atraksinya kaget sekaligus bangga. Pekik “merdeka!” terdengar setiap kali duet Sukarman-Sudarmadji terbang di atas mereka.

“Atraksi udara ini membakar semangat rakyat. Hari itu rasa nasionalisme rakyat Malang meluap. Rakyat pun jadi tahu kalau republik yang baru berumur satu tahun sudah memiliki kekuatan udara. Sungguh hebat dampak psikologis yang ditimbulkan dari aksi nekat Sukarman dan Sudarmadji,” sambung Haril.

Ilustrasi Pesawat Ciukiu yang disiapkan para montir lanud (Dispenau/Repro: Sang Elang)

Setelah puas melakoni flypass beberapa kali, keduanya pun balik kanan mengarah ke lanud. Di saat itulah masalah menghampiri keduanya. Baik Sukarman maupun Sudarmadji masih gagap dalam prosedur pendaratan.

Hal itu membuat Anan dan rekan-rekannya yang menanti di lanud khawatir. Mereka mengamati pesawat itu sudah 21 kali berputar-putar di atas lanud seperti hendak landing tapi melulu gagal.

“Brak!”

Musibah yang dikhawatirkan Anan pun terjadi. Pesawat itu ringsek setelah menghantam rerumputan di sisi landasan gegara kehabisan bahan bakar. Anan dan anak buahnya langsung berlarian dan histeris setelah mendapati pesawat itu terbelah menjadi tiga bagian.

“Dari balik patahan pesawat terlihat Sukarman dan Sudarmadji tampak tak bergerak. Para anggota teknik menangis haru. (Tapi) keajaiban tiba-tiba terjadi. Saat hendak dikeluarkan dari reruntuhan pesawat, terdengar suara merintih. Sukarman dan Sudarmadji ternyata hanya pingsan. Mereka selamat dari kecelakaan tragis itu,” tulis Haril.

Tangis haru para kru teknik seketika berubah jadi tangis bahagia. Sudarmadji yang baru berusia 20 tahun saat itu hanya mengalami luka di keningnya. Sedangkan Sudarmadji “Bancet” hanya luka di bagian badan gegara tertiban senapan mesin yang terlepas. Senapan mesin itu pula yang menyelamatkannya karena jaketnya tersangkut di kaki senapan mesin hingga membuatnya tak terhempas keluar dari kokpit.

Baca juga: Enam Perintis TNI AU yang Meninggal Tragis

TAG

hut-ri tni-au

ARTIKEL TERKAIT

Dari Pemberontakan ke Pemberontakan (Bagian II – Habis) Dari Pemberontakan ke Pemberontakan (Bagian I) Komandan AURI Pantang Kabur Menghadapi Pasukan Gaib Waktu Punya Tupolev, Angkatan Udara Indonesia Kuat Purnatugas Heli Puma Kisah Pasukan Gabungan AURI-ALRI Menahan Gempuran Belanda Lika-liku Pesawat T-50 Hanandjoeddin Perintis di Tengah Keterbatasan Kapten Wisnu Celaka di Natuna Seragam Batik Tempur