Hari ini TNI AU berdirgahayu ke-75. Garda langit NKRI itu lahir di masa revolusi fisik pada 9 April 1946 dengan nama Tentara Repoeblik Indonesia (TRI) Oedara. Sebelumnya, TRI Oedara menyandang nama Tentara Keamanan Rakjat (TKR) Djawatan Oedara.
Matra udara militer Indonesia itu kekuatannya dibangun dengan sisa-sisa pesawat bekas Jepang. Salah satunya pernah digunakan untuk menerbangkan Panglima Besar Jenderal Soedirman hingga ke Bali.
Pada akhir 28 April 1946, sang jenderal melakonis itu punya agenda tugas ke Malang, Jawa Timur. Mengutip Taufik Abdullah dkk dalam 50 Tahun Indonesia Merdeka: 1945-1965, Panglima Soedirman akan menginspeksi tawanan tentara Jepang yang sudah dilucuti TRI. Para tawanan yang sebelumnya ditahan di Penjara Lowok Waru, Malang, hendak diberangkatkan ke Surabaya untuk diserahkan kepada pihak Sekutu yang akan memulangkan mereka ke Jepang.
Namun sehari sebelumnya, 27 April, atau 18 hari setelah TRI Oedara (kini TNI AU) lahir lewat Penetapan Pemerintah Nomor 6/SD Tahun 1946, sang jenderal lebih dulu menginspeksi kekuatan TRI Oedara di Pangkalan Bugis, Malang (kini Lanud Abdulrahman Saleh). Pasalnya ia mendengar bekas pesawat Jepang yang diambilalih untuk menjadi kekuatan tempur AU banyak terdapat di Malang selain di Pangkalan Maguwo, Yogyakarta dan Pangkalan Andir, Bandung.
Baca juga: Tragedi Dakota dalam Hari Bakti Angkatan Udara
Kunjungan istimewa sang jenderal itu ditemani sejumlah pejabat Jawa Timur. Selain Gubernur Jawa Timur RMT Ario Soerjo, turut pula Panglima Divisi VII/Oentoeng Soeropati Jenderal Mayor Imam Soedja’i, Ketua KNI Surabaya Doel Arnowo, dan Ketua Barisan Pemberontak Repoeblik Indonesia (BPRI) Soetomo alias Bung Tomo.
“Dalam kunjungan ini, ikut pula perwira dari Markas Besar TRI Angkatan Oedara Yogyakarta, Halim Perdanakusuma dan Abdulrachman Saleh. Dua penerbang andal TRI Oedara masa itu,” ungkap tim sejarah MBAU dalam Sedjarah Pertumbuhan AURI.
Komandan Pangkalan Bugis cum Ketua TRI Oedara Malang saat itu dijabat Lettu Imam Soepeno. Sementara tanggungjawab atas perbaikan semua pesawat Jepang yang diambilalih terletak di pundak Komandan Pertahanan Teknik Pangkalan Lettu Hanandjoeddin. Kala itu, Pangkalan Bugis punya belasan pesawat serbu Cukiu (Tachikawa Ki-55), tujuh pesawat pembom tukik Guntai (Mitsubishi Ki-51), serta masing-masing satu unit pesawat angkut Rocojunana dan pembom ringan Sokei (Kawasaki Ki-48).
Baca juga: Enam Perintis TNI AU yang Meninggal Tragis
Dua pesawat terakhir diberi nama Pangeran Diponegoro I (PD-I) dan Pangeran Diponegoro II (PD-II) setelah siap terbang usai diperbaiki dan diujicobakan sebelumnya. Mulanya, Jenderal Mayor Imam Soedja’i menawarkan Panglima Soedirman untuk menjajal PD-II. Namun ia lebih tertarik menjajal PD-I alias pesawat pembom ringan Sokei Ki-48. Menariknya, Jenderal Soedirman justru ingin “disopiri” oleh pilot yang sebelumnya mengujicobakan PD-I ketimbang dipiloti Halim atau Abdulrachman Saleh yang sudah diakui keandalannya sebagai penerbang.
“Siapa yang kemarin menguji coba pesawat ini?” tanya Soedirman, dikutip Haril Andersen dalam biografi H. AS Hanandjoeddin, Sang Elang: Serangkai Kisah Perjuangan di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI.
“Siap, Panglima! Penerbang Atmo yang sudah mengujicobanya,” jawab Jenderal Imam Soedja’i.
“Kalau begitu, saya minta Atmo untuk menerbangkannya lagi. Saya mau mencoba naik pesawat ini,” pinta Soedirman.
Baca juga: Akhir Tragis Alutsista AURI yang Legendaris
Seraya memanggil Atmo, Hanandjoeddin meminta komandan regu perbaikan PD-I opsir Mohammad Usar untuk menyertai Panglima Soedirman. Setelah sedia, keduanya berbaris di hadapan panglima dengan sikap siap.
“Ketika itu barulah Pak Dirman tahu kalau Atmo seorang penerbang Jepang. Namun ia sudah dijamin membaktikan diri menjadi penerbang Indonesia. Atmo adalah seorang sahabat AURI di masa kemerdekaan. Cukup besar andilnya dalam menguji coba pesawat-pesawat peninggalan Jepang,” lanjut Haril.
Soedirman tetap pada pendiriannya untuk menjajal kokpit pesawat PD-I dengan dipiloti Atmo dan ditemani Usar sebagai teknisinya.
“Pesawat PD-I stand by di ujung landasan. Suara mesinnya meraung-raung. Tak lama kemudian pesawat take off dengan mulus. Sesuai permintaan Pak Dirman, pesawat terbang di atas kota Banyuwangi, lalu ke arah Bali. Kemudian kembali lagi ke Pangkalan Bugis setelah terbang tiga perempat jam,” sambung Haril.
Baca juga: Gempur-menggempur di Malang Timur
Pesawat itu kembali mendarat di Pangkalan Bugis dengan selamat. Raut wajah Pak Dirman tampak puas kala keluar dari pesawat. Hanandjoeddin lega Pak Dirman bisa kembali dengan “utuh”. Maklum, pesawatnya membawa orang nomor satu di militer Indonesia. Kelegaan lain Hanandjoeddin adalah ketika mengecek kondisi pesawat, ternyata masih prima.
Padahal, pesawat itu mengalami kebocoran hidrolik dan pompa oli kala diujicobakan pada medio Februari 1946 usai diperbaiki siang-malam oleh teknisi Usar, Kartono, Mat Karim, Naim, dan Moedjiman dengan pengwasan Hanandjoeddin.
“Di kemudian hari pesawatnya dibawa ke Yogyakarta. Meski begitu pesawat Pangeran Diponegoro-I tak pernah digunakan dalam misi pengeboman. Lebih sering digunakan Jenderal Mayor Soedibjo untuk mengurus tawanan perang RAPWI,” tandas Haril.