Masuk Daftar
My Getplus

Tarik-Ulur Lanud Bugis Antara Yogya dan Malang

Aset AURI yang diklaim Divisi Untung Suropati. Butuh setahun lebih untuk mendapatkannya.

Oleh: Randy Wirayudha | 10 Apr 2021
Replika Tachikawa Ki-55 "Cukiu", di mana sejak 1945 jenis pesawat latih bekas Jepang ini banyak "dihidupkan" kembali di Lanud Bugis (Randy Wirayudha/Historia.id).

BUKAN hal mudah bagi Kepala Staf Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) Komodor Suryadi Suryadarma mengonsolidasikan kekuatan semenjak AURI (kini TNI AU) didirikan via Penetapan Pemerintah No. 6/SD tanggal 9 April 1946. Sejak masih bernama Tentara Republik Indonesia (TRI) Jawatan Udara, alutsista maupun sumber daya manusianya (SDM) masih tersebar dan belum satu komando.

“Sejak diresmikannya AURI, praktis telah mendorong pimpinan untuk menyempurnakan organisasi. Betapapun sulitnya masalah waktu itu, khususnya dalam usaha mempersatukan TKR Bagian Penerbangan yang otonom telah kuat kedudukannya di masing-masing daerah, tidak jarang terbentur ketegangan pendirian yang sebetulnya tak perlu terjadi,” tulis Irna HN Sowito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950.

Ketegangan pendirian itu terjadi antara lain di Pangkalan Udara (Lanud) Bugis di Malang, Jawa Timur (kini Lanud Abdulrachman Saleh). Butuh waktu hingga setahun sejak AURI berdiri sampai Lanud Bugis bisa diambil alih Markas AURI di Yogyakarta dari TRI Divisi VII/Suropati di bawah Jenderal Mayor Imam Soedja’i.

Advertising
Advertising

Baca juga: Tragedi Dakota dalam Hari Bakti Angkatan Udara

Ketua BKRO Malang Imam Soepeno (kiri) & Hanandjoeddin (kedua dari kiri) tengah memeriksa peninggalan Jepang di Lanud Bugis. (Repro Sang Elang).

Lanud Bugis sejak 22 September 1945 direbut Badan Keamanan Rakyat (BKR) dari tangan Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Pada 10 Oktober 1945, lima hari pasca-perubahan status dari BKR ke TKR, TKR Oedara (TKRO) Malang pun dibentuk untuk tempat sekolah penerbang dan bagian teknis untuk mengurusi 105 pesawat bekas Jepang yang menghampar di hangar-hangar Lanud Bugis.

“Sebenarnya sekolah (penerbang Bugis) ini sudah berdiri sejak September 1945. Penggagasnya H. Soejono, eks-siswa penerbang Kalijati yang sudah meraih Klein Militaire Brevet (KMB), Soelistyo (eks-penerbang yang juga sudah memiliki KMB), Hendro Soewarno (eks-PETA), dan Soehoed, seorang teknisi,” ungkap Yos Bintoro dalam Fly to Fight: Biografi Komodor Udara Agustinus Adisutjipto.

Baca juga: Enam Perintis TNI AU yang Meninggal Tragis

Imam Soepeno ditetapkan sebagai ketua TKRO Malang. Untuk pimpinan teknis di lapangan dipercayakan kepada Anan alias Hanandjoeddin, pemuda kelahiran Pulau Belitung yang sebelumnya jadi kepala montir bengkel pesawat Jepang di bawah satuan tempur Ozawa Butai dan Tomimuri Butai. Anan membawahi sejumlah montir yang bertanggungjawab atas perbaikan dan perawatan 105 pesawat peninggalan Jepang.

Mengutip Haril M. Andersen dalam Sang Elang: Serangkai Kisah Perjuangan H. AS. Hanandjoeddin di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI, Anan dan anak buahnya memanfaatkan pengetahuannya semasa bekerja untuk Jepang demi menghidupkan empat pesawat Cukiu (Tachikawa Ki-55) yang sebelumnya tak bernafas dalam waktu sepekan setelah berdiriya TKRO Malang.

Dua di antara Cukiu itu sudah bisa test flight pada 17 Oktober dengan dipiloti Anan sendiri dan Atmo, eks-pilot Jepang, lantaran para kadet belum lulus sekolah penerbangan.

Tarik-Ulur antara Yogya dan Malang

Keberhasilan itu jadi pendorong Divisi VIII/Untung Surapati untuk kian dalam menancapkan kukunya sebagai pemegang otoritas lanud. Terlebih pasca-Pertempuran Surabaya, 10 November 1945, Anan dkk. dari TKRO Malang diinstruksikan ikut pendidikan tempur. TKRO Malang sendiri nyaris dilikuidasi demi para personelnya dilebur ke Divisi VIII.

“Pada waktu bersamaan, 12 November 1945 di Yogyakarta, sedang berlangsung Konferensi Markas Tertinggi TKR. Dalam konferensi itu diputuskan bahwa semua yang berhubungan dengan tugas-tugas penerbangan, diselenggarakan oleh Markas Besar Oemoem (MBO) Penerbangan di Yogyakarta. Dengan keputusan itu semestinya Lanud Bugis otomatis berada di bawah MBO Penerbangan. Namun kenyataannya Lanud Bugis berada dalam kendali Divisi VIII dan menghendaki dilebur saja karena ketiadaan biaya,” tulis Haril.

Baca juga: Tragedi Pesawat Angkatan Udara di Mata Utami Suryadarma

Konflik itu berlangsung hingga akhir November dan sampai jadi perhatian Sutomo alias Bung Tomo. Setelah pihak MBO Penerbangan Yogya menghubungi Bung Tomo, komandan Badan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) itu pun mencegah pembubaran TKRO Malang.

“Bung Tomo figur yang sangat disegani semua jajaran petinggi pejuang Jawa Timur. Ketua BPRI ini menyambut keberadaan TKRO dengan antusias: ‘Tidak ada yang boleh membubarkannya!’ Atas prakarsa Bung Tomo, diadakanlah perundingan di Jalan Dr. Soecipto Nomor 1 Malang. Petinggi Divisi VIII dan pentolan TKRO Malang, Bung Anan, ikut diminta hadir membahas kelanjutan TKRO,” sambungnya.

Suryadi Suryadarma & Agustinus Adisutjipto intens merundingkan proses integrasi Lanud Bugis. (Repro Sejarah Pendidikan Perwira Penerbang: Periode 1945-1950).

Dari perundingan itu diputuskan TKRO Malang sebagai unit pelaksana lapangan di Lanud Bugis tetap dipertahankan di bawah kewenangan Divisi III. Namun TKRO harus kompromi lantaran anggotanya secara bergilir dilatih dan ditugaskan ke front tempur.

Walau statusnya tetap belum berpindah ke MBO Yogya, utusan-utusan dari ibukota acap mendatangi Lanud Bugis. Komodor Suryadarma bersama Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto melawat ke sana pada November 1945. Adisutjipto kembali lagi ke Bugis pada Desember 1945 untuk inspeksi pesawat dan kadet. Hal itu makin menumbuhkan keinginan Anan dan krunya untuk mencari cara-cara diplomatis agar bisa menginduk ke Yogyakarta.

“Hingga memasuki Januari 1946, status Lanud Bugis belum juga jelas. Masih ingin mencari induk organisasi. Pihak Divisi VIII mengklaim Lapangan Bugis berada di bawah komandonya. Namun di kalangan anggota TKRO mulai menyadari sesungguhnya induk mereka adalah Markas Tertinggi Jawatan Penerbangan di Yogyakarta,” imbuh Haril.

Baca juga: Peristiwa di Malang yang Terus Dikenang Suryadi Suryadarma

Pada pertengahan Januari, perundingan antara pimpinan TKRO Malang dengan Suryadarma dan Adisutjipto digelar di Yogya dan Madiun, namun tak juga mendapat titik terang. Tarik-ulur makin terasa kala memasuki Februari 1946 dengan terjadinya pergantian status dari TKR menjadi TRI.

“Seiring terbentuknya TRI Udara, pimpinan Suryadarma terus berupaya melakukan pengintegrasian semua lanud dengan maksud penyatuan kekuatan udara, tak terkecuali Lanud Bugis. Hingga saat itu status Lanud Bugis belum sepenuhnya di bawah Markas Tinggi TRI Udara Yogyakarta. Divisi VII (sebelumnya Divisi III) Jawa Timur tetap mengklaim Lanud Bugis di bawah komandonya,” ungkap Haril.

Satu dari sekian pesawat Tachikawa Ki-55 "Cukiu" hasil perbaikan kru teknik Lanud Bugis. (Dispenau/Repro Sang Elang).

Menjawab klaim itu Suryadarma terus-menerus mengirim utusan, seperti Opsir Udara (OU) H. Soejono, Opsir Muda Udara (OMU) III RA Wiriadinata, OMU II R. Soedirman, dan OMU I Soerjono untuk berkoordinasi dengan Ketua TKRO Imam Soepeno dan Lettu Anan. Mereka mengemban misi mendorong pengintegrasian TRI Udara Malang ke bawah komando Yogya.

“Namun upaya itu tak serta-merta terwujud. Posisi TRI Udara Malang laiknya tali tambang dengan dua ujung yang saling menarik. Tegasnya penyatuan Lanud Bugis mengalami keseretan sehingga timbul semacam ketegangan diakibatkan kesalahpahaman siapa yang berkuasa. Garis komando memang masih dipegang Divisi VII, namun secara psikologis para prajurit Lanud Bugis yang dimotori Anan lebih merasa sebagai warga TRI Udara. Terlihat dari tindakan-tindakan berani Bung Anan yang terkesan tak sejalan dengan kebijakan pimpinan Divisi II,” tambahnya.

Baca juga: Prajurit AURI-Belanda Gempur-menggempur di Malang Timur

Kondisi psikologis para anggota TKRO yang merasa lebih sebagai bagian TRI Udara membuat Anan beberapakali melakukan tindakan nekat. Dia bahkan sampai dibui sepekan.

Sebaliknya, banyaknya pesawat yang dimiliki Lanud Bugis membuat banyak pihak meminta bantuan pesawat ke sana. Termasuk Lanud Maguwo yang diwakili langsung oleh Komodor Muda Adjisutjipto.

Kolase kepala teknik Lanud Bugis, Lettu/OMU III Hanandjoeddin. (Repro Sang Elang).

Seiring berdirinya AURI pada 9 April 1946, pengintegrasian semua kekuatan udara diintensifkan lagi oleh KSAU Komodor Suryadarma. Momen itu berpengaruh pada Anan dkk. Mereka mendapat pangkat lagi selain dari Divisi VII. Selain punya pangkat lettu dari Divisi VII, Anan kini juga berpangkat OMU III.

“Seingat kami ketika AURI baru terbentuk itu hanya ada 20 orang perwira di seluruh Indonesia, termasuk kami sendiri,” tulis Anan di buku hariannya yang dikutip Haril.

Baca juga: Panglima Soedirman Diterbangkan AURI ke Bali

Pemberian pangkat oleh komando dari Yogya itu, lanjut Haril, sebagai strategi mempercepat integrasi. Namun pangkat Anan itu baru berlaku secara resmi pada 9 April 1947 bersamaan dengan penunjukan Komodor dr. Abdulrachman Saleh sebagai komandan Lanud Bugis merangkap Lanud Madiun.

Apresiasi itu dibalas Anak dkk. dengan mengirimkan sejumlah pakaian militer bekas Jepang yang terbuat dari wol kepada Presiden Sukarno dan para pimpinan AURI di Yogyakarta. Sebagai balasan atas apresiasi itu, Suryadarma berkunjung lagi ke Lanud Bugis pada 10 Mei 1946. Lawatan Suryadarma sekaligus untuk memberi ucapan selamat secara langsung pada keberhasilan percobaan penerbangan pesawat pembom Nakajima Ki-49 yang dinamai “Pangeran Diponegoro-I”. Test flight itu berlangsung pada 27 April 1946, turut membawa Pangsar Jenderal Sudirman keliling Malang hingga Bali.

“Pak Surya sengaja datang untuk mengucapkan rasa terima kasihnya kepada TRI Udara Lanud Bugis yang dinilainya telah banyak membantu kelangsungan perjuangan bangsa, baik berupa bantuan pesawat maupun barang-barang lain, terutama untuk membentuk kekuatan udara nasional. Kedatangan Pak Surya juga dalam rangka diplomasi untuk mempercepat proses integrasi,” sambung Haril.

Panglima TRI Jenderal Soedirman usai diterbangkan ke Bali dengan pesawat pembom Nakajima Ki-49 "Pangeran Diponegoro-I" (Angkasa I No. 5 tahun 1950/Repro Sang Elang)

Akan tetapi setelah mengetahui Anan dibui, pimpinan AURI mengirim Komodor Abdulrachman Saleh ke Malang beberapa kali sejak September 1946.

“Pak Karbol (sapaan Abdulrachman Saleh) lebih mengedepankan kekuatan otak ketimbang otot, untuk menghindari terjadinya konfik antar-kesatuan. Ia melakukan berbagai upaya pendekatan sebelum melaksanakan pengambilalihan komando. Proses ini cukup panjang dan berliku, memakan waktu satu tahun,” ungkap Haril.

Abdulrachman Saleh juga memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Bersamaan dengan serangan Belanda atas Mojokerto pada 17 Maret 1947, ia menyarankan agar beberapa pesawat yang siap terbang lebih baik diamankan ke Yogya. Divisi VII lantas memberi restu pemberangkatan satu pesawat pemburu Nakajima Ki-43 “Hayabusa” ke Yogya.

Baca juga: Selayang Pandang Lanud Atang Sendjaja

Pesawat itu diterbangkan Abdulrachman Saleh bersama Anan. Anan kemudian diajak KSAU Suryadarma menemui Presiden Sukarno di Gedung Agung. Peristiwa itu turut mendorong kesepakatan antara pimpinan sipil dan militer di Yogyakarta guna mengintegrasikan Lanud Bugis ke bawah komando AURI di Yogya.

“Upaya penyatuan Lanud Bugis dengan Markas Tinggi AURI akhirnya membuahkan hasil. Setahun lebih terombang-ambing, Lanud Bugis resmi di bawah komando Yogya. Pada 9 April 1947, Komodor Muda I Abdulrachman Saleh dilantik sebagai komandan Lanud Bugis merangkap Lanud Maospati Madiun. Upacara serah terima disaksikan utusan Divisi VII, Letkol Soekotjo,” tandas Haril.

TAG

tni au pesawat

ARTIKEL TERKAIT

Pesawat Multifungsi Tulang Punggung Matra Udara Jerman Nasib Nahas Kapten Mussolini Marcel Dassault dan Jet Tempur Kebanggaan Prancis Si Jago Udara di Bawah Panji Swastika Alkisah Jago Udara yang Di-Grounded Gegara Sepakbola Riwayat Perakit Pesawat Kala Pesawat Jet Mengudara Perdana Netanyahu Bersaudara dalam Pasukan Khusus Israel Lika-liku Pesawat T-50 BPPT, Riwayatmu Kini